Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Sabtu, 18 Juni 2011

Do’a Yang Tidak Tertolak Dan Yang Menyebabkan Do’a Tertolak

Tanbihun - “Ada tiga orang yang tidak ditolak do’a mereka: (1) Orang yang berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3) Dan do’a orang yang dizalimi (teraniaya).  Do’a mereka diangkat oleh Allah ke atas  awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, “Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera.”
(HR. Tirmidzi)
Kalau ditelaah lagi ada kaitan yang sangat erat antara tiga criteria yang sudah dijelaskan Rasulullah diatas dalam segi social perilaku manusia.


1.  Jalan  orang yang tertindas

Adanya orang yang tertindas disebabkan dari adanya ke-dholiman, dan biasanya ke-dholiman dilakukan oleh mereka yang merasa lebih tinggi kedudukannya seperti halnya seorang pemimpin. Dalam situasi seperti ini orang yang didholimi secara reflek karena ketidak berdayaannya untuk melakukan perlawanan, langsung mengadukan kepada Tuhannya, dengan hancurnya martabat dan harga diri serta hati yang tersakiti  maka secara kontanitas menghilangkan beberapa sifat yang membuat do’a tertolak seperti halnya tidak khusu’ ketika berdo’a atau tidak yakin dengan do’anya.
Dalam hal ini, orang yang tertindas akan berjuang keras untuk bisa  terbebas dari penindasan moral atau pun yang lainnya.
Sebagaimana firman Allah:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S Al-Anfaal Ayat: 53)

2.  Jalan pemimpin yang adil

Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir)  pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin  dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila mimbar telah turun mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.”
(HR. Ath-Thabrani)
Disini ada kaitannya dengan pembahasan yang pertama, begitu beratnya beban seorang pemimpin untuk bisa  bersikap adil, supaya mereka yang dipimpin tidak terdholimi dengan kepemimpinannya.
Sehingga Allah memberi  tempat tersendiri  kepada mereka yang bertanggung jawab dengan kepemimpinannya.
“Sesunguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi Allah ditempatkan diatas mimbar cahaya, yaitu mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa saja yang dikuasakan kepada mereka.”
(HR. Muslim)

3.  Jalan orang yang berpuasa

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Aku berkata : “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah”.
Kemudian beliau bersabda : “Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam”.
Kemudian beliau membaca ayat :

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Kemudian beliau bersabda: “Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?”
Aku menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “Pokok amal adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”.
Kemudian beliau bersabda : “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”.
Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?”
Maka beliau bersabda : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?”
(HR. Tirmidzi, ia berkata : “Hadits ini hasan shahih”)
Erat kaitannya dengan kedua pembahasan diatas, seorang yang tertindas manakala sudah berhasil menyingkirkan penindasannya namun tidak mampu menjadi seorang pemimpin yang adil ia pun akan terpuruk dan mendapat predikat sebagai penindas baru.
Disinilah peran puasa  diperlukan guna sebagai perisai untuk membentingi diri dari  sifat-sifat tercela yang menyebabkan terhalangnya sebuah do’a.

Dari Ibrahim bin Adham beliau memberikan penjelasan, mengapa do’a  tidak terkabul:

  1. Kamu akui mengenal Allah, namun hak- hak- Nya tidak kamu penuhi. Maksudnya setiap nikmat yang diberikan kepadamu, kamu tidak mau mensyukurinya, bahkan kamu ingkari adanya dan kamu lupakan Dia.
  2. Kamu baca Al- Qur’an berulang kali, namun isi yang terkandung di dalamnya tidak kamu amalkan. Maksudnya, Al- Qur’an hanya untuk bacaan belaka, dibuat hiasan di rumah dan untuk dilombakan. Tetapi isinya tidak dipelajari untuk diterapkan di dalam kehidupannya.
  3. Kamu akui cinta Rasulullah SAW, namun nasehat- nasehatnya tidak kamu jalankan. Maksudnya, beliau sering menunjukkan jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Tetapi kebanyakan mereka menempuh jalan yang sesat.
  4. Kamu akui syetan itu adalah musuh manusia yang nyata, namun kamu telah patuh kepadanya. Maksudnya, manusia sering kali memperturutkan kehendak hawa nafsunya. Padahal yang demikian itu sama halnya dengan memperturutkan perilaku syetan.
  5. Kamu sering kali berdo’a mohon dihindarkan dari siksa api neraka, namun kamu jerumuskan dirimu ke dalamnya dengan banyak berbuat dosa dan maksiat. Maksudnya, manusia yang menginginkan dirinya terhindar dari siksa neraka maka hendaklah ia menjauhi perbuatan dosa. Sebab bila ia menjalani perbuatan dosa, maka sama halnya mencampakkan dirinya ke dalam neraka.
  6. Kamu sering kali berdo’a mohon supaya bisa masuk surga, namun kamu tidak mau beramal baik untuknya. Maksudnya, semua manusia tentunya ingin hidup senang di surga, tetapi kebanyakan mereka enggan berbuat baik untuk mendapatkan surga itu.
  7. Kamu percayai kematian itu pasti datang, namun kamu tidak mau mempersiapkan diri menghadapi kematian.  Maksudnya, semua manusia telah menyadari bahwa hidup di dunia bersifat sementara, sedang hidup di akhirat itu kekal. Tetapi kebanyakan mereka lupa akan hal itu, sehingga sering kali berbuat dosa.
  8. Kamu sering sibuk mengurusi aib orang lain, namun aibmu sendiri kamu lupakan.
  9. Kamu makan rizqi dari pemberian Allah, namun kamu tidak mau mensyukuri pemberian itu.
  10. Kamu kuburkan orang yang meninggal dunia, namun kamu tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Maksudnya, sebenarnya manusia bila mengantarkan jenazah ke kubur itu dapat mengambil pelajaran, bahwa hari ini aku yang mengantarkan, tetapi besok aku yang diantarkan. Dari itu, aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dengan memperbanyak amal kebajikan.

Wallahu’alam.

Kontroversi Hukum Pernikahan dengan Wanita Hamil Zina

Sesuai dengan nubuat (berita masa depan) Nabi Muhammad  dalam sebuah hadistnya bahwa kiamat tak akan terjadi sebelum manusia banyak melakukan peribuatan sex  bebas dijalan- jalan (Sifaah) bagaikan hewan- hewanpun melakukannya. Bukti  ramalan ini kian hari kian tampak nyata dan kian menggejala dimana akhir- akhir ini mulai banyak terjadi wanita- wanita (gadis) yang terpaksa di nikah kan  dengan seorang priya gara- gara si wanita sudah hamil akibat mereka telah melakukan sex bebas alias zina.
Dasar- dasar hukum
Hukum menikah dengan wanita yang sedang hamil zina, oleh para ulama  amat diperselisihkan
Dasar- dasar perselisihan tersebut adalah dalam meng interpretasikan beberapa dalil dibawah ini yang dipersepsikan beda oleh para Fuqohaa’, diantaranya:
1.       Firman Allah :
ﺍﻟﺯﺍﻧﻲ ﻻ ﻴﻨﻜﺢ إﻻ ﺯﺍﻧﻴﺔ أﻮﻤﺸﺭﻛﺔ ﻮﺍﻟﺯﺍﻧﻴﺔ ﻻ ﻴﻧﻜﺣﻬﺎ ﺇﻻ ﺯﺍﻧﻰ ﺃﻮﻤﺸﺮﻚ ﻮﺣﺮﻢ ﺫﺍﻟﻚ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺅﻤﻧﯿﻥ
“Az- Zaanii laa yankihu illaa zaaniyatan au musyrikah, Wazzaaniyatu laa yankihuhaa ilaa zaanin au musyrik. Wa hurrima dzaalika alal mu’miniin”.  (An- Nuur 2).
Artinya:
Para penzina laki- laki itu tidak (boleh) kawin kecuali dengan penzina wanita atau para wanita musyrik, dan para penzina wanita itu tidak (boleh) nikah kecuali dengan penzina laki- laki atau laki- laki musyrik. Dan diharomkan semuanya itu bagi orang- orang mu’min.
2.       Firman Allah:
ﺍﻟﺨﺑﯿﺜﺖ ﻟﻟﺨﺑﯿﺜﯿﻥ ﻭﺍﻟﺨﺑﯿﺜﻮﻥ ﻟﻟﺨﺑﯿﺜﺖ…………..
” Al- Khobiitsaatu lil khobiitsiina wal Khobiitsuuna lil khobiitsaat….” (An- Nur 26).
Artinya:
Wanita- wanita tak bermoral  itu pasangannya adalah laki- laki tak bermoral, sebaliknya laki- laki tak bermoral itu pasangannya adalah para wanita tak bermoral………
3.       Firman Allah:
ﻮﺃﻧﻜﺢ ﺍﻷﯿﺎﻤﻰ ﻤﻨﻜﻡ ﻮﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻤﻦ ﻋﺑﺎﺪﻛﻡ ﻮﺇﻤﺎﺌﻛﻡ………
“Wa ankihul ayaamaa minkum was shoolihiina min ibaadikum wa imaa’ikum …”
(Q.S.An-Nur 32).
Artinya:
“Dan Nikahkanlah orang- orang yang sendirian  dari kamu sekalian  dan  hamba- hamba sahaya  priya  kalian yang sholih- sholih  dan (juga) sahaya- sahaya  wanita kalian…
4.       Hadist Nabi: Man kaana yu’minu billaahi wal yaumil Aakhiri falaa yasqi maa- ahuu zar’a ghoirihi.
ﻤﻦ ﻜﺎﻥ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ ﻮﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﺧﺭ ﻔﻼ ﻴﺴﻖ ﻤﺎﺌﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
Barang siapa ber-iman kepada Allah dan Rasulnya, maka janganlah  ia “mengairi dengan air (mani) nya pada tanaman (janin) orang lain.
Yusuf bin Ismail Al- Nabhani Al- Fath al- Kabir (Dar Al- Arqom, Beirut).
5.       Hadist yang semakna: La yahillu li- imri-in yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri an yasqiya maa-ahuu zar’a ghoirihii.
ﻻ ﻴﺤﻞ ﻹﻤﺮﺉ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻷﺨﺭ ﺃﻦ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺋﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
“Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk mengairi (dengan   air mani) , tanaman (janin)  orang lain”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
6.       An A’isyah  RA. Qoolat:  Su-ila Rasuululloh SAW an rojulin zanaa bi imro-atin wa arooda an yatazawwajahaa. Faqoola:
ﺃﻭﻠﻪ ﺴﻔﺎﺡ ﻭﺃﺨﺭﻩ ﻧﻜﺎﺡ. ﻭﺍﻠﺤﺮﺍﻡ ﻻﻴﺤﺮﻡ ﺍﻠﺤﻼﻞ
“Awwaluhuu sifaahun wa- aakhiruhuu nikaahun. Wal haroomu laa yuhrimu al- halaala”. Akhrojahuu At- Thobroniy  wa  Ad- Daaruquthniy.
Artinya:
Dari A’isyah RA, Rasululloh ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang wanita dan dia bermaksud menikahinya. Maka Rasululloh menjawab: ” Awalnya adalah  kumpul kebo (SIFAAH) dan akhirnya adalah sebuah pernikahan. Sesungguhnya  perbuatan harom itu tidak dapat menghalangi  terjadinya (pernikahan) yang halal”. H.R.At- Thobarony dan Ad- Daaruquthniy.
Menurut hadist ini Rasulullah pernah memberi izin pernikahan wanita hamil zina walaupun tentu saja  HUKUM HAD nya tetap berlaku.
7.       ‘An Abi Hurairoh RA, Qoola Rasuululloh SAW:
ﺍﻠﻭﻠﺪ ﻠﻠﻔﺮﺍﺶ  ﻭﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ
“Al- Waladu lil firoosyi wa lil ‘aahiri al- hajaru. As- Shon’ani, Subulus Salam III/210.
Artinya:
Dari Abi Hurairoh RA, Rasululloh bersabda: “Anak itu (dinasabkan) kepada Suami ibunya, sedang si penzina harus dihukum (dera/ rajam)”. Lihat Subulus Salam III/ 210.
8.       Dll.
Boleh atau tidakkah menikahkan wanita yang sedang hamil zina?
Jumhur Ulama kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat
Imam  Abu Hanifah, Syafi’I,  Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri, dll.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal  mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain.
Adapun Abu Hanifah dan dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun me           reka melarang persenggamaan antara suami  istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.
Sedang  As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan.  Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan:  hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir)  berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) Indonesia.
Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:
# Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas  segala pengasuhan dan
pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
# Si pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala
Perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat  dan dilindungi hukum.
# Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan  keluarga besarnya dan menutupnya
dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut, maka:
K.H.I  (Kompilasi Hukum Islam) Indonesia menetapkan KEABSAHAN pernikahan antara
seorang laki- laki dengan  wanita YANG TELAH HAMIL ZINA, dan menuangkannya pada BAB
VIII pasal 53 ayat 1 ~ 3  demikian:
1.       Seseorang wanita hamil  diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Status anak dari HAMIL ZINA
Adapun anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
1.       Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH  setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini  ibunya itu.
2.       Bila anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah KEPADA IBUNYA.
Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid
Al- Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari  =
6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing
dari Surat Al- Ahqoof 15 dan Surat Luqman ayat 14.
ﻮﺤﻤﻠﻪ ﻭﻔﺼﺎﻟﻪ ﺜﻼﺜﻮﻦ ﺸﻬﺮﺍ ………(ﺍﻷﺤﻘﺎﻒ١٥)
ﻮﻔﺼﺎﻟﻪ ﻔﻰ ﻋﺎﻤﻴﻦ ……………………(ﻟﻗﻤﻦ١٤)
Menurut Surat Al- Ahqoof 15, waktu mengandung dan menyapih = 30 bulan
Menurtut Luqman 14, waktu menyapih itu =…………………………………= 24 bulan
Jadi waktu hamil minimal = …………………………………………………………….=  6 bulan
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari
PERNIKAHAN, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.
Catatan penting:
Maka pada kasus no. 2 , yakni jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh  Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
Namun demikian ada beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa kepada keputusan Nabi  seperti kasus persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti apa  yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki, dimana Nabi dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA  MELIHAT  UMUR  KEHAMILAN) adalah  anak SUAMINYA  YANG SAH, SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut diatas  dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
ﺍﻟﻮﻠﺪ ﻟﻟﻔﺮﺍﺶ ﻮﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ  . ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻻ ﺍﻟﺗﺮﻤﺬﻱ
“Anak itu dinasabkan kepada  SUAMI  IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia harus dihukum (dera/rajam)”. Hadist riwayat Jama’ah  ahli hadist terkecuali Turmudzi.
Wallohu A’lam.
Disarikan dari: “Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil”,karya: Dr. Mulkhlisin Muzarie, Ro’is Aam Tanfidhiyyah DPP Jama’ah Rifa’iyyah.

Minggu, 05 Juni 2011

Etika mencari ilmu


Etika Mencari Ilmu

January 8, 2011 by admin
Filed under: Adab 
Pada tulisan kali ini saya akan mencoba menyampaikan etika-etika dasar dalam mencari ilmu yang saya kutip dari buku “Tips Belajar Para Ulama”, terjemahan dari dua buah buku “Adabu Tholib al-’Ilm” karya Dr. Anas Ahmad Karzun dan “Kaifa Tathlub al-’Ilm” karya Dr. ‘Aidh al-Qorni, MA. Ada 13 etika dasar mencari ilmu yang disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Karzun dalam buku tersebut, yang dalam tulisan ini akan saya sampaikan ringkasannya (dengan sedikit perubahan redaksi, tapi sama sekali tak mengubah isi) sebagai berikut:

1. Ikhlas
Hal pertama yang harus digunakan sebagai senjata dan tolak ukur bagi penuntut ilmu adalah ikhlas karena Allah ta’ala, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sebab, Allah tidak akan menerima amal kecuali didasari ikhlas karena-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (TQS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Bila penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya karena Allah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar, usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka.
2. Beramal dengan ilmu dan menjauhi maksiat
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai amal. Sedangkan, orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, kelak pada hari kiamat ia akan ditanya tentang ilmunya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (TQS. Ash-Shaff [61] : 2-3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih” Sunan at-Tirmidzi no. 2418, Kitab Shifat al-Qiyamah)
Begitu juga, seorang penuntut ilmu harus menundukkan nafsunya dengna meninggalkan kemaksiatan. Sebab, hal itu akan membantunya untuk mendapatkan barakah ilmu dan cahayanya serta keikhlasan di dalam mencarinya.
3. Tawadhuk
Tawadhuk merupakan sifat orang beriman yang paling menonjol secara umum dan para penuntut ilmu secara khusus. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersikap tawadhuk, rendah hati dan berperangai lembut (lihat QS. Asy-Syu’ara [26] : 215). Allah juga menjelaskan bahwa sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain merupakan dua sifat yang dimurkai dan dilarang oleh Allah (lihat QS. Luqman [31] : 18).
Para penuntut ilmu hendaknya tetap berpegang teguh dengan sifat tawadhul serta mewaspadai sifat ujub dan merasa bangga dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Begitu pula, hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam. Jangan sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu merasa cukup dan berhenti menuntut ilmu.
4. Menghormati ulama dan majlis ilmu
Diantara adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama, bersikap tawadhuk kepada mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan kemampuan mereka. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar. Allah telah mengangkat kemampuan mereka dan meninggikan kedudukan mereka.
Salah satu hadits yang menganjurkan untuk menghormati dan tidak menyakiti ulama adalah sebagai berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka Aku telah umumkan perang kepadanya.’” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ar-Riqoq, Bab at-Tawadhdhu’ (VII/190))
Khatib al-Baghdadi telah meriwayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, keduanya berkata, “Kalaulah ulama itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak akan memiliki wali”.
5. Sabar dalam menuntut ilmu
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah, baik sebelum melaksanakan ketaatan tersebut dengan memperbaiki niat dan memutus segala sesuatu yang menyibukkannya dari ketaatan tersebut, ataupun saat melaksanakan ketaatan agar Allah ta’ala menyertai amalnya sehingga amal tersebut bisa dikerjakan dengan optimal.
Tidak diragukan lagi bahwa diantara ketaatan yang urgen yang membutuhkan kesabaran adalah menuntut ilmu dalam rangka mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Terutama dikarenakan nafsu manusia cenderung untuk bersantai dan bermalas-malasan. Sedangkan, menuntut ilmu membutuhkan usaha yang besar, berat, begadang (mengurangi jatah tidur), meninggalkan sikap berlebihan terhadap dunia, bersafar untuk mencarinya, bertemu dengan para ulama, senantiasa melakukan tanya jawab, menghafal, mengikuti, dan lain sebagainya.
6. Berlomba dalam menuntut ilmu
Setiap kali seorang penuntut ilmu mendalami ilmu dan pintu-pintunya terbuka untuknya, niscaya ia akan menambahnya, berkompetisi dalam mencarinya, dan berusaha untuk memilikinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (TQS. Thaha [20] : 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menganjurkan untuk memperkaya diri dengan ilmu dan tetap bersemangat berbekal diri dengan ilmu selama usia masih ada hingga ia bisa menggapai surga. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, “Seorang mukmin tidak akan pernah kenyang dengan kebaikan yang ia dengar, sehingga puncaknya adalah (ia memasuki) surga.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2686, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib”)
7. Jujur dan amanah
Seorang penuntut ilmu hendaknya memiliki sifat jujur dan amanah ketika menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Ia juga harus menjauhi pembelaan terhadap permasalahan apa saja yang bertentangan dengan kebenaran. Bila ia lupa dalam suatu perkara kemudian tampak kebenaran dihadapannya, maka ia harus segera kembali kepada kebenaran tanpa mencelanya agar ia tidak menjadi orang yang berkhianat terhadap ilmunya.
Diantara hal yang perlu dikritisi dari sebagian penuntut ilmu adalah peremehan mereka dalam mengeluarkan fatwa hanya karena telah mentelaah sebagian dari hukum-hukum syar’i. Bahkan, diantara mereka ada yang mengira bahwa ia telah menjadi orang yang ahli dalam berfatwa dan mengoreksi perkataan para fuqaha ataupun membantahnya.
Para salafush shalih rahimahumullah sangat teliti dan hati-hati dalam berfatwa kepada manusia karena takut kalau ada diantara mereka yang salah, mengeluarkan ucapan tentang Allah tanpa ilmu, atau menisbahkan sesuatu yang tidak ada dalam syari’at. Mereka menolak untuk berfatwa, padahal kemampuan mereka sangat tinggi dan keilmuan mereka sangat dalam.
8. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya
Diantara adab yang wajib dilakukan oleh seorang penuntut ilmu syar’i adalah menyebarkan ilmu di antara manusia, tidak menyembunyikannya dan tidak pula kikir dengan ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan orang yang menutupi ilmu dan mengancamnya dengan siksaan. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 159)
Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya bersemangat dalam menyebarkan ilmu kepada manusia, mengingatkan mereka dengan urusan agama, memperingatkan dari kelalaian dan kemaksiatan serta mengajarkan hukum halal dan haram. Seorang penuntut ilmu juga harus menyeru di jalan Allah dengan benar, terutama kepada keluarga, kerabat, tetangga dan umumnya kaum muslimin yang berada di sekitarnya dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, tidak takut dalam dakwahnya terhadap celaan para pencela.
9. Zuhud
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan dunia sebagai ladang beramal untuk kampung akhirat dan memerintahkan kita untuk memakmurkannya dengan amal shalih.
Hendaknya seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya di dunia ini seperti orang asing di negeri perantauan. Ia akan melihat apa yang bermanfaat baginya di negeri akhirat dan bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Ia juga akan melihat hal-hal yang akan menyibukkannya dan menghalang-halanginya dari akhirat sehingga ia bisa menjauhinya.
Seorang penuntut ilmu juga hendaknya berhias dengan zuhud terhadap dunia, tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan yang bisa melalaikannya dari menuntut ilmu, meninggalkan kehidupan glamor dan kemewahan yang bisa membuat jiwa terlena dan hati sibuk.
10. Mengoptimalkan waktu
Waktu itu lebih mahal daripada emas, karena waktu adalah kehidupan. Seorang penuntut ilmu tidak boleh menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bercanda dan bermain. Sebab, ia tidak akan bisa mengganti kesempatan yang telah berlalu dan kesempatan itu juga tidak akan menantinya. Begitu juga, barangsiapa yang tidak memanfaatkan waktunya, niscaya penderitaannya akan berkepanjangan, sebagaimana orang yang sakit akan terus menderita menanti datangnya waktu sehat dan semangat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab ar-Riqoq (VIII/180)
11. Mendiskusikan ilmu agar tidak lupa
Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki bahwa lupa adalah tabiat manusia serta menjadikan kemampuan intelektual dan daya ingat mereka berbeda-beda. Hal ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya: sifat lupa akan memacu seorang penuntut ilmu untuk mendiskusikan ilmu dan mengulangi pelajarannya dari waktu ke waktu. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pahala dan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, menambah pemahamannya, dan membandingkan antara yang ia pahami dengan apa yang ia hafal. Sehingga hal tersebut akan melekat kuat di dalam benaknya.
Dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saling mengunjungilah dan diskusikanlah hadits. Janganlah kalian membiarkan ilmu itu hilang.”
12. Menjaga wibawa dan rasa malu
Wibawa dan rasa malu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu untuk membedakan antara dirinya dengan selainnya. Jangan sampai ia terlena dengan orang lain dan tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara sepele yang dapat menjatuhkan kedudukan dan kewibawaannya. Hendaklah ia berhias dengan adab dan keindahan ilmu serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Hendaklah orang yang mencari hadits menjauhi sikap main-main, bergabung dengan majlis omong kosong, gelak tertawa, dan canda secara berlebihan. Sebab, yang diperbolehkan adalah canda ringan dan jarang-jarang dilakukan serta tidak keluar dari batasan etika dan ilmu. Adapun seseorang yang terus-menerus bercanda, berkata kotor, bertindak bodoh yang membuat sesak dada dan menimbulkan kejahatan, maka hal itu adalah tercela. Banyak canda dan tertawa akan menjauhkan wibawa seseorang dan menghilangkan harga dirinya.
13. Persahabatan yang baik
Teman yang baik adalah teman yang bisa mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan, persaudaraan yang tegak diatas kecintaan karena Allah dan saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, maka ia adalah persaudaraan yang kekal abadi. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan untuk memilih teman yang baik dan mengambil manfaat dari pergaulan yang baik itu. Beliau bersabda yang artinya, “Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah seorang diantara kalian melihat kepada siapa ia berteman.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2379, ia berkata, “Hadits ini hasan”. Abu Dawud no. 4833, dan selain keduanya).
Seorang penuntut ilmu sangat perlu untuk memilih teman yang baik yang akan mengajaknya untuk bersabar dalam menuntut ilmu, mengingatkannya tatkala lupa, menasihatinya ketika salah, dan mengarahkannya ketika tersesat.