Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Susahnya beragama

Susahnya Beragama

ASUMSI dasarnya dari artikel ini adalah apa pun puncak pengalaman beragama selalu bersentuhan dengan kekerasan. Tidak mengakui Allah dan Rasul dianggap murtad dan kafir. Bersatu dengan Tuhan, dianggap sesat dan kerap mengundang kekerasan terhadap sang pelaku. Artinya, kedua puncak tersebut selalu berujung pada mulai saling sesat menyesatkan, kekerasan, dan saling kafir mengkafirkan.

Terlalu rasional memahami agama, dipandang melecehkan agama itu sendiri. Terlalu banyak menggunakan batin dan ruhani dalam beragama dianggap “telah bermain-main” dengan Tuhan. Salah satu obat dari kedua kutub tersebut adalah “beragama secara biasa-biasa saja.” Beragama seperti inilah yang dianggap aman dan lebih tentram yang tidak menyusahkan diri sendiri dan orang lain.

Namun, bagaimana dengan manusia yang ingin “mencari” Tuhan, supaya mereka bisa “berasyik-masyuk” dengan-Nya? Kita kadang disuruh ikut tarekat, supaya kalau terjadi sesuatu, bisa “ditimpa” pada sang Mursyid atau Khalifah. Akan tetapi, bagaimana jika seseorang memiliki rasa intelektual yang amat tinggi yang memiliki keinginan terus menerus untuk bercengkrama dengan Tuhan. Dalam sejarah Aceh, mereka yang sudah masuk kategori ini, dipaksa oleh keadaan untuk mengasingkan diri dan menghilang dengan tidak diketahui sebab yang pasti.

Namun, ada satu gejala di tengah masyarakat kita yaitu cepat sekali merasa menjadi “Nabi” sebelum dia mampu memahami hakikat kenabian. Ilham dipaksa menjadi petunjuk atau wahyu. Sentilan akal pikiran dianggap sebuah kebenaran yang sudah baku. Yang unik, dahulu kala, semakin alim seorang ulama, semakin dia menjauh dari wilayah publik. Pengalaman ruhani yang terjadi padanya sulit dipahami. Sehingga dia memilih untuk “menyingkir” daripada berada di tengah komunitas masyarakat.

Pada prinsipnya, sentilan pikiran dalam beragama bukanlah sebuah pengalaman puncak. Sebab, akal selalu berproses dan tidak akan pernah berhenti berpikir, hingga dia masuk pada wilayah metafisika yaitu: bagaimana muncul persatuan ‘alam al-kabir (makro-kosmos) dengan ‘alam al-saghir (mikro-kosmos) yang ada di dalam diri. Saat itulah, akal mencangkok kepentingannya pada batin, sehingga agama bisa hidup dalam diri manusia tersebut.

Sejauh ini, munculnya sekte atau aliran di dalam masyarakat, lebih disebabkan karena sang “Nabi” mereka tidak mampu menganalisa sentilan pikiran dan pengalaman ruhani dalam pengalaman beragama mereka. Pengalaman ruhani dianggap semacam wahyu yang sudah mutlak. Akal dipaksa berdialektika dengan wahyu, sehingga ketika akal sudah tidak mampu menganalisa lagi, dipandang kebenaran tentang paham keagamaannya telah sahih. Akhirnya sang “Nabi” mampu menaklukkan akal pikiran bagi orang yang berada dibawah tingkatan berpikirnya.

Dalam kajian keagamaan, pola manusia mencari Tuhan selalu diambil hikmahnya dari pengalaman Nabi dan Rasul. Ibn ‘Arabi, sebagai contoh, menjelaskan jalan beragama dari ilmu hikmah dari para Nabi dan Rasul. Artinya, apa pun pengalaman beragama, apakah itu mistik, keramat, ladunni, wahdatul wujud, haruslah dimulai dari pengalaman keagamaan pada Nabi melalui pintu ilmu hikmah mereka. Sedangkan, jika seseorang bisa memiliki ilmu yang amat tinggi, sebagaimana pengalaman Nabi Musa, maka seseorang diarahkan untuk belajar ilmu hikmah dari Nabi Khaidir.

Pertanyaannya adalah apakah pemimpin dan pengikut sekte agama saat ini, bisa melalui proses pemahaman dan pengalaman beragama seperti di atas? Karena itu, apapun kelebihan kita dalam beragama, pada prinsipnya tidaklah seluar biasa yang diaggap oleh pengikut kita. Jika demikian, menjadi manusia beragama memang sangat susah sekali. Apalagi jika kita hendak mencari jalan untuk mempertemukan alam al-saghir dengan alam al-kabir dari pengalaman ruhani atau kecerdasan intelektual.

Inilah sebabnya, menjadi Nabi atau Rasul bukan pekerjaan yang mudah dan ringan. Ilmu para Nabi dan Rasul ilmu yang didapatkan dari sumber ilmu melalui Malaikat. Sehingga agama yang mereka bawa selalu menyisakan tanda tanya bagi pengikutnya, antara mengikuti pengalaman ruhani sang-Nabi atau mengikuti gerak pikir akal dalam memahami pengalaman sang-Nabi dan Rasul. Namun, pengalaman ruhani kenabian dan kewalian, bisa diperoleh oleh siapa saja yang benar-benar ingin “bertemu” dengan Allah.

Sebagai contoh, kitab Ihya al-Ulum al-Din karya Imam al-Ghazzali, dipuja oleh sejumlah ulama. Orang yang membaca kitab tersebut boleh mengikuti apa yang termaktub dalamnya. Namun, siapa pun akan terus memikirkan bagaimana pengalaman beragama Imam Al-Ghazzali hingga beliau mampu menulis kitab sebagus ini. Dengan kata lain, karya dan pengalaman keagamaan seorang ulama sangat menentukan wajah dan watak pemahaman agama, yang pada gilirannya membuat orang lain, setuju atau tidak setuju dengan pendapatnya. Akan tetapi, orang lebih suka menekuni isi kitab, ketimbang memahami pengalaman spiritual ulama tersebut

Demikian pula, ketajaman Ibn Rusyd melihat daya batin Ibn ‘Arabi ketika masih belia telah meyakinkannya bahwa Ibn ‘Arabi adalah anak muda yang telah dan memiliki pengalaman spiritual agama yang amat tinggi. Sehingga dialog mereka lebih banyak dilakukan melalui batin, ketimbang bahasa verbal. Artinya, kemampuan untuk melihat pengalaman spiritual/keagamaan seseorang adalah kemampuan yang amat luar biasa. Namun, diatas itu semua ulama-ulama yang memiliki kemampuan ini memiliki karya atau kitab yang masih dirujuk hingga hari ini. Sayang, tidak sedikit dari kita yang mengatakan bahwa ajaran Ibn ‘Arabi sesat dan menyesatkan, terkait dengan konsep wahdatul wujud dan insan kamil.

Namun demikian, sekarang tidak sedikit kita saling salah menyalahkan pemahaman orang lain, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman spiritual orang tersebut. Demikian pula, terkadang baru satu sentilan pikiran muncul dalam melakukan ritual, kita sudah mencari pengikut untuk kita sebarkan bahwa inilah pemahaman agama yang paling benar/hakiki. Fenomena zaman ini memang mirip dengan model beragama new-age di Barat. Artinya, seseorang cepat sekali menjadi anutan orang lain, walaupun pengalaman spritualnya belum mampu menandingi para ulama terdahulu.

Mengapa demikian? Pada era modern, tidak terkecuali di Aceh, orang cenderung haus akan pengalaman spiritual. Sehingga semakin tinggi penggunaan akal, semakin tinggi pula keinginan untuk memahami alam spiritual. Para ulama cenderung menuliskan pemahaman beragama mereka dalam kitab, sehingga siapa pun yang haus spiritual bisa “meminumnya” dari kitab tersebut. Namun, pengalaman puncak beragama pada diri seseorang tidaklah sama. Maksudnya, ada pengalaman beragama yang mendorong seseorang mampu menulis “panduan” bagi orang lain.

Sehingga proses penyandingan ilmu dan iman serta islam adalah keniscayaan. Namun pola ini bukanlah monopoli ummat Islam saja. Di dalam agama Semit, tradisi ini telah berkembang ribuan tahun dan telah menghasilkan dialog yang cukup rumit. Dalam agama Yahudi dikenal dengan konsep Sefiroth dan munculnya kelompok Kabbalist. Dalam agama Kristen ada konsep purgativa, contemplativa, dan illuminativa. Ada yang berpendapat bahwa ketiga konsep tersebut mirip dengan shari’ah, thariqah, and haqiqah (Schimmel, 1975: 98). Karena itu, tiga rangkai alat bantu dalam beragama (ilmu, iman, dan islam) adalah pisau analisa untuk membedakan dimana posisi seorang penganut agama.

Jadi, kesusahan dalam beragama sebenarnya adalah warisan sejarah agama-agama Semit. Inilah warisan dari kajian agama Semit sejak Nabi Ibrahim yang dikenal dengan konsep manusia Hanif hingga pada Rasulullah. Artinya, proses sejarah beragama dan pengalaman beragama telah menyejarah. Karena itu, Rasulullah membuat batasan yang cukup tegas yakni Alquran dan Sunnah-Nya.

Kita dibolehkan memahami tradisi beragama, namun batasannya adalah Alquran dan Sunnah. Pertanyaannya adalah sejauh mana kekuatan ilmu, iman, dan islam kita dalam memahami kedua sumber tersebut? Terkadang malah pemahaman kita terkadang sangkut pada satu episode sejarah keagamaan, hingga tersungkur pada satu sudut pemahaman. Karena itu, beragama itu memah susah. Lebih susah lagi menentukan tingkatan kesusahan beragama dan kesanggupan kita dalam menangani setiap pengalaman beragama.

* Penulis adalah Staf Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar