Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Islam dan perubahan

Fri, Feb 25th 2011, 08:07

Islam dan Perubahan

ALKISAH pada abad ke-14 seorang pemikir humanis bernama Giovanni de la Mirandola diminta pertanggungjawabannya kepada gereja. Gereja dibuat geger karena Giovanni berpendapat bahwa manusia mempunyai harkat dan martabat yang tinggi dan bahwa manusia itu suci. Dalam mahkamah gereja, pemikir progressive asal Italia itu membela diri “Wahai para bapak suci, ketahuilah bahwa saya menyadari martabat dan harkat manusia yang sangat tinggi itu dari orang-orang Saracen (orang-orang Arab Muslim).”

Referensi yang dibaca Giovanni adalah bukunya orang Saracen, di buku itu tertulis seseorang yang bernama Abdullah ditanya oleh muridnya, “Wahai Abdullah, apakah di muka bumi ini yang harus kita hormati dan harus kita pandang sebagai mukjizat Tuhan?” Abdullah menjawab, “Manusia. Manusia adalah mukjizat Tuhan karena dia adalah ciptaan Tuhan tertinggi. Laqad khalaq-nal insana fi ahsan-i taqwim, sungguh telah Kami ciptakan manusia itu sebagai makhluk yang paling tinggi.”

Tentu saja pemuka-pemuka agama itu berang, Giovanni dianggap terkena ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dibawa oleh pendakwah Islam dari Cordoba. Agar tidak dicap sesat dan ahlul bid’ah, Giovanni melanjutkan argumennya “Ini sejajar dengan yang kita warisi dari Yunani kuno. “Dalam mitologi Yunani, dewa Hermes Trimesgitus ditanya oleh manusia yang bernama Asclepius, “Apakah kiranya yang harus kita hormati di muka bumi?” Kemudian sang dewa menjawab, “Manusia”.

Maqashid al-Syariah
Dalam khutbah wada’ yang sangat terkenal itu, salah satu pesan Rasulullah adalah “ketahuilah bahwa darahmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci sampai hari kiamat, sampai kamu nanti menemui Tuhanmu. “Dari sini, ulama ushul fiqh menetapkan bahwa menjaga dima’ (darah dan kehidupan), amwal (harta), dan a’radl (kehormatan) sebagai maqashid al-syariah, yaitu “tujuan penetapan hukum”.

Bahkan, Imam Al-Ghazali dalam bukunya “al-Mustashfa min `Ilm al-Ushul,” menambahkan maqashid al-syariah sebagai hak hidup (hifzh al-nafs aw al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-`aql), hak untuk memiliki harta (hifzh al-mal), hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh al-’irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut al-Ghazali, seluruh hukum Islam harus diacukan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan ini.

Melalui buku-buku terbitan sarjana Cordova, pemikir-pemikir progressive Eropa menemukan semangat humanisme Islam ini. Maqasith al-Syariah versi khutbah wada’--dima’ (darah dan kehidupan), amwal (harta), dan aradl (kehormatan)--diteruskan oleh John Locke menjadi life, liberty, dan property. John Locke mengintrepetasi a’radl (kehormatan) sebagai liberty (kebebasan). Kemudian Thomas Jefferson ketika menulis “Declaration of Independence” Amerika Serikat mengevolusi lagi konsep John Locke sebagai life, liberty, dan pursuit to happiness (hak untuk mengejar kebahagiaan). Triologi konsep kemanusiaan ini kemudian dielaborasi lagi oleh sarjana-sarjana Barat dan di atas trilogi inilah kebudayaan Barat dibangun. Mereka berhasil merebut api Islam, mengembangkannya (ijtihad) menjadi peradaban, dan meninggalkan ayat-ayat Al-Quran kepada kita untuk sekadar dilantunkan pada lomba musabaqah.

Orientalis terbalik
Hasil triologi kemanusiaan yang telah dielaborasi menghasilkan konsep demokrasi, sekularisme, pluralisme, dan HAM. Sebagian umat muslim menolak konsep-konsep ini karena produk Barat. Ada yang mengatakan bahwa pluralisme bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang jelas-jelas bersikap tegas dan keras terhadap kaum non-Muslim. Pluralisme dianggap hanya akan membuat Islam lemah. Ada juga gerakan Islam yang sangat anti demokrasi karena sistem ini ciptaan manusia, oleh sebab itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sepenuhnya berasal dari Allah. Pemimpin Islam yang lain juga mengatakan bahwa sekularisasi bertentangan dengan Islam. Islam tak mengenal sekularisme dan karenanya akan menolak gagasan sekularisasi.

Sebagian orientalis yang suka merendahkan Islam juga bersikap hal yang sama. Donald Eugene Smith menyatakan sekularisasi adalah konsep yang bertentangan dengan Islam sehingga “tidak relevan berbicara tentang sekularisme dalam Islam” (Smith, India as Secular State, 1963). Muslim yang menolak demokrasi makin mengukuhkan pandangan Samuel Huntington yang mengatakan bahwa Islam merupakan anomali dari demokrasi Barat (the Clash of Civilization, 1993). Lebih jauh lagi, Huntington dan Pipes menganggap bahwa Islam adalah agama yang stagnan dan tak bisa berubah. Keduanya berargumen bahwa absennya demokrasi di sebagian besar dunia Islam menunjukkan sikap resistensi Islam terhadap perubahan. Secara spesifik Pipes menunjuk doktrin bid’ah (innovation) dalam Islam sebagai konsep kunci untuk menolak perubahan

Karena itulah Sadik Jalil al-Azm, intelektual Suriah, menyebut para tokoh Islam yang anti terhadap pembaruan sebagai al-istisraq al-ma’kus (orientalism in reverse, orientalis terbalik). Sama seperti para orientalis, tokoh-tokoh Islam itu menganggap bahwa Islam tak sejalan dengan gagasan-gagasan modern seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, sekularisasi, dan semacamnya. Islam adalah agama yang unik, yang berbeda dari agama-agama dunia lainnya. Islam tak bisa disamakan dengan agama lain, khususnya Kristen, yang bisa menerima konsep-konsep baru produk modernitas.

Bagi para orientalis Barat, Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang arkaik, Islam yang punya aura arkeologis, yang eksotis, yang lampau. Sedangkan Islam yang baru adalah bukan Islam, seperti dengan tepat diungkapkan Lord Cromer, komisionaris Inggris di Mesir, “Islam reformed is Islam no longer” (Islam yang telah direformasi adalah bukan lagi Islam). Bagi sebagian pemimpin Islam, Islam yang benar hanya satu, yakni Islam yang otentis, Islam yang orisinal, Islam masa silam. Islam modern adalah Islam palsu, Islam yang jauh dari otentisitas. Sehingga kaum orientalis dan kalangan Islam non-perubahan, meski keduanya kerap bertentangan dan mungkin juga saling bermusuhan, bertemu dalam cara pandang mereka terhadap Islam. Keduanya menolak pembaruan Islam, karena bagi mereka: “Islam yang telah diperbaharui adalah bukan lagi Islam.”

Meskipun demikian, para pembaru Muslim sejak al-Thahtawi, Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Nurcholish Madjid dan Tariq Ramadan, adalah orang-orang yang percaya bahwa Islam bisa berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Mereka layaknya Giovanni de la Mirandola di abad modern. Sebagian penulis Barat simpatik seperti John L. Esposito, Leonard Binder, dan John Voll juga percaya bahwa Islam bisa menerima demokrasi, liberalisme, dan konsep modern dari luar Islam. Berbeda dengan Lord Cromer dan kaum muslim non-perubahan, bagi mereka “Islam reformed is still Islam.”

Pertanyaannya, di posisi manakah anda berdiri sekarang?

* Penulis adalah pegiat Kelompok Studi Darussalam (KSD).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar