Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

korupsi dan logika hukum pidana islam

Korupsi dan Logika Hukum Pidana Islam

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan eksistensinya sebagai ujung tombak pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sudah puluhan aktor publik dan elite politik yang dipaksa mempertanggungjawabkan perbuatan korupnya di kursi pesakitan. Inilah perkembangan paling meyakinkan yang diperlihatkan KPK selaku aparatur penegak hukum setelah satu dasawarsa gerakan reformasi digulirkan.
Sejurus dengan hal tersebut, maka eforia antikorupsi menjadi tak terelakkan. Beberapa komponen masyarakat angkat bicara dan menyatakan perlawanannya terhadap tindak pidana korupsi dan para pelakunya. Masyarakat kini semakin sadar akan bahaya korupsi dan pentingnya melakukan kampanye antikorupsi.
Seperti disadari, korupsi memang bukan semata delik pidana, tapi telah membudaya, berurat, dan berakar di tengah masyarakat yang permissif. Oleh karena itu, membincang diskursus korupsi di Indonesia sama halnya dengan mengurai benang yang kusut, untuk sekadar menggambarkan kompleksitas permasalahan.
Hukuman Maksimal
Keprihatinan masyarakat terhadap maraknya tindak pidana korupsi di tanah air mendorong lahirnya pelbagai wacana dan gagasan tentang relevansi hukuman mati sebagai alternatif hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana korupsi. Kontrovesi pun bergulir dengan derasnya, antara yang setuju dan menolak. Namun, tentu kita sepakat dalam satu hal bahwa perlu adanya penjeraan terhadap pelaku korupsi.
Menilik dampak yang diakibatkan oleh perilaku koruptif, maka tidak mengherankan jika banyak kalangan berharap, atau paling tidak membuka kran, pemberlakuan hukuman mati sebagai sanksi maksimal bagi pelaku tindak pidana korupsi. Secara yuridis, ini dimungkinkan mengingat hukum di Indonesia masih menganut pemberlakuan hukuman mati. Dari titik ini maka pewacanaan dan implementasi hukuman mati bagi koruptor jelas memiliki akar filosofis dan yuridis.
Bahkan, pada pasal 2 ayat [2] UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan secara tegas bahwa, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat [1] dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, hukuman mati sebagai hukuman maksimal bagi koruptor telah diatur secara nyata dalam sumber otoritatif yuridis pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu, hal krusial yang mendesak saat ini adalah bagaimana regulasi ini dapat tersosialisasi di tengah-tengah masyarakat dan dapat diaplikasikan dalam proses penegakan hukum.
Logika Hukum Pidana Islam
Secara spesifik istilah korupsi memang tidak ditemukan dalam pelbagai khazanah klasik hukum Islam. Hal ini berangkat dari pemahaman literal dalam beberapa teks suci, baik Alquran maupun Hadis, yang tidak secara tegas menyatakan korupsi sebagai bagian dari kejahatan yang ditetapkan sanksinya (hudud). Akibatnya, muncul perdebatan mengenai kategorisasi dan jenis sanksi yang pas.
Para yuris muslim kontemporer mencoba menawarkan dua kemungkinan solusi hukum terkait korupsi dalam nomenklatur hukum pidana Islam. Pertama, korupsi sebagai tindak pidana hudud. Penunjukan teori ini (hudud) merupakan analog dari delik hudud yang dirinci dalam pelbagai teks suci, yakni jarimah pencuri atau merampok, berdasarkan kesamaan unsur, yakni mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Namun demikian, penerapan hudud untuk kasus korupsi dipandang masih menyisakan titik lemah. Dari aspek dampak yang ditimbulkan, terutama dalam konteks kekinian, daya hancur korupsi ternyata jauh lebih berbahaya ketimbang tindak pidana pencurian dalam pengertian konvensional, seperti yang terumuskan dalam kitab-kitab fikih klasik.
Nah, jika korupsi lebih membahayakan, maka upaya analogi kedalam jarimah hudud dinilai belum optimal memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi yang sudah sangat menggurita. Analogi korupsi terhadap tindak pidana pencurian atau perampokan dinilai kurang sepadan. Lagi pula, dalam teori pemidanaan Islam tidak dikenal adanya analogi (la qiyasa fi al-hudud/la qiyasa fi al-nash al-sharih), karena hudud bersifat fixed, strick, rigid, pasti, tegas, dan apa adanya. Ketentuan ini tampaknya sejalan dengan asas legalitas yang dianut hukum pidana di Indonesia yang meniscayakan hukum tertulis sebagai dasar keberlakuan hukum.
Untuk itu kiranya perlu merespons tawaran kedua yang memosisikan korupsi dalam  ranah takzir. Secara sederhana takzir dapat diartikan sebagai pemidanaan yang bersifat mandiri di luar konteks hudud. Teori ini, dengan demikian, meletakkan korupsi sebagai fenomena hukum baru yang karenanya memerlukan norma hukum yang baru pula. Maka dalam posisi ini korupsi tidak dapat diterapkan dalam konteks hudud karena korupsi, sebagai sebuah tindak pidana khusus, tidak termasuk dalam deretan jarimah hudud.
Penerapan sanksi takzir bagi pelaku tindak pidana korupsi diyakini akan melahirkan fleksibilitas dan kemerdekaan hakim untuk menetapkan sanksi yang paling sesuai dan sebanding dengan tingkat kejahatan dan dampak yang ditimbulkannya. Fleksibilitas dan proporsionalitas takzir akan mengantarkan pada suatu kesimpulan tentang relevansi hukum Islam sebagai solusi di era modern dan sekaligus mengukuhkan elastisitas hukum Islam itu sendiri.
Di sinilah takzir akan menjadi solusi alternatif atas maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia karena pada hakikatnya peraturan perundang-undangan yang ada senafas dengan elan vital yang ada dalam takzir. Melalui konsep pemidanaan ala takzir inilah, Islam menawarkan dukungan terhadap pemberlakuan hukuman maksimal sebagaimana tersurat pada pasal 2 ayat [2] UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kini, tidak ada lagi kompromi buat koruptor jika bangsa ini menghendaki kemakmuran dan kesejahteraan. Wallahu alam bishshawab.
Bareng Dr. M. Nurul Irfan. 7 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar