Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Perempuan di pangkuan islam


Perempuan di Pangkuan Islam

PANDANGAN sebelah mata (misogyny) dan anggapan buruk (stereotype) yang diarahkan kepada perempuan dalam “masa lalu” Barat merupakan penyebab munculnya gerakan feminisme di Barat sebagai emberio dari apa yang disebut di Indonesia dengan “isu gender”. Betapa tidak, karena bagi tokoh seperti Plato dan Aristoteles (Pra kristus) yang diamini oleh St. Celement, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas (abad pertengahan), hingga Jhon Locke, Rousseau dan Nietzche (awal abad modern), perempuan tak pernah dianggap setara dengan laki-laki.

Bagi mereka wanita seperti budak dan anak-anak yang lemah akal dan pisiknya. Bahkan, para paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan biang keladi jatuhnya Adam dari surga. Lebih kejam lagi, St. Albertinus beranggapan, perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang, tidak pernah yakin pada diri sendiri, cenderung melakukan berbagai cara demi keinginannya, pendusta, penuh tipu muslihat, tidak cerdas, licik seperti ular berbisa dan setan bertanduk. Bermula dari anggapan ini, akhirnya perempuan dibatasi perannya dan tidak diiperkenankan ikut campur urusan laki-laki.

Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft (wafat tahun 1797) dengan tulisannya “a vindication of the rights of women” mulai mengecam berbagai bentuk diskriminasi perempuan dan menuntut persamaan hak dalam pendidikan dan politik. Perempuan harus diizinkan bersekolah dan mengikuti pemilu serta tidak bolah lagi seperti burung dalam sangkar, mereka harus dibebeaskan dari penjara “rumah tangga” dan penjara-penjara lainnya. Karena baginya, kelemahan perempuan lebih disebabkan faktor lingkungan, bukan faktor “dari sononya” karena laki-laki pun kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bersifat dan bernasib sama dengan perempuan, yaitu lemah dan tertinggal.

Gebrakan Wollstonecraft ini disambut antusias di seantero Eropa dan Amerika, bahkan di Indonesia dengan mendirikan Liga “inong” di negaranya masing-masling. Tercatat tokoh seperti Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Helene Brion (1882-1962) di Prancis, Ana Kuliscioff (1854-1925) di Italia, Carmen de Borgus (1878-1932), Alexandra Kollontai (1638-1927) di Rusia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927) di Amerika, serta tak ketinggalan R.A. Kartini (1879-1904) di Indonesia. Yang selain hak pendidikan dan politik, para tokoh ini menyuarakan reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan.

Tak cukup hanya itu, kaum perempuan mulai mendambakan kesetaraan dengan laki-laki di semua aspek kehidupan. Seperti persamaan pembayaran gaji, pembagian kerja, dan penugasan. Selanjutnya segala bentuk pembedaan berdasarkan pembedaan berbasis jenis kelamin (gender-based differentiation) harus dihapuskan, yang untuk memuluskan cita-cita itu dan menghindari beban pengasuhan dan pemeliharaan anak Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda berikutnya, mem”provokasi” perempuan bahwa mereka sedang berada di bawah cengkraman dan dominasi kaum laki-laki (male dominated world) yang--diyakini bahwa--dengan cara inilah mereka dapat mebebaskan diri dari eksploitasi dan subordinasi.

Namun, akhir-akhir ini gerakan “feminisme” cenderung kebablasan. Sehingga muncul sikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriaki, mengabaikan perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks. Bagi kaum feminis radikal ini, menjadi seorang istri sama dengan disandera dan tinggal bersama suami sama dengan hidup bersama musuh (living with the enemy), yang kesemuanya itu justru telah menodai cita-cita luhur mereka. Akibatnya, gerakan feminisme disalahkan karena dianggap mengebiri laki-laki, menyuburkan hubungan sesama jenis dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang “gila karir” tukang bersolek, hidup dalam kesepian, pulang ke rumah hanya untuk tidur, mandi dan berganti pakaian atau memberi makan hewan pelihararaan setelah seharian “berkeliaran” di luar.

Bahkan, di Barat dan pengikut “millah” mereka diakui bahwa emansipasi wanita terbukti dapat mengancam keberlangsungan sebuah keluarga, karena para perempuan sibuk kerja dan enggan hamil serta ogah melahirkan. Negara seperti Jerman, Jepang, dan Singapura kini sedang berupaya mengatasi apa yang disebut dengan krisis demografis (berkurangnya jumlah penduduk). Berdasarkan laporan kependudukan PBB, diperkirakan pada tahun 2030 daratan Eropa akan kehilangan sekitar 41 juta penduduknya meskipun terus kedatangan imigran.

Islam dan emansipasi wanita
Islam datang pada abad ke-7 Masehi, zaman di mana perempuan menjadi komoditi dan objek pemuas nafsu serta memuluskan kepentingan ekonomi-politik kaum laki pada era “jahilyah.” Islam telah lebih awal memelopori emansipasi wanita dengan mengeliminasi adat jahiliyah yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan dan menganggap perempuan hanya sekadar perhiasan dan objek untuk diperlombakan bagi kaum laki-laki.

Di era jahiliyah, orang Arab mempraktikkan pola perkawinan yang “melecehkan” perempuan seperti nikah “al-dayshan” (anak sulung boleh menikahi janda mendiang ayahnya dengan cara melempar sehelai kain kepada wanita itu), “nikah syighar” (seorang bapak saling bertukar anak perempuan untuk dinikahi tanpa mahar), “nikah badal” (saling bertukar pasangan {istri} berdasarkan kesepakatan para suami), bahkan ada pula “zawaj istibda’” (suami menyuruh istri untuk bersetubuh dengan laki-laki lain sampai hamil dengan tujuan ingin mendapatkan bibit unggul dari laki-laki tersebut dan setelah hamil istri tersebut dipaksa untuk kembali kepada suaminya). Semua kebiasaan itu telah dieliminir secara tegas oleh Islam dengan mengembalikan martabat perempuan ke tempat yang layak, bahkan memberikan penghormatan yang tinggi bagi mereka.

Alquran mengajarkan perlidungan bagi perempuan dari gangguan laki-laki dengan kewajiban menutup aurat, berpakaian sopan dan berperilaku santun. Tak satu ayat pun dalam Alquran mengajarkan “misogyny” ataupun yang bias gender. Karena di mata Allah nilai seseorang bukanlah dari jenis kelaminnya, tetapi tergantung amal ibadah mereka kepada-Nya. Hadis Rasul mengajarkan umat Islam untuk menghargai perempuan dan menempatkannya pada posisi sejajar dengan laki-laki (al-Nisa’ syaqa’iq al-Rijal) secara wajar. Bahkan ketika ditanya siapakah manusia yang lebih utama bagi seseorang, Rasul menjawab, ibumu, ibumu, ibumu, baru kemudian ayahmu. Hadis ini menegaskan, ibu (perempuan) 3 kali harus lebih diutamakan dibandingkan ayah (laki-laki).

Apabila pada kenyataannya di kalangan muslim masih dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, maka yang seharusnya dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Gagasan emansipasi wanita, feminisme, gender dan nama-nama lain yang bertujuan memuliakan wanita bukanlah sesuatu yang tabu, bahkan patut didukung. Tapi harus diwaspadai jangan sampai berlebihan hingga menabrak rambu-rambu agama dan budaya bangsa seperti yang terjadi di belahan dunia Barat dan para pengekor mereka. Sebab kata Imam al-Ghazail, segala sesuatu jika melampaui batas justru memantulkan kebalikannya (kullu syai’in idza balagha haddahu in’akasa ‘ala dhiddihi). Wallahu a’lam.
* Penulis adalah Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho, Aceh Besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar