Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Islam minimalis

Fri, Dec 3rd 2010, 09:29

Islam “Minimalis”

BELAKANGAN di dalam dunia arsitektur mulai berkembang istilah rumah bergaya minimalis. Peminat rumah minimalis semakin lama semakin banyak. Kepopuleran rumah minimalis tersebut bahkan membuat orang berlomba-lomba membangun rumah yang sebenarnya adalah simplified version dari rumah rumah model umum atau yang biasa dilihat sekarang. Bentuknya sederhana, tidak rumit tetapi juga bisa eye catching.

Nah, tulisan ini tidak mendiskusikan rumah minimalis tadi. Akan tetapi berhubung seiring dengan menjamurnya rumah minimalis, maka entry kamus bahasa masyarakat kita juga perlahan bertambah. Dalam paragrap pertama di atas, contoh yang disebutkan lebih berarti positif dan baik di lingkungan kita. Walaupun demikian, pemakaian istilah minimalis sudah mulai diarahkan ke beberapa makna kiasan yang bertendensi tidak baik. Sebutlah saja istilah orang “minimalis” yang bermakna cenderung negatif, atau kasarnya orang pelit. Bagi yang agak enggan menyebut pelit atau kriet, memperhalus dengan sebutan menjadi “orang yang super hemat” yang diucapkan dengan nada bicara dan intonasi yang kurang menyenangkan.

“Islam minimalis” juga pada kenyataannya sangat condong diinterpretasikan negatif. Suatu kali dalam diskusi kecil, seorang teman berkata “si pulen itu islam, tapi mungkin dia islam minimalis”. Saya kemudian tercenung dan langsung mengasosiasikan istilah itu mungkin sama dengan istilah “Islam KTP” atau kalau di Jawa orang menyebutnya dengan “Islam Abangan” yang dulunya dan bahkan sampai sekarang masih kita dengar. Semuanya bermakna tidak atau kurang baik. “Islam minimalis” adalah kondisi di mana seorang muslim tidak mempraktikkan ajarannya dengan baik, baik ritual maupun sosial-jika boleh saya berpendapat. Meskipun dalam banyak konteks, makna “Islam minimalis” lebih ditujukan kepada mereka yang tidak mempraktekkan ritual belaka.

Tulisan Fauzi Umar berjudul “Islam tak Bersyariat” dan Harist Muzani bertitel “Jak Lom U Banda” bagi saya pribadi adalah refleksi bahwa umat “Islam minimalis” memang masih sangat banyak di negeri kita. Satu contoh lain, begitu banyak umat Islam di tempat kita yang berlomba-lomba membangun mesjid, bahkan sampai harus meminta sumbangan di jalan lintas Banda Aceh-Medan. Namun setelah itu, sanitasi toilet amburadul, bahkan di beberapa masjid, shalat  berjemaah nyaris tidak ada lagi. Sangat memprihatinkan. Di sisi lain, banyak para pejabat yang mengaku dari partai dan organisasi berlatar belakang islam namun korupsinya selangit.

RAPBA yang hampir setiap tahun terlambat disahkan, hanya gara gara negosiasi antara eksekutif dan legislatif atau juga dakwa-dakwi diantara sesama pejabat dan anggota dewan. Betapa banyak pasien yang terlantar dikarenakan pelayanan yang tidak PRIMA dari manajemen rumah sakit yang fasilitasnya sangat mewah dan katanya dibangun oleh salah satu negara Uni Eropa. Hitung saja berapa kali terjadi salah diagnosa, salah operasi, atau mal-praktek yang mengakibatkan pasien sakit parah, cacat seumur hidup atau bahkan meninggal dunia.

Dari sisi ekonomi, bank-bank di Eropa, seperti Inggris dan Jerman banyak yang memakai sistem non riba- tanpa bunga, jikapun ada sangatlah sedikit. Bandingkan dengan sistem ekonomi dan perbankan kita, yang katanya daerah dengan penduduk muslim terbesar dan bersyariat namun riba ada di mana-mana. Apalagi masalah sikap dan budaya hidup, kita masih banyak harus berbenah. Pemakaian fasilitas publik dan sarana umum apalagi. Di kendaraan umum, kita berdesak untuk duduk. Para lansia, orang cacat dan wanita terkadang tidak punya tempat dalam transportasi umum di negeri kita. Bisa jadi prinsip “bek kheun taloe meu seri hanjeut” sudah sangat terinternalisasi dalam diri kita.

Jadi wajar begitu banyak dugaan tidak benar kepada umat Islam, sampai-sampai ada yang mengklaim bahwa Islam di Aceh adalah “dangerous radical” muslim serta merupakan salah satu sarang jejaring terorisme di Asia Tenggara. Sangat mungkin kita menjadi marah, galau dan perih mendapat sebutan demikian. Namun melihat catatan keseharian kita, walaupun tidak mutlak benar, beberapa klaim radikal tersebut tercermin pesis dalam prilaku sosial masyarakat kita.

Sungguh “minimalis” keislaman kita. Memang salah satu prinsip ushul fiqh adalah “memudahkan” dan bukan “menyusahkan”. Tapi masalahnya, kita selalu ingin memudah-mudahkan dan akhirnya mengada-ada. Hal yang lain adalah kondisi kita masih sangat memungkinkan untuk mempraktikkan keislaman kita seluas-luasnya. Kita punya syariat Islam yang meskipun masih banyak kekurangan, tapi pada dasarnya adalah payung bagi kita untuk menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama bagi peradaban yang lebih baik. Kita hidup di daerah yang punya latar belakang keislaman dan sejarah khas yang tidak dipunyai daerah lain. Banyak kelebihan dan kemudahan yang sudah diberikan kepada kita, namun belum maksimal kita manfaatkan sebaik-baiknya.

Memang benar, tidak semua masyarakat kita masuk dalam kategori “Islam minimalis”. Ini hanyalah sebagai reminder bagi saya pribadi sekaligus renungan bagi kita semua. Karena itu, mari menunjukkan keteladanan kita kepada orang lain. Menjadi muslim berarti dua hal: sebagai muslim tekstual sekaligus kontekstual. Tidak mesti menjadi “Islam maksimalis”, jika memang kita nantinya menjadi umat Islam yang over acting, reaktif, cepat marah, gampang terprovokasi dan bingkeng.

Akan tetapi, menjadi muslim moderat, “reumeh” namun selalu komit terhadap aturan agama adalah sebuah pilihan yang tidak jelek. Bukankan Alquran menyebutkan bahwa memang umat islam dilahirkan menjadi “ummatan wasathan”, umat pertengahan, yang tidak berlebihan dalam urusannya? Mudah-mudahan saja pertumbuhan populasi penduduk “Islam minimalis” menjadi semakin kecil ke depan.

* Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar