Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Robonya benteng syariah

Robohnya Benteng Syariat

MUNCULNYA aliran sesat dengan perkembagan yang cukup pesat di Aceh merupakan hal ajaib di dunia ini. Padahal, Aceh terkenal sebagai negeri seribu satu pesantren dan dayah, puluhan ribu meunasah, masjid, TPA, kelompok pengkajian, dan klimaknya Aceh Bersyariat Islam. Bahkan, cerita canda seorang tukang cukur menyebutkan “jumlah santri di Aceh--berdasarkan proposal--melebihi jumlah penduduk Aceh sendiri”.

Kebesaran Aceh Serambi Makkah dalam sejarah keislamannya ternyata rapuh diterjang aliran sesat yang sempat trend dengan nama Millah Abraham. Aliran ini berkembang pesat di lingkungan kampus ‘Jantong Hate’ yang di dalamnya ada sebuah benteng Islam, IAIN Ar Raniry, tempat berlindung para intelektual yang diharapkan menjadi serdadu untuk menjaga kemurnian dan kemajuan Islam.

Para ulama dan umara saat ini bersanding bahu melakukan langkah-langkah kongkrit untuk menyempitkan sepak terjang Millah Abraham, masyarakat luas gundah-gulana terutama para orang tua khawatir anaknya yang sedang kuliah terseret dalam aliran sesat yang pengajarannya mengandalkan penafsiran-penafsiran logis.

Kenyataan ini, membuktikan ada link yang terputus dalam kehidupan beragama masyarakat Aceh, meskipun jumlah pendidikan agama terus bertambah secara sangat signifikan, hampir seluruh pelosok dan sepanjang jalan pesantren modern dan dayah tumbuh bak cendawan di musim hujan. Namun pengaruh pertumbuhan kuantitas lembaga pendidikan agama tidak sebanding dengan kualitas ketahanan pemahaman generasi muda. Keberhasilan aliran sesat menembus benteng pertahanan Negeri Serambi Makkah adalah bukti ada bagian yang melemah.

Faktor yang perlu dikaji adalah mengapa hal itu bisa terjadi, berdasarkan asumsi-asumsi logika sederhana. Antara lain, ajaran sesat adalah hal-hal di luar kebiasaan yang sudah berlaku dan diyakikini secara turun-temurun, dan menjadi pengetahuan umum bagi setiap individu dalam masyarakat. Ketika seorang individu mendapat hal baru dalam agamanya dan ia tidak menyadari bahwa itu masalah baru dan ganjil maka sistem kekebalan akidahnya tidak berfungsi atau minimal menurun daya responsnya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa sistem kekebalan tersebut menurun sementara Syariat Islam belum lama diproklamirkan bukankah hukum syariat dilaksanakan karena ada semangat menggebu-gebu dari masyarakat.

Mungkin jawabannya, hukum syariat lahir bukan karena dari inisiatif masyarakat tapi dari gagasan politik untuk kepentingan tertentu dan hal itu terbukti karena tidak efektif dalam pelaksanaannya, karena yang menonjol pada hal-hal yang sifatnya dipermukaan saja, dan itu pun sudah tidak terdengar lagi. Terlepas itu gagasan politik atau bukan yang jelas masalah agama adalah tanggungjawab segenap pemeluknya.

Bila pemerintah tidak berfungsi dengan baik dalam hal tersebut, maka komponen masyarakat harus bangkit untuk memberi perhatian penuh dan tidak mesti dalam bentuk kekerasan. Dalam kasus Millah Abraham, boleh dikatakan semua komponen terlambat merespons, ibarat api sudah menjulur lidahnya baru menyiram air. Saat masih berbentuk asap, masyarakat tidak tahu bahwa akan ada api.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa peran semua lembaga Islam baik formal dan non formal tidak berfungsi dengan baik sebagai early warning system (sistem peringatan dini). Pascabencana aliran sesat, masyarakat luas mencari-cari sebab musibab terjadi. Pembicaraan selalu berkisar “kenapa ini bisa terjadi.” Orang-orang tua kebanyakan menyalahkan zaman anaknya hidup dan membanggakan zaman ia masih kecil. Padahal tiap orang punya kekuatan untuk melestarikan zaman kebanggaannya untuk direplikasi kepada zaman generasi berikutnya.

Salah satu contohnya adalah pemahaman dasar-dasar Islam lewat kitab sangat sederhana bernama “Masalailal Muhtadi” yang menjadi andalan untuk membina dasar-dasar akidah kepada tunas generasi muda. Bahasa kitab tersebut sangat sederhana dalam bentuk tanya jawab mengenai rukun Iman dan rukun Islam yang terdiri beberapa halaman saja. Anak-anak cerdas ia bisa baca habis dalam satu atau dua hari, tapi teungku-teungku yang mengajar kitab tersebut mempertahankan dalam beberapa minggu agar terjadi proses penyerapan dan penguatan dalam jiwa anak-anak didik.

Kini, “Masailal Muhtadi” itu sudah menjadi barang langka, hanya toko buku tertentu yang menjualnya dalam bentuk sudah lusuh dan cetakan lama. Generasi yang lahir delapan puluhan ke atas kebanyakan asing dengan nama tersebut. Mereka lebih akrab dengan majalah-majalah modern dan sekian banyak komik lain beredar di tangan mereka dan yang paling mutakhir novel Harry Potter tentang negeri ajaib dan berharga sampai jutaan rupiah.

Artinya, kegelisahan orang tua akibat terjebak anak-anak mereka dalam arus aliran sesat adalah buah dari sebuah perjalanan hidup dan mereka terlibat di dalamnya. Dan manusia tidak pernah mampu mengubah sejarah yang sudah berlangsung tapi sejarah bisa diambil sebagai pelajaran untuk memperbaiki hari-hari berikutnya.

Kehadiran Millah Abraham yang sangat rapi dan terorganisir dengan baik di Aceh sama dengan kehadiran Ahmadiyah di India dan Bahaiah di Afghanistan. Ada tokoh intelektual yang membidani kelahirannya, punya tujuan jangka panjang, didukung oleh masyarakat miskin finansial dan fakir landasan keislamannya maka jadilah apa yang terjadi. Benteng syariat Negeri Serambi Makkah pun roboh.

Langkah antisifasi ke depan salah satu sudah terbukti ampuh dengan mengatifkan kembali meunasah serta teungku-teungku gampong denga kitab lamanya. Atau membawa kitab-kitab tersebut ke TPA dan Taman Kanak-Kanak sehingga tunas bangsa bukan saja mampu menghafal ayat-ayat pendek dan doa-doa yang kebanyakan anak-anak tidak mengerti apa yang dihafal tapi juga memiliki penyerapan yang baik tentang pokok-pokok dasar Iman dan Islam. Dan itu salah satu jalan untuk mengatasi bencana yang sama agar tidak terulang lagi.

* Penulis adalah alumnus Filsafat Universitas Al Azhar Cairo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar