Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Saatnya ulama memimpin

Wed, Jan 12th 2011, 08:38

Saatnya Ulama Memimpin

TULISAN Sehat Ihsan Shadiqin (SIS) mengenai Ulama di Ranah Politik (Serambi, 9/1/2011) telah merefleksikan sebuah sikap apatis terhadap kekuatan politik ulama dalam proses demokrasi di Aceh 2011. Anehnya sikap apatisme SIS kemudian dikaitkan dengan persepsi masyarakat dengan tanpa melakukan sebuah penelitian, bahwa kenyakinan SIS sama seperti kenyakinan masyarakat pada umumnya.

SIS menulis “orang Aceh merasa, ulama merupakan sosok yang “cukup syarat” untuk memimpin organisasi pemerintahan. Meskipun mereka sadar kebanyakan ulama di Aceh tidak memiliki pengetahuan tentang manajemen dan birokrasi pemerintahan, namun sikap wara’, zuhud, arif, tawadhu’ dan ketaqwaannya dianggap menjadi modal penting untuk mengelola sebuah pemerintahan”.

Pernyataan SIS yang disandingkan kepada kata “mereka” dan kemudian menyatakan bahwa ulama tidak mempunyai kemampuan tentang manajemen dan birokrasi pemerintahan adalah sebuah sikap kaum sekularistik yang memisahkan konsep agama dengan pemerintahan. Padahal antara pemerintahan, negara, dan politik tidak dapat dipisahkan dari ulama, apalagi agama. Sejarah sosial politik bangsa Indonesia membuktikan bahwa kalangan ulama senantiasa aktif dalam dinamika berbangsa dan bernegara.

Ironis, SIS juga juga meragukan tentang sikap wara’, zuhud, arif, dan tawadhu’ sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negeri yang berkeadilan. Bukankah berbagai persoalan yang terjadi hari ini, karena tidak adanya para pemimpin yang wara’ dan zuhud. Sikap zuhud inilah yang telah hilang dalam kepemimpinan di Aceh. Pola hidup hedonis para pemimpin di Aceh telah menciptakan jurang pemisah antara kaum miskin dengan pemimpin yang telah menjadi OKB (orang kaya baru). Akibatnya berbagai krisis kepercayaan bermunculan, dana pembangunan tidak dapat digunakan secara optimal, sehingga BPS meliris laporan (2010) bahwa Aceh menjadi provinsi termiskin ketujuh di Indonesia. Pahadal kekayaan yang diterima setelah adanya UU Pemerintahan Aceh berlimpah.

Dalam kondisi demikian, ulama, sebagai orang yang paham dan selalu menjaga ajaran Tuhan, harus mampu menjadi decision maker dalam sistem perpolitikan di Aceh. Sebagaimana sejarah kepemimpinan Islam masa setelah kerasulan. Umar bin Abdul Aziz adalah satu satu contoh keteladanan seorang pemimpin Islam yang merupakan seorang ulama dan umara. Pemimpin yang selalu menjadi amanah, jujur, cerdas, selalu menyampaikan kebenaran berdasarkan ajaran syariat Islam serta hidup dalam keadaan wara’ (taat pada syariat Allah) dan zuhud (sederhana).

Sejarah Aceh telah mencatat bahwa peran ulama mempunyai posisi yang sangat strategis. Setelah Sultan Aceh mengalami kekalahan dalam perang melawan Kolonial Belanda, estafet kepemimpinan diserahkan kepada para ulama. Teungku Syik di Tiro adalah salah satu ikon ulama yang juga sebagai umara. Ia tidak hanya menjadi imam dalam hal ibadah ke sang Pencipta, namun ia juga menjadi imam dalam politik dan kekuasaan. Beliau mampu manyatukan kembali kekuatan yang ada di Aceh untuk melawan penjajahan serta menegakkan Islam.

Pada periode selanjutnya, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh juga telah menunjukkan bahwa ulama tidak hanya sebatas imam di masjid saja. Namun Beliau adalah simbol seorang ulama abad modern yang juga menjabat sebagai Gubernur sipil dan Militer untuk tanah Aceh, Langkat dan Karo. Meskipun akhirnya sang nasionalis sejati ini dipasung dalam “penjara” penguasa orde baru.

Sejak itulah peran dan eksistensi ulama-pun dipasung dalam sistem perpolitikan orde baru yang otoriter militeristik. Seiring dengan pergolakan Aceh Merdeka, peran ulama semakin terpuruk dan dilematis. Politik devide at ampere (pecah belah) di kalangan ulama juga turut serta melemahkan eksistensi kaum ulama dalam hal perpolitikan. Sebagian dari ulama yang dianggap kharismatik “dipaksa” menjadi juru kampanye partai tertentu untuk meraih suara dan simpati rakyat. Sebagian lain yang anti partai penguasa orde baru “disekolahkan” tanpa jejak, seperti yang dialami oleh Teungku Ahmad Dewi. Inilah masa kelam peran ulama di Aceh di mana ilmu yang dimiliki tidak mampu diwujudkan dalam sebuah regulasi (kebijakan) yang menjadi panutan dan aturan yang harus ditaati.

Kondisi ini telah menyebabkan ulama hanya dianggap sebagai pelengkap para penguasa, peran ulama hanya sebagai penasihat yang boleh didengar dan juga tidak wajib dilaksanakan oleh para penguasa. Pergeseran nilai dan peran ulama ini terus dipelihara sampai hari ini. Bahkan SIS menyatakan ulama tidak mempunyai kekuatan untuk mengembalikan perannya dalam politik di Aceh, bahwa SIS menyatakan ulama seakan terus menjadi “pengikut” penguasa. SIS menulis “namun keterikatan emosional, financial, kepentingan, menjadikan ulama tidak bisa tidak, tetap akan mengikuti apa yang diinginkan penguasa”. Klaim SIS tanpa membuktikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa ulama mengikuti apa saja kehendak penguasa demi keuangan, benarkah?

Terlepas apa benar atau tidak benar apa yang dikatakan SIS dalam artikelnya itu, saya lebih melihat bahwa momentum dicabutnya pasal 256 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang membatasi calon perseorangan oleh Mahkamah Konstitusi, harus dijadikan sebagai era kebangkitan kaum ulama Aceh untuk menjadi panutan di tengah degradasinya kepemimpinan yang tidak amanah. Disaat perpecahan berbagai fraksi karena pergesekan kepentingan politik dan ekonomi, ulama harus bersatu menjadi leader  dalam segala hal. Ulama harus mampu menunjukkan eksistensinya sebagaimana telah ditunjukkan pada masa perjuangan kemerdekaan dan pada era Teungku Daud Beureu’eh.

Ulama Aceh harus bersatu, melakukan restorasi perannya, membangkitkan eksistensinya dalam memimpin negari ini. Saya yakin, bahwa ulamalah yang memahami tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang pernah diajarkan kepada Gubernur Amer Ibn Hasen, yaitu (1) Selalu berpijak pada syariat Allah dalam semua urusan, (2) Menegakkan kebenaran sebagaimana perintah Allah, (3) Memberi kabar gembira kepada manusia dan melaksanakan kebaikan. (4) Menegakkan keadilan dan hak-hak manusia. (5) Lemah lembut dalam kebenaran dan tegas terhadap kezaliman, (6) Memberi kabar gembira tentang surga, dan memberi peringatan tentang neraka dan segala perbuatan menuju kepadanya, dan (8) Menyatu dengan manusia agar menegakkan syiar Islam.

Prinsip-prinsip ini telah hilang di negeri ini, negeri yang seharusnya menjadi kiblat penerapan hukum syariat, telah terperosok dalam prilaku koruptif. Dalam kondisi demikian, elemen-elemen Islam harus menyatukan visi dan misinya dalam mewujudkan Aceh yang lebih bermartabat dan berkeadilan. Yaitu keadilan yang akan melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Aceh.

Setidaknya, peluang independen yang diberikan oleh undang-undang ini memberi jalan bagi ulama di Aceh tanpa harus melakukan “transaksi” dengan partai politik dalam mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin pada 2011 ini.

* Penulis adalah Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama Aceh & Peneliti The Aceh Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar