Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Masih adakah pahlawan untuk aceh

Wed, Nov 10th 2010, 13:26

Masih Adakah Pahlawan Untuk Aceh?

HARI ini, sepuluh November, setiap tahunnya, didedikasikan untuk mengenang jasa para pahlawan di seluruh Indonesia atas perjuangan dan pengorbanan mereka dalam merebut kemerdekaan dari para kolonialis, dan juga untuk mereka yang telah berkontribusi dalam proses pembangunan pasca kemerdekaan.

Beragam acara dan seremoni dibuat, tapi jamaknya adalah upacara dan mengheningkan cipta dilanjutkan dengan tabur bunga saat ziarah ke makammakam pahlawan. Namun, bagi tulang belulang yang berserakan di makam itu, apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak ada lagi perempuan  di negeri ini yang mampu melahirkan orang-orang seperti mereka? Sama halnya dengan perempuan Arab yang tidak mampu lagi melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid? Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufik Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi, karena kalian pergi menyempurnakan, kemerdekaan negeri ini.” Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”

Aceh kini, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, terdapat 86.850 jiwa dari total penduduk 4.486.570 (20.98%) adalah miskin, sedangkan rata-rata kemiskinan nasional hanya 13.33%. Meskipun angka kemiskinan di Aceh menurun, namun masih berada di peringkat ketujuh secara nasional dari daerah berpenduduk miskin terbanyak setelah Papua (36.80%), Papua Barat (34.88%), Maluku (27.74%), Gorontalo (23.19%), NTT (23.03%) dan NTB (21.55%).

Uniknya, ketujuh daerahtersebut merupakan wilayah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Tidak adakah korelasi positifkonstruktif antara keberlimpahan sumber daya alam dengan kesejahteraan? Kemiskinan merupakan persoalan asasi yang multikompleks, tentu sangat mengganggu laju pembangunan daerah ini pascatsunami dan konflik berkepanjangan.

Karenanya, urgently required (sangat dibutuhkan) pahlawan -dalam artian yang luas- untuk Aceh kontemporer. Masih adakah mereka saat ini? Seperti apakah criteria utama mereka? Siapa yang bisa mereposisi Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Malahayati, Cik Ditiro dan sederetan pahlawan Aceh lainnya?

Kriteria Pahlawan
Dalam Mencari Pahlawan Indonesia (2004), M. Anis Matta mengidentifikasi paling tidak ada tujuh criteria utama kepahlawanan. Pertama, pekerjaanpekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar walau berfisik kecil atau bahkah tidak sempurna (cacat).

Karena itu pula mereka selalu muncul di saat-saat sulit atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi sulit. Namun mereka bukanlah kiriman gratis dari langit. Kedua, pahlawan sejati selalau merupakan seorang pemberani sejati. Pekerjaan/tantangan besar selalu membutuhkan keberanian yang sama besarnya sebab selalu ada resiko besar di dalamnya.

Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang atau diperoleh melalui latihan. Namun keduanya selalu berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemuNya. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwaseorang mukmin.

Ketiga, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran paripurna. Keberanian merupakan aspek ekspansif dari kepahlawanan sementara kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa seorang pahlawan mampu membawa beban idealisme kepahlawanan.

Kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya; santun, lembut, jujur, amanah, kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang paling penting adalah ketenangan. Keempat, seseorang disebut pahlawan karena kebaikan dan kekuatannya jauh mengalahkan sisi keburukan dan kelemahannya. Tetapi kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kehidupan masyarakat.

Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam memori kolektif /sejarah. Nilai sosial setiap pahlawan itu berbanding lurus dengan kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadiannya.

Dus, hadirnya pahlawan sejati yang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri tetapi hidup dan mengorbankan semua yang dimilikinya bagi orang lain dan agamanya merupakan jawaban tuntas dari pertanyaan “Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan syariat  dalam realitas kehidupan?”

Kelima, kompetisi. Pahlawan mukmin sejati tidak akan membuang energi mereka untuk memikirkan seperti apa dia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Melainkan bagaimana meraih posisi terhormat di sisi Nya, itulah cita-cita sejatinya. Itulah ambisi yang sebenarnya, ambisi yang disyariatkan, ambisi yang melahirkan semangat kompetisi yang tidak bertepi. Adapun indicator yang digunakan untuk menilai kompetisi itu adalah keterpaduan yang armonis antara waktu (kecepatan), kualitas, kuantitas dan manfaat sosial dari tiap pekerjaan yang dilakukan.

Keenam, filosofi yang solid. Tindakan kepahlawanan selalu lahir dari pikiran kepahlawanan. Orang yang tidak mempunyai pikiran pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk melakukantindakan-tindakan kepahlwanan.

Filosofi membicarakan harapan, arti kehormatan, sumber motivasi, apa yang disukai dan atau dibenci, proses pemaknaan terhadap sesuatu, fungsi keterampilan kepribadian dan seterusnya. Ketujuh, optimisme yang merupakan titik tengah antara idealisme  yang tidak realistis dengan realism yang terlalu pragmatis.

Pahlawan mukmin sejati percaya bahwa bekerja saja merupakan suatu kemenangan; atas rasa takut, sifat pengecut, cinta dunia dan atas dirisendiri. Adapun hasil, bahwa mereka  gugur dalam proses pekerjaan itu atau asih sempat menikmatinya, semua itu diserahkan kepadaNya. Dari keyakinan seperti inilah lahir optimism yang solid.

Akhirnya, dalam rangka mengenang para pahlawan, saya menegaskan bahwa semua kita -orang biasa- bisa menjadi pahlawan untuk nanggroe ini. Orang-orang iasa yang melakukan pekerjaan besar itulah yang dibuthkan di saat krisis.

Bukan orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Para pahlawan bukan untuk dikagumi, tapi untuk diteladani. Karena itu, makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita.”Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali, dan bara kagum menjadi api.....”, (Chairil Anwar).

* Penulis adalah Kontributor www.asyeh.com Riyadh Arab Saudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar