Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Nasib IAIN Ar - raniry

Wed, Oct 20th 2010, 09:58

Nasib IAIN Ar-Raniry

RABU, 24 Oktober 2010 saya mengikuti seminar di Aula Pascasarjana IAIN tentang “IAIN menuju universitas yang mandiri dan kompetitif”, acara yang diselenggarakan oleh IAIN Ar-Raniry tersebut menghadirkan Prof. Imam Suproyogo (Rektor Universitas Islam Negeri Malang).

Rektor UIN Malang itu, mengupas tentang pengalaman dan pemahamannya dalam pengelolaan STAIN Malang sehingga menjadi UIN dan sekarang bahkan menjadi salah satu UIN terbaik di Indonesia. Yang menariknya lagi, Prof. Imam juga menyatakan tentang obsesinya untuk menjadikan UIN Malang sebagai salah satu universitas Islam terbaik di dunia dalam kurun waktu 25 tahun ke depan.

Prof. Imam Suprayogo dan UIN Malang memang memiliki mimpi besar yang mungkin bagi banyak orang dianggap sebagai sebuah kegilaan. Namun dari penuturannya, saya bisa menilai ia sosok yang istiqamah dan gigih dalam memperjuangkan sesuatu yang telah diyakininya. Dalam hal tersebut telah terbukti dengan eksistensi kuat UIN Malang saat ini. Dan mungkin karena itulah, IAIN Ar-Raniry berniat menjadikan Prof. Imam Suprayogo sebagai mitra dan konsultannya dalam memperjuangkan peralihan IAIN Ar-Raniry menjadi UIN Ar-Raniry. Berubahnya STAIN Malang menjadi UIN dilakukan dengan perencanaan yang matang dan melalui kerja keras bertahap seperti perekrutan tenaga dosen yang berkualitas, perbaikan kurikulum, penguatan metodelogi dalam pengajaran, penguatan kapasitas tenaga dosen yang telah ada, dan membangun gairah suasana keilmuan dengan memberi ruang luas bagi stakesholders (baik internal maupun eksternal) untuk terlibat dalam kehidupan kampus, bahkan dalam perekrutan mahasiswa pun dilakukan dengan seleksi ketat agar output-nya nanti semakin berkualitas.

Langkah-langkah di atas itulah yang mungkin belum dilakukan sepenuhnya oleh IAIN Ar-Raniry sehingga mimpi menjadikan IAIN menjadi UIN hanya dianggap sebagai bunga tidur oleh banyak orang. Sehingga keinginan menjadi UIN yang awalnya digemakan Alm. Prof. Safwan Idris sempat meredup ketika IAIN dipimpin oleh Prof. Yusny Saby. Dan sekarang, isu ini kembali menguat seiring dengan pergantian rektor kepada Prof. Farid Wajdi.

Almarhum Prof. Safwan Idris telah melakukan beberapa terobosan efektif yang berorientasi menjadikan IAIN sebagai “pabrik” pencetak para intelektual muslim. Tidak saja melalui ruang-ruang formal, almrhum juga menggalakkan aktivitas informal sehingga kehidupan kampus pada masanya menjadi bergairah. Prof. Safwan juga menjadikan masjid sebagai salah satu tempat kajian dan pembelajaran keislaman efektif yang tidak pernah sepi oleh kehadiran mahasiswa dan dosen. Langkah-langkah tersebut di atas adalah segilintir persiapan yang dilakukan Prof. Safwan dalam proses mengubah status IAIN menjadi UIN. Dan tentunya masih banyak lagi yang dilakukan oleh almarahum dalam membangun IAIN dan saya tidak memiliki kemampuan untuk menguraikan semuanya.

Prof. Farid Wajdi (rektor saat ini) mungkin memiliki persepsi lain dalam membangun IAIN, ia mungkin menganggap, persiapan IAIN menjadi UIN telah selesai dilakukan oleh Prof. Safwan Idris dan para rektor setelahnya sehingga ia hanya meneruskan perjuangan pada perubahan status legal saja (dari IAIN menjadi UIN melalui surat keputusan Menteri Agama RI). Mungkin ia beranggapan, IAIN Ar-Raniry hari ini telah menjadi yang terbaik di Indonesia dan sudah saatnya mengubah statusnya menjadi UIN, walaupun realitanya sekarang tidaklah demikian. Bahkan sebaliknya, kondisi IAIN Ar-Raniry saat ini sangat memprihatinkan. Proyek pembangunan IAIN yang terbengkalai (sekarang katanya akan kembali dilanjutkan) mengharuskan fakultas-fakultas dalam lingkungan IAIN semakin lama menumpang di beberapa tempat. Kondisi tersebut menyebabkan proses belajar mengajar kurang maksimal, dan akan berpengaruh pada menurunnya kualitas produk IAIN tentunya.

Menurunnya kualitas produk IAIN saat ini, tidak saja diketahui dan dirasakan oleh mahasiswa dan para alumninya tapi juga telah tersebar dan diketahui pihak-pihak lain di luar IAIN. Sebagai contoh, iklan di Harian Serambi Indonesia hal. 8, edisi Jumat/4 Oktober 2010 tentang penerimaan CPNS di Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, di situ tercantum formasi alumni sejarah non pendidikan (FKIP) dan non Adab IAIN. Iklan tersebut bermakna, kalau ada alumni sejarah dari selain kedua fakultas tersebut maka dia telah memenuhi kriteria yang dimaui oleh formasi CPNS ini. Tentunya sebuah ironi bagi IAIN yang sedang gagah-gagahnya mengkampanyekan perubahan status menjadi UIN tapi sesungguhnya produknya selama ini tidak diakui kualitas oleh pihak-pihak lainnya di Aceh.

Apa yang harus dilakukan?
Iklan dari Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh menjadi statmen nyata bahwa perlu perubahan arah kebijakan di IAIN saat ini. Mengubah status mungkin dipandang sebagai langkah penting oleh elit institusi ini, tapi yang lebih penting sekarang bagaimana IAIN mampu meningkatkan kualitas produknya dan meyakinkan pihak di luar bahwa alumni IAIN memang berkualitas. Jika ini tidak dilakukan maka mimpi IAIN menjadi UIN sebaiknya dibatalkan saja, karena institusi ini hanya mampu mencetak lulusan yang sama sekali tidak dianggap secara kualitas oleh orang lain. Bagi saya, IAIN harusnya berterima kasih dengan munculnya iklan ini, karena dari situlah kita tahu di mana kita berada saat ini dan apa posisi kita di mata masyarakat Aceh. Dan informasi yang saya terima, iklan diskriminatif dan tendensius seperti itu bukan sekali terjadi, tapi telah terjadi berkali-berkali untuk beberapa jurusan lainnya di berbagai fakultas.

Selanjutnya, IAIN harus meningkatkan standard belajar mengajar sehingga bisa menghasilkan para alumni berkualitas. Peningkatan standard ini bisa dilakukan dengan memperkuat kualitas dosen, perekrutan calon mahasiswa yang selektif, perbaikan sarana dan prasarana dan cara-cara lainnya yang saya kira sudah menjadi pengetahuan umum bagi pemegang kebijakan di kampus. Perbaikan mutu alumni menjadi catatan penting, karena alumni IAIN tidak bisa hanya menggantungkan diri pada instansi pemerintah dalam memeroleh pekerjaan. Dalam hal ini, menurut saya IAIN tidak hanya cukup membekali mahasiswanya dengan pemahaman yang mendalam tapi juga harus disertai dengan keterampilan umum (seperti, penelitian, menulis, dsb) dan keterampilan khusus yang terkait dengan jurusannya.

Saya kira IAIN harus menggali kembali ekspektasi masyarakat Aceh terhadap keberadaan institusi ini. Dari penggalian ini nanti akan memunculkan beberapa strategi baru dalam membangun IAIN yang selaras dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat Aceh. Eksistensi IAIN tentu tidak bisa dilepaskan dari masyarakat dan jika harapan dari masyarakat tidak digubris maka akan berujung kepada lemahnya kredibilitas IAIN, dan fenomena itu mungkin sedang terjadi.

Akhirnya, selamat berjuang IAIN, semoga keberadaanmu menjadi maslahat bagi Aceh, mahasiswa, dosen, alumni dan rakyat Aceh secara keseluruhan.

* Penulis adalah alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar