Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Aceh tidak bersyariat

Tue, Sep 28th 2010, 09:42

Aceh tidak Bersyariat

SAYA kaget begitu pernyataan--pada judul--di atas disampaikan salah satu rekan kuliah dari luar Aceh yang sengaja datang dan berkunjung ke Aceh ingin melihat pelaksanaan Syariat Islam. Ia ini ingin sekali belajar dan melihat pengamalan ajaran Islam secara kafah di Aceh. Rupanya rekan ini menjadikan moto pelaksanaan syariat Islam di Aceh sebagai daya tarik kunjungannya ke Aceh, namun hal tersebut tidak dijumpainya. Hal yang sama juga dialami oleh salah satu rombongan departemen tertentu yang melaksanakan rapat kerja regional di salah satu hotel terkenal di Aceh. Panitia rapat kerja ini merencanakan untuk mengagendakan kegiatan pada malam harinya, khusus untuk peserta muslim-muslimah antara lain membawa rombongan ke salah satu desa percontohan untuk belajar dan mendalami Islam, namun hal tersebut tidak dijumpainya.

Semula saya tidak setuju dengan pernyataan tersebut, namun setelah dijelaskan dan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki karakteristik khusus seperti Daerah Istimewa Yokyakarta, Provinsi Bali dan lain-lain, ternyata pernyataan tersebut banyak benarnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan beberapa negeri Skandinavia yang tidak sebanding untuk dipersandingkan. Namun menjadi suatu catatan yang sangat menarik, karena negara-negara ini tidak pernah memproklamirkan sebagai negeri syariat, namun hidupnya justru lebih “bersyariat” dibandingkan dengan Aceh yang memproklamirkan dirinya sebagai negeri syariat.

Di salah satu negeri Scandinavia seperti Norwegia, penulis pernah terkesima atas ketaatan dan kepatuhan masyarakatnya terhadap aturan-aturan untuk kemaslahatan bersama seperti di jalan raya. Kecelakaan lalu lintas di jalan raya di sana yang disebabkan karena kelalaian pengemudi maupun sistem transportasi yang dibangun pemerintah sangat kecil dan bahkan tidak dijumpai polisi lalu lintas yang mengontrol. Hanya saja pada tempat-tempat tertentu telah dipasang camera pemantau yang mengintai pelaku pelanggaran berlalu lintas. Pemerintah juga telah menyediakan titik-titik tempat peristirahatan yang memadai lengkap dengan MCK dan tempat untuk berjalan-jalan sekadar untuk menghilangkan rasa kantuk pengemudi. Pemerintah juga telah menyediakan sarana transportasi yang sangat bagus yang menjamin hak-hak pejalan kaki, orang cacat, pengguna sepeda dan sepeda motor maupun pengguna mobil. Pemerintahnya menarik denda yang tinggi kepada pelanggar-pelanggar aturan dan dijadikan salah satu sumber pendapatan negara serta mencabut/menilang lisensi dan sangat sulit sekali mendapatkan lisensi baru.

Hal yang sama juga dalam hal transaksi jual beli, saya merasa dikagetkan pada saat belanja sayur-mayur di suatu kios yang tidak ada penjualnya. Sang pemilik kios menaruh begitu saja sayur-mayurnya serta mencantumkan harga. Sang Pemilik juga menyediakan box untuk tempat penyimpanan uang. Apabila pembeli setuju dengan harga tersebut tinggal ambil sayur-mayurnya dan memasukkan uang sesuai harga pada box yang telah disediakan. Kios-kios jujur ini banyak tersebar di negeri Scandinavia.

Bandingkan dengan lalulintas Aceh yang tidak teratur yang kesemua penggunanya mengangap lebih penting dan lebih utama di jalan raya sehingga saling serobot dan saling mendahului, termasuk juga sistem perparkiran kenderaan dilakukan sembarangan yang menambah keruwetan dan kemacetan dalam berlalu lintas. Akibatnya angka kecelakaan lalulintas di jalan raya setiap tahun sangat tinggi walaupun, katanya cenderung menurun. Kondisi berlalu lintas di negeri ini terutama pada saat menjelang hari raya seolah-olah masyarakat menjemput maut dengan animo kalau tidak menabrak ya ditabrak. Bahkan selama seminggu menjelang dan sesudah Idul Fitri kecelakaan lalulintas di Aceh dilaporkan mencapai 33 kasus kecelakaaan dalam rentang waktu dari tanggal 3-12 September 2010 dengan perincian 18 orang tewas dijalan raya, 19 orang luka berat, 23 orang luka ringan dan belum termasuk kerugian material lainnya yang mencapai ratusan juta rupiah (Serambi Indonesia ,14 September 2010).

Kita juga dikagetkan dengan berita-berita di media tentang perilaku tidak di Islami yang ditonjolkan segelintir orang Aceh seperti yang diulas Teuku Harist Muzani (Serambi, 21 September 2010) yang menulis “Bek Jak Lom U Banda”. Teuku Harist Muzani menyoroti salah satu perilaku pada salah satu restoran terkenal di Aceh yang pengunjungnya merasa tertipu dengan cara perhitungan cepat bak ahli matematika ulung oleh sang pelayan yang ternyata telah membuat bobol dompet sang pengunjung dua kali lipat dari yang tertera pada daftar menu yang disaji.

Demikian juga masyarakat Aceh yang selalu mendengung-dengungkan bahwa kebersihan adalah setengah daripada iman, namun dalam pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan, hal tersebut dapat dilihat dari kebersihan tempat berwudhu, MCK di masjid-masjid, kantor pemerintah, sekolah maupun di tempat pelayanan umum lainnya dan bahkan Kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi yang telah berusia 805 tahun belum lepas dari masalah kebersihan ini yang ditandai dengan banjir akibat akibat tumpukan sampah dalam selokan dan tidak terkoneksinya satu saluran drainase dengan drainase lain yang lebih rendah. Padahal kota ini telah meraih Adipura, ironis memang, tapi itulah realitas sosialnya.

Ditinjau dari segi ekonomi, Aceh juga masih jauh dari prinsip-prinsip Syariat Islam. Dapat dilihat dari indikasi transaksi keuangan di perbankan syariat masih jauh peminatnya dibandingkan dengan transaksi pada perbankan konvensional. Potensi zakat yang diharapkan dapat menjadi penggerak ekonomi Aceh belum banyak digali secara optimal, padahal potensi kewajiban membayar zakat masyarakat sangat tinggi. Karena itu tidak usah heran masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh terutama di pedesaan-pedesaan.  Demikian juga halnya dalam hal transaksi di pasar, harga jual barang di Aceh sangat tinggi dibandingkan daerah lain. Sebagian masyarakat lebih senang membiarkan toko yang telah dibangunnya “mengganggur” daripada menurunkan harga jual atau harga sewa untuk membantu percepatan pemulihan ekonomi Aceh secara keseluruhan.

Pelaksanaan syariat Islam selama ini lebih banyak dipahami menyangkut persoalan aurat, pergaulan bebas, judi, maisir dan aspek ibadah ritual lainnya. Sementara yang menyangkut dengan perilaku kehidupan sehari-hari masih jauh dari ajaran Islam kurang mendapat perhatian termasuk perilaku Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelaksanaan syariat Islam yang telah berlangsung selama lebih dari delapan tahun harus mampu memberikan perubahan kolektif secara signifikan terutama dalam hal perubahan karakter (character building) anak bangsa untuk membangun Aceh yang adil, makmur dan bermartabat. Pelaksanaan Syariat Islam harus menjadi way of life rakyat Aceh dan menjadi landasan moral dan etika untuk membentuk pribadi dan kolektif yang berakhlak mulia, menghargai dan menjunjung tinggi etos dan prestasi kerja untuk membawa perubahan Aceh ke arah yang lebih baik, semoga.

* Fauzi Umar adalah alumnus IPB Bogor dan berdomisili di Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar