Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Membumikan Alquran di dayah

Fri, Jan 28th 2011, 08:13

Membumikan Alquran di Dayah

WACANA pembentukan Ma’had ‘Aly (Dayah Manyang) yang dikemukakan oleh Wakil Gubernur Aceh beberapa waktu lalu menarik untuk dicermati. Untuk tahap awal ada tiga dayah yang dipersiapkan untuk menjadi Ma’had ‘Aly, yaitu Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Dayah Darul Munawwarah Ulee Gle, dan Dayah Malikussaleh Panton Labu.

Ma’had ‘Aly diharapkan dapat menjadi semacam S3 dalam dunia dayah dan sebagai lembaga lanjutan bagi alumni-alumni dayah lain yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agamanya. Nantinya, pengajar lembaga Ma’had ‘Aly ada yang berasal dari luar negeri, sehingga dapat melahirkan para ulama yang mumpuni dan bertaraf internasional. Ide “cerdas” ini patut diapresiasi. Namun, banyak aspek yang harus dibenahi agar ia tidak dianggap sebagai “angin lalu”. Salah satunya adalah tradisi menghafal Alquran dalam dunia dayah yang telah “mati” harus segera “dihidupkan” kembali.

Generasi salaf merupakan teladan atas perhatiannya terhadap Alquran. Umar bin Khattab sepanjang perjalanannya dari Madinah ke Palestina selalu membaca Alquran (dengan hafalan). Usman bin Affan dan Zaid bin Tsabit adalah para sahabat yang senantiasa mengkhatamkan Alquran (dengan hafalan) setiap sepekan sekali.

Bahkan sejarah telah mengabadikan kesungguhan Abu Hanifah dalam membaca Alquran (dengan hafalan) selama hayatnya sebanyak tujuh ribu kali khatam. Imam Syafi’i--imamnya kaum santri dalam bidang Fiqh--sudah mampu menghafal Alquran pada usia 7 tahun. Hal ini membuktikan bahwa mengahafal Alquran sudah diterapkan semenjak dini dalam dunia pendidikan pada masa klasik. Tetapi tradisi ini nyaris hilang sama sekali dalam dunia pendidikan dayah yang notabenenya dijuluki sebagai pendidikan klasik (tradisional).

Sebagian kalangan dayah berpendapat bahwa yang lebih penting memahami isi Alquran, bukan menghafal Alquran. Betapa banyak hafiz Alquran tapi tidak mampu memahami Alquran secara utuh berdasarkan ilmu-ilmu alat yang sangat luas dan mendalam. Apabila ilmu alat dikuasai secara komprehensif maka ayat manapun yang dikemukakan, pasti dapat dikupas secara tepat dan mendalam. Sebaliknya, bila ilmu alatnya dangkal, sebanyak apapun ayat yang kita hafal, sangat dikhawatirkan akan “nyasar” dalam pemahamannya dan berfatwa berdasarkan lahiriah ayat.

Sebagian lainnya berhujjah, “Santri dayah sibuk dengan menghafal berbagai mata pelajaran, terutama ilmu-ilmu alat yang mayoritasnya berbentuk sya’ir seperti matan Alfiyah (ilmu Nahwu), matan Sullam (ilmu Manthiq), matan Jauharah (ilmu Tauhid), matan Tashil Thuruqat (ilmu Ushul Fiqh). Jadi, sangat tidak layak membebani mereka dengan menghafal Alquran yang hukumnya hanya fardhu kifayah, sedangkan belajar ilmu alat (walaupun hukumnya juga fardhu kifayah) lebih bermanfaat dalam memahami kitab kuning, sehingga mereka memiliki kompetensi unggul dalam bidang hukum Islam yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas.

Sekilas, logika di atas ada benarnya. Namun, mengabaikan aspek hafalan Alquran dengan alasan memahaminya lebih penting adalah suatu kepincangan yang mengakibatkan hilangnya sebagian sunnah Rasul, seperti membaca Alquran sampai tamat di dalam shalat Tarawih di bulan Ramadhan, bukan hanya mengulang-ulang surat al-Ikhlas seperti adat kebiasaan selama ini (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 266). “Menganaktirikan” hafalan Alquran dengan alasan sibuk menghafal ilmu alat adalah suatu kekeliruan. Bukankah kemampuan menghafal dan memahami Alquran bisa disinergikan? Bukankah kemampuan menghafal Alquran dan bait-bait ilmu alat juga bisa diintegrasikan? Hal ini tidak termasuk ke dalam dhiddain (dua hal  kontradiksi yang mustahil dipersatukan), seperti timur dan barat atau hitam dan putih, sehingga seseorang terpaksa harus memilih salah satunya. Bukankah penyelesaian terbaik dari dua dalil yang ta’arudh (paradoks) adalah al-jam’u wa al-taufiq (mengintegrasikan dan mengkompromikannya)?.

Bahkan, di dalam kitab “Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah” (salah satu kitab muthala’ah para guru dayah) karangan Sayyid `Alwi bin Ahmad As-Saqqaf hal. 15 disebutkan bahwa, “Menyibukkan diri (isytighal) dengan menghafal Alquran lebih utama dari pada belajar ilmu-ilmu lain yang bukan fardhu `ain (termasuk ilmu-ilmu alat).” Hal ini semakin “membingungkan” saya, karena yang terjadi dalam dunia dayah justru sebaliknya, atau ada makna lain dari `ibarat kitab tersebut? Terlepas dari mana yang lebih afdhal di antara keduanya, yang pasti keduanya sangat mungkin untuk dipersatukan.

Sebenarnya, bukan tidak ada santri yang sanggup menghafal Alquran sampai 30 juz, tetapi karena dayah tidak memasukkan program menghafal Alquran sebagai salah satu kurikulum wajib, maka proses menghafal Alquran dalam dunia dayah semakin tidak popular dan “terpinggirkan”. Namun, di tengah-tengah ketidakpopuleran tersebut, muncul kaum minoritas dari santri--dengan inisiatifnya sendiri-- yang “mencoba-coba” menghafal Alquran, sebagai wujud syukur atas nikmat akal yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka. Alangkah indahnya, bila potensi ini dikoordinir secara sistematis dalam bentuk kurikulum, sehingga akan melahirkan hafiz dan hafizah dari kalangan santri di masa yang akan datang. Tentunya “kewajiban” menghafal Alquran hanya dipundakkan di atas santri yang punya daya intelektual yang “layak”, bukan mereka yang “pas-pasan”, sebagaimana masyhur dalam kalam nubuwwah, “Janganlah kamu menggantungkan emas di atas leher babi” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 6) Artinya, pembenanan suatu kewajiban harus sesuai dengan kapasitas akal suatu kaum. Hal ini sesuai dengan prinsip “the right man in the right place”.

Merujuk pada teori pendidikan, ada enam pembagian taksonomi kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Mengahafal termasuk tingkatan pengetahuan tingkat dasar. Dalam dunia dayah, kemampuan menghafal seorang santri telah dipupuk semenjak kelas satu sampai kelas enam. Setelah melewati masa “kanak-kanak” tersebut, para santri mulai dilatih menggunakan daya pemahamannya (quwwah al-idrak) dengan metode tahqiq (menetapkan suatu masalah dengan dalil) dan tadqiq (menetapkan suatu dalil dengan dalil lainnya). Mereka mulai dididik untuk berfikir secara kausalitas, konsentris, konvergen, divergen dan silogisme. Alangkah eloknya, bila kemampuan mereka juga digunakan untuk menghafal Alquran dan memahami isinya, sehingga para santri disamping ahli kitab kuning juga ahli kitab suci.

Ada sebagian kalangan santri yang “alergi” menghafal Alquran karena takut kelupaan. Memang, melupakan Alquran yang telah dihafal adalah perbuatan dosa (HR. Abu Dawud dan Turmuzi). Namun, menjadikan hal ini sebagai `illat untuk tidak menghafal Alquran adalah sikap “pengecut”. Seharusnya, hal ini justru menjadi “pelecut” semangat (himmah) untuk menghafal Alquran dan terus-menerus (mulazamah) mengulangnya agar tidak terlupakan lagi. Memang, sesuatu yang pahalanya sangat besar, bila diselewengkan akan mendapatkan dosa yang amat besar pula.

Menghafal Alquran adalah suatu bentuk ibadah yang menjadi ciri khas para ulama. Lembaran sejarah membuktikan bahwa imam-imam besar dari berbagai mazhab adalah para hafiz yang ulung. Tradisi menghafal Alquran perlu “disemai” kembali dalam dunia dayah. Universitas-universitas Islam terkemuka di Timur Tengah pada umumnya masih terus menjaga tradisi mulia ini. Akankah Ma’had `Aly mampu mengadopsinya?. Wallahu a’alam bishshawab.

* Penulis adalah Dosen STAI Al-Aziziyah Samalanga, Pidie Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar