Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Kontroversi bendera GAM

Kontroversi Bendera GAM

SERAMBI Indonesia, edisi Minggu 17 April 2011 memaparkan berita berjudul “Bendera GAM Dikibarkan di Persawahan Pulo Pisang” dengan sub-judul: “Barang Bukti dan Pelakunya Diamankan Polisi” dan “KPA Pidie Sangat Menyesalkan”.

Sebagai seorang yang hadir dalam perundingan di Helsinki, dalam hal ini saya ingin menjelaskan beberapa hal dari sudut pandangan teks MoU dan bagaimana soal bendera ini dibicarakan dalam perundingan di Helsinki untuk menghindari timbulnya kontroversi di kemudian hari dalam hal bendera ini.

Pasal 1.1.5 MoU Helsinki berbunyi: “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”. Walaupun inisiasi klausa ini datang dari pihak GAM, tidak terjadi penentangan dari pihak Indonesia, hanya pertanyaan dan diskusi tentang maksud perlunya ada bendera, lambang dan himne sendiri bagi Aceh. Ketua perunding RI, Hamid Awaluddin menyatakan tidak melihat adanya masalah, bahkan mempunyai nilai yang positif kalau tujuannya hanya sebagai lambang kebanggaan dan pemersatu rakyat Aceh dan tidak bertujuan mengganti bendera merah putih yang tetap mesti menjadi bendera kebangsaan di Aceh sebagaimana di seluruh wilayah Indonesia yang lain. Tentang himne, Hamid bahkan menyebutkan kenyataan bahwa semua wilayah lain di Indonesia punya himne sendiri, dengan lagu Indonesia Raya tetap diutamakan sebagai lagu kebangsaan nasional.

Yang menimbulkan masalah sekarang tampaknya adalah anggapan bahwa bendera bergaris merah, hitam dan putih dihiasi bulan bintang itu sebagai “Bendera GAM”. Ini anggapan keliru. GAM tidak punya bendera sendiri; yang digunakan GAM di masa konflik adalah bendera Aceh, yang telah wujud ratusan tahun. Bendera itu hampir sama dengan bendera Turki kecuali letak bintang yang lebih ke dalam lingkaran bulan sabitnya sedikit dibandingkan bendera Turki. Kesamaan ini karena aliansi yang sangat dekat antara kekhalifahan Turki Osmani dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika Almarhum Dr. Teungku Hasan Di Tiro mengambil bendera ini sebagai bendera Aceh Merdeka, ia menambahkan dua garis hitam di tepinya untuk melambangkan para syuhada. Para syuhada ini adalah yang korban dalam peperangan kemerdekaan Aceh melawan Belanda dan Jepang, bukan dalam konflik 1976-2005, karena bendera itu dikibarkan secara resmi (4 Desember 1976) sebelum terjadi perang dan belum ada korban di pihak GAM.

Bahwa bendera itu kemudian didukung dan digunakan oleh GAM tidak mengubah status bendera itu menjadi bendera GAM, sama halnya dengan bendera merah putih yang didukung dan dikibarkan oleh TNI tidak menjadikannya bendera TNI, tetapi tetap bendera nasional RI untuk semua warga negaranya di manapun mereka berada.

Yang dilarang dalam MoU adalah “emblem dan simbol” militer GAM. Pasal 4.2 berbunyi: “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesefahaman ini”. Sayap militer GAM, yang pada mulanya bernama Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) dan setelah Ikrar Stavanger (Juli 2002) menjadi Teuntra Nasional Atjeh (TNA), memang mempunyai emblem, lambang dan benderanya sendiri termasuk bagi setiap wilayah dan kesatuan-kesatuan khusus. TNA sendiri dinyatakan bubar secara resmi dalam proses dekomisioning senjata dan demobilisasi.

Dalam proses pembentukan Partai lokal oleh GAM, pada mulanya diusulkan beberapa nama yang berinisial GAM (seperti Gerakan Aceh Mandiri, misalnya), dengan bendera bulan bintang bergaris hitam-merah dan putih. Itu semua ditolak oleh Pemerintah Pusat atas alasan penggunaan kata “Gerakan” dan “bendera GAM”. Pendaftaran akhirnya diluluskan ketika nama ditukar menjadi Partai Aceh dan lambang bulan bintang dihilangkan. Walaupun secara pribadi saya tidak menyetujui penggunaan bendera Aceh sebagai bendera partai, karena itu akan meniadakan tujuan kebanggaan dan pemersatu seluruh  rakyat Aceh, bukan hanya anggota sebuah partai, namun karena bendera itu belum dinyatakan secara resmi sebagai bendera Aceh, maka saya tidak melihat adanya alasan mengapa Pemerintah Pusat menolaknya, dan menerima modifikasi dengan menghilangkan bulan bintang. Kalau bulan bintang menjadi penyebab, mengapa partai-partai nasional boleh menggunakan simbol tersebut? Dan kalau kata Gerakan menjadi masalah, mengapa ada partai nasional yang boleh menggunakan kata tersebut (Gerindra, Gerakan Indonesia Raya, misalnya)?

Kita sangat berharap kepada Pemerintah Aceh (eksekutif dan legislatif), bertindak cepat membuat qanun tentang bendera, lambang dan himne Aceh ini, supaya tidak terus terjadi kontroversi yang akan mengganggu perdamaian. Pihak akademisi bisa mengadakan riset tentang latar belakang bendera bulan bintang bergaris hitam-merah dan putih ini. Sebagai salah satu sumber masih dapat dilihat di Bukit Cina di Melaka, Malaysia. Bukit Cina ini telah menjadi perkuburan Cina, ketika tanah tersebut dijual oleh pemilik Melayunya kepada masyarakat Cina, tetapi di puncaknya masih terdapat makam Panglima Pidie, yang sudah berada di situ ratusan tahun sebelumnya, yang dipelihara baik oleh Pemerintah Malaysia sebagai warisan sejarah bangsa Melayu. Tertulis di makam tersebut bahwa Panglima Pidie adalah pahlawan Aceh yang gugur bersama Syamsuddin Al-Sumaterani, semasa perang antara Aceh dan tentara Portugis di Malaka di abad XV. Dalam perang itu, ribuan prajurit Aceh tewas, kabarnya dalam perang itu Iskandar Muda mengirim ribuan kapal. Memang dari letak kuburan itu bisa tergambar bahwa itu adalah tempat pertahanan terakhir perjuangan Kesultanan Melayu yang dibantu oleh Tentera Aceh. Dari bukit itu tampak pelabukan Melaka yang waktu itu sudah dikuasai Portugis; mungkin sekali tentera Aceh mula-mula mempertahankan pelabuhan itu dari serangan Portugis dan kemudian terus mundur dan bukit Cina itu menjadi tempat pertahanan mereka terakhir hingga mereka syahid semua dan dikuburkan di tempat itu juga.

Hubungan makam ini dengan konteks bendera Aceh yang menjadi topik dari tulisan ini adalah adanya di bawah sebatang pohon di tepi makam dua Panglima Pidie itu batu-batu nisan kecil yang setengah tertanam. Di salah sebuah batu nisan itu masih tampak jelas bendera bintang bulan Aceh. Ini menunjukkan bahwa bendera itu sudah digunakan paling kurang sejak abad ke XV.

Maksud saya menulis opini ini supaya isi dan penafsiran klausa-klausa MoU, termasuk tentang bendera ini, diadakan secara terbuka, ilmiah dan tidak emosi; agar ketika membuat Qanun nanti telah ada gambaran yang jelas akan keinginan dan aspirasi rakyat Aceh, yang tidak bertentangan dengan MoU dan UUD RI, dan tidak terulang seperti UUPA yang mengandung begitu banyak ketentuan yang bertentangan dengan MoU, karena teks-teks telaah berbagai pihak di Aceh, seperti dari GAM, PEMDA, 4 Universitas utama di Aceh, tidak menjadi dasar pertimbangan tetapi hanya mengakomodir pendapat wakil-wakil DPR asal Aceh waktu itu.

Yang paling utama perlu diperhatikan adalah basis perdamaian Aceh adalah “Adil dan Bermartabat”. Bendera adalah salah satu lambang martabat Aceh, janganlah itu menjadi sumber perpecahan dan kecurigaan. Bahwa klausa tentang bendera ini dimasukkan dalam MoU jelas menggambarkan para perunding kedua belah pihak di Helsinki menganggapnya satu hal yang sangat penting. Bahkan klausa tersebut terdapat di bawah judul “Penyelenggaraan Pemerintah Aceh”, yang juga menentukan enam (6) wewenang Pemerintah Pusat.

Semua pihak, baik masyarakat awam maupun penegak hukum harus jelas bahwa kedudukan bendera merah putih sebagai lambang kebanggaan kebangsaan nasional dan pemersatu semua warga negara Indonesia tidak bisa dan tidak akan terganggu-gugat oleh adanya lambang kebanggaan dan pemersatu wilayah Aceh. Yang menyatukan itu tidak bisa sekaligus memecahkan. Ketika seseorang mengibarkan bendera Aceh dengan di sampingnya bendera Indonesia yang lebih tinggi tiangnya, itu akan menandakan bahwa orang tersebut itu juga menerima supremasi merah putih. Ketentuan-ketentuan detail tentang cara dan waktu pengibaran kedua bendera tersebut dapat diatur dalam qanun sehingga tidak menimbulkan kontroversi dan keragu-raguan.

* Penulis adalah mantan perunding GAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar