Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Ramadhan sebagai momentum reformasi sosial

Ramadan Sebagai Momentum Reformasi Sosial

Melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa.” (Qs. al-Baqarah/2:183), secara tegas Allah Swt. menggambarkan hasil akhir (konsekuensi) dari suatu upaya konkret manusia dalam meraih derajat kemuliaan (al-maqâm al-mahmûd) di sisi-Nya, yakni derajat “ketakwaan”. Upaya konkret—berupa latihan spiritual (al-riyâdhah al-ruhâ-niyyah) melalui momentum puasa Ramadhan—tersebut merupakan faktor yang membawa indikasi penting bagi kelahiran sosok muslim yang bertakwa. Sifat ini akhirnya menjadi semacam standar global (tolok ukur) penghargaan Tuhan secara kualitatif terhadap hamba-Nya.
Puasa memang dimaksudkan agar pelakunya memiliki kesadaran ruhani atau dalam istilah lain disebut dengan “kesadaran ketuhanan” (God consciousnes). Kondisi suci ini—dengan kesuciannya itu—akan membawa seorang hamba kehadirat Tuhannya Yang Maha Agung—suatu zat yang suci dalam kesejatian-Nya. Yakni, merasakan kehadiran dan kebersamaan dengan-Nya dalam setiap denyut nadi dan eksistensi keseharian kita: Tuhan menjadi begitu dekat. Sebab, tanpa kesadaran semacam itu, maka Tuhan sangat sulit untuk didekati (marifat ila Allâh). Maka dengan demikian, hanya orang-orang yang terpilih dalam seleksi pemegang ‘otoritas langit’ yang bakal mampu menemukan eksistensi Tuhan (God existencially). Yakni para pemilik hati dalam dimensi spiritulitas yang orisinil. Demikian kurang lebih gambaran situasi jiwa orang-orang bertakwa (muttaqin).
Tentu saja, secara naluri (fithrah) setiap orang mendambakan suasana jiwa sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt. bagi orang-orang yang mengerjakan ibadah puasa dengan benar, yakni spirit ketakwaan. Predikat takwa, dengan demikian, menjadi semacam idealitas kejiwaan (al-nafs al-muthma’innah) seorang muslim yang telah menjalankan ibadah puasa dan pelbagai ritual keagamaan lainnya yang bersifat spesifik selama bulan Ramadhan. Keutuhan dan keparipurnaan praktik-praktik keberagamaan selama masa itu akan menjadi barometer keberhasilan seseorang dalam meraih “supremasi tertinggi” di bulan Ramadhan.
Namun sayang, terminologi “takwa”—seperti lazimnya pemahaman khalayak umat—selalu berhenti pada makna “takut” atau ketidaknyamanan perasaan hati seorang hamba kepada Tuhannya. Meskipun demikian, dari sudut pandang etimologi keagamaan, makna semacam ini memang tidak ada salahnya. Bahkan dengan mengambil unsur “takut” sebagai makna generik dari “takwa”, Profesor Toshihiko Izutsu dalam The Structure of Ethical Term in The Koran (1959), berteori, “Karena jenis manusia Arab pra-Islam berwatak sombong, maka kehadiran Tuhan melalui konsep takwa—sebagai menifestasi sikap takut kepada Allah—dalam rangka mematahkan watak kesombongan mereka. Jadi, dari perspektif historis-antropologis, interpretasi takwa sebagai sikap takut kepada Allah menjadi cukup relevan.
Akan tetapi, takwa sebagai proses keberagamaan manusia yang bergerak dinamis dan kualitatif, tak boleh berhenti pada “sikap takut” an sich. Berhenti pada makna semacam itu hanya akan membuat kita menjadi penakut, pengecut, dan konyol. Akibatnya, kondisi semacam ini jelas akan menciptakan suatu proses pendangkalan sikap keberagamaan, yakni apapun yang dilakukan semata-mata karena takut sanksi dari Tuhan, bukan atas kesadaran murni dan bersifat inner.
Karena itu, ”takwa jangan selalu diinterpretasikan sebagai manifestasi rasa takut kepada Tuhan, sebagaimana lazim diartikan oleh orang-orang terdahulu”, demikian kritik tajam Profesor Hamka dalam magnum opus-nya, Tafsir Al-Azhar. Hamka memang benar, karena sikap takut sesungguhnya adalah bagian kecil dari pengertian takwa itu sendiri. Dalam pandangannya, memaknai takwa sebagai sikap takut an sich justru akan mendistorsi makna takwa yang sesungguhnya bernilai jauh lebih elegan ketimbang hanya sekadar sikap takut.
Maka kemudian, Hamka merumuskan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif—seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, sabar, dan se-bagainya—kepada Tuhan: Dimana kita merasakan kehadiran Tuhan dalam batin kita, sehingga kita pun dapat selalu berkomunikasi dengan-Nya. Meskipun Tuhan bersifat transenden (jauh, tak terjangkau), tapi Dia juga bersifat imanen (dekat, ada bersama kita), sebagaimana yang terefleksi dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah bersama kita” (inna Allâha maanâ).
Dengan menyimak unsur-unsur positif—sebagaimana dikemukakan Hamka—tersebut, maka takwa sejatinya dapat menimbulkan bekas (atsar) yang begitu mendalam, terutama dampak secara psikologis—yang membuat kita menyatu dan menyelami keterkaitan dengan kehadiran Tuhan (omnipresent) dalam keseharian hidup kita. Merasakan kehadiran Tuhan dengan segenap kesadaran pada gilirannya akan melahirkan sikap ihsân. Yakni, perasaan kebersamaan dengan Tuhan dalam setiap gerak dan napas. Apapun yang kita lakukan dan di manapun kita berada Tuhan selalu menampakkan diri dalam ruang kalbu. Jadi tak sedikitpun peluang dan ruang yang dapat dimanipulasi. Demikian kiranya makna ihsân sebagai indikasi kuat seorang Muttaqin.
Maka, konsekuensi logisnya adalah tiada jalan lain kecuali patuh di bawah cahaya kesadaran ketuhanan. Maksudnya, bila puasa diyakini sebagai refleksi kesadaran ketuhanan, maka hakikat puasa sebenarnya adalah bagian dari latihan untuk “berani berada” dan “berani dalam ketiadaan”.
Pertama, puasa sebagai latihan untuk “berani berada” dalam hidup ini, seperti dipopulerkan oleh seorang pemikir abad ini, Paul Tillich, melalui karyanya, The Courage To Be. Maksudnya, dengan keberanian hidup bersandarkan kesadaran ketuhanan, maka kita akan terbebaskan dari berbagai kecemasan eksistensial diri kita, seperti teror, santet, penculikan, kematian, dan sederet kecemasan eksistensial lainnya yang sering menghantui hidup manusia. Oleh karena hidup kita hanya bersandarkan ke hadirat Tuhan, maka “tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, dan tiada tempat mengabdi, selain kepada-Nya”, demikian pemaparan ahli tafsir kita, Profesor Muhammad Quraish Shihab (1995). Inilah yang membuat kita tegar untuk “berani berada” dalam kehidupan ini.
Kedua, puasa juga merupakan latihan untuk berani “dalam ketiadaan”, seperti tidak makan, minum, hubungan seks, dan perbuatan tercela lainnya.Paralel makna generiknya, puasa berarti menahan diri dari nafsu makan, nafsu minum, nafsu seks, nafsu berkuasa, nafsu serakah, dan pelbagai ‘nafsu amarah’ lainnya. “Nafsu (keburukan) itu dapat membawa manusia kepada keserakahan”, begitu peringatan Tuhan kepada kita. Melalui puasa di bulan Ramadhan ini, seluruh hawa nafsu manusia dikekang, dikontrol, dan dikendalikan oleh iman dan takwa. Inilah dua nilai intrinsik yang paling sentral dalam agama, seperti bunyi sabda Nabi Muhammad Saw., “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke Surga adalah takwa kepada Allah dan berbudi pekerti luhur”.
Dalam konteks ini, etika ketuhanan (performa ideal tuhan)—sebagai manifestasi dari kesadaran ketuhanan yang tercermin dalam segenap asma-asma-Nya, seperti: al-Rahman, al-Rahim, al-Lathif, al-Ghafur, dan lain-lain—tentu amat diperlukan manusia dalam membangun kesadaran moralitas bangsa. Inilah kewajiban yang secara imperatif, melekat pada diri kita yakini  membangun standar moral dalam kehidupan sosial dewasa ini. Reformasi sosial dari ibadah puasa, dengan demikian, diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai moral yang senafas dengan nilai-nilai keislaman secara universal, seperti: keadilan, kebenaran, dan demokrasi. Semoga kita menjadi orang-orang yang mampu mengambil hikmah puasa Ramadhan dan mampu mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sosial, yakni kehidupan bermasyarakat berlandaskan nilai-nilai ketuhanan (God values), sebagai hasil akhir dari ibadah puasa Ramadhan yang kita lakukan. Wallahu a’lam bi al-shawab[]
Sumber: Fajar Banten 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar