Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Ulama jangan berpolitik

Fri, Jan 14th 2011, 08:04

Ulama (jangan) Berpolitik

SAYA mencoba memahami kegelisahan Chairul Fahmi dalam tulisannya “Saatnya Ulama Memimpin” (Serambi/12-1-2011). Tulisan tersebut adalah jawaban terhadap tawaran Sehat Ihsan Shadikin mengenai reposisi politik ulama di Aceh di dalam opininya, “Ulama di Ranah Politik” (Serambi/10-1-2011). Fahmi menyebut bahwa Sehat telah melakukan klaim yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademik mengenai “ketidaktepatan” posisi ulama dalam politik Aceh.

Walau demikian kerasnya bantahan terhadap Sehat, Fahmi sendiri tidak memberikan anti tesis terhadap sintesa-sintesa Sehat, yang mengatakan bahwa ketidaklayakan ulama dalam memimpin akibat tiga hal. Pertama, masih kuatnya pemahaman tentang adanya garis demarkasi antara ilmu agama dan dunia masih tertanam kuat. Kedua, ekslusifisme sikap ulama terhadap ilmu-ilmu bantu dalam politik, dan ketiga, kenyataan sejarah bahwa politik Islam dan ulama tidak lagi mendapatkan mandat oleh rakyat. Kritikan Fahmi tersebut, menurut hemat saya, malah menjebaknya dalam romantisme, idealita dan perangkap sejarah.

Bila kemudian Fahmi menjelaskan contoh dalam sejarah bahwa Aceh pernah memiliki tokoh sekaliber Tgk Daud Beureueh, seorang ulama yang mampu menjadi pimpinan politik, maka kemudian hal itu menjadi ahistoris, kenapa? Karena bangunan gerakan keulamaan generasi Daud Beureuh berhasil mengadopsi modernisme yang sedang berkembang pesat di dunia Islam saat itu. Generasi Tgk Daud Beureuh, tentu sebelum peristiwa DI/TII, saat itu benar-benar mengapresiasi dengan baik modernisme yang berkembang, sehingga bisa dengan cepat dan tanggap dalam merespons perubahan politik dan memiliki kemampuan dalam membaca perubahan zaman. Kekuatan generasi Daud Beureueh inilah yang kemudian tidak dielaborasi oleh Fahmi dalam opininya tersebut dalam melihat kekuatan politik dan budaya ulama generasi sekarang, alih-alih menjadi sintesanya.

Apa yang Sehat tulis, yang kemudian mendapat respons, tidak hanya berpolemik positif seperti yang ditunjukkan Fahmi, namun juga sudah memasuki ranah personal seperti tuduhan sebagai pembela sekularisme. Sehat sama sekali tidak mempromosikan sekularisme, sebab yang dilakukannya adalah reposisi peran ulama dalam dunia politik dewasa ini. Mendudukkan ulama di ranah moral dan sosial, adalah bukan gaya pemikir sekularistik, seperti yang Fahmi katakan di opininya.

Bahwa kemudian ulama sebagai pemegang otoritas sosial keagamaan, yang sebenarnya tidak sakral dikarenakan sifat Islam yang tidak mengenal hirarki kepasturan, tidak memiliki kemampuan dan kelengkapan tehnis dalam berpolitik, itu merupakan sebuah kenyataan sosial yang harus dikritisi. Oleh demikian, maka tesis Sehat sebenarnya bermaksud baik, yaitu hendak menyelamatkan ulama dari hiruk-pikuk politik yang saat ini tidak memiliki keberpihakan kepada moral.

Ulama memang bertugas mengawal moral dengan memperkuat gerakan dan jaringan sosial. Menjadi sangat rumit ketika tradisi keulamaan Aceh yang telah lama meninggalkan tradisi politik, baik pembelajaran maupun aktifismenya, malah kemudian memasuki ranah tersebut tanpa persiapan intelektual dan jaringan sosial yang mumpuni. Belum lagi sistem politik di Indonesia yang kemudian berubah menjadi sistem birokrasi yang sama sekali tidak mengenal karisma dan patron client, sehingga hal tersebut menjadi kerumitan tersendiri bagi ulama yang hendak turun ke ranah praktis tersebut. Hal lain yang harus menjadi pertimbangan adalah ketiadaan karakter masyarakat Islami, sebagai pendorong sebuah pemerintahan yang kuat, sehingga hal demikian tentu akan menegasikan upaya politik Islam yang hendak dibangun oleh ulama.

Secara internal, ulama, memiliki persoalan fragmentasi, seperti tumbuhnya kelompok-kelompok dalam tubuhnya ulama seperti HUDA, MUNA, Inshafuddin ataupun MPU. Fragmentasi ini menandakan bahwa belum siapnya ulama mendefinisikan mereka sebagai kelompok yang satu. Ini belum lagi kita melihat fragmentasi antara ulama yang mendorong tradisi fikh, yang berkembang di pantai utara, dengan ulama yang memiliki akar tasawuf yang berkembang di pantai barat. Masalah internal ini yang menurut hemat saya harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum melangkah lebih jauh ke ranah politik.

Selain melakukan upaya rekonstruksi pelembagaan keulamaan, maka ulama juga punya persoalan mengenai tradisi keilmuan yang dibangun di Dayah. Sehingga menjadi pertanyaan apakah ilmu-ilmu sosial dan politik modern, yang menjadi alat bantu utama dalam politik dewasa ini dipelajari dengan baik dan sistemik di Dayah? Sebab kini, politik telah memaksa kita untuk menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk merespons situasi dan perubahan tertentu. Misalnya saja tentang kecendrungan positivistik yang kini semakin mempengaruhi pengkajian politik dan pemerintahan dewasa ini, contoh survei tentang popularitas, pencitraan, dan persepsi.

Dengan demikian, bila ada yang masih berfikir bahwa politik masih bisa dimenangkan dengan mengandalkan karisma dan patron client, maka itu sama saja sudah kalah di dalam langkah pertama. Apalagi di Aceh kini sekularisasi semakin menguat, setelah pemilu yang lalu dimenangkan secara telak oleh partai-partai yang bukan berbasis Islam, yang artinya ini menyiratkan bahwa politik Aceh pasca-Orde Baru mengalami desakralisasi sangat kuat terhadap kelompok politik agama. Sekularisasi inilah yang nantinya yang membuat rational dan free choice dalam politik lebih mendapatkan otonominya di tengah masyarakat.

Oleh semakin kompleksnya persoalan-persoalan politik, maka di sinilah dibutuhkan visi pendidikan dan kebudayaan di dalam kalangan ulama, tentu bukan dengan mengambil jalan politik praktis, melainkan jalur kultural. Misalnya saja Dayah MUDI Mesra Samalanga yang memiliki STAI Al-Ziziyah, harus menjadi center of exelent  dari sebuah proses kebudayaan dan politik bagi Dayah.

Bila Dayah secara tradisional mempertahankan tradisi pola keberagamaan dan kebudayannya, maka STAI Al Ziziyah harus menerjunkan diri dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial yang sampai hari ini berkembang cepat, bahkan harus melakukan kegiatan-kegaitan teknis dengan menggiatkan penerbitan dan kajian-kajian ilmu sosial, dengan memperhatikan sejauh mana ilmu sosial mengalami perubahan-perubahan dan tren-tren baru. Sebab tanpa itu, politik ulama akan kehilangan elektabiltasnya dalam perpolitikan di Aceh di kemudian hari.

* Penulis adalah Penggiat di Kelompok Studi Darussalam.

1 komentar:

  1. saya sangat setuju ulama harus bersatu dulu antara ulama paham utara dengan paham barat. agar syariat benar-2 tegak di bumi rencong ini.

    BalasHapus