Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Mei 2011

Sekolah tanpa pelajaran agama

Sekolah tanpa Pelajaran Agama

REALITAS empirik menegaskan, pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia. Selama ini, pendidikan banyak menghasilkan “sampah”. Pendidikan persekolahan menghasilkan orang-orang cerdas yang tidak bisa berfikir. Tanpa kemampuan inovasi, tanpa memiliki orientasi hidup yang jelas. Tidak pula mampu memdayagunakan apa yang ada pada diri mereka.

Sekolah memperlakukan peserta didik semata sebagai hard disk yang siap dimasuki informasi apa saja, tetapi tanpa adanya dukungan program untuk mengolahnya. Setiap hari mereka hanya belajar menyimpan informasi ke dalam otak, dan mengingat kembali saat ulangan.

Komputer yang bagus sekalipun tidak akan memberikan manfaat apa-apa kalau tidak ada system operasi yang mendukung dan program software yang baik. Begitu pun peserta didik. Bekal IQ yang tinggi dan pendidikan intelektual yang unggul, tidak banyak memberi manfaat jika mereka tidak dibekali visi serta basis intelektual yang kokoh.

Salah kaprah pendidikan agama
Sementara pendidikan agama nyaris tidak ada. Yang disebut sebagai pendidikan agama, selama ini, sebenarnya tak lebih dari sekadar pelajaran menghafal dengan materi agama. Ini berakibat sangat fatal terhadap perkembangan religiusitas-lebih kusus lagi spiritualitas- peserta didik. Gara-gara penamaan pelajaran menghafal sebagai pendidikan agama, peserta didik mengalami dereligiusitas dan despiritualitas yang menyedihkan.

Model pendidikan yang mereduksi agama menjadi hanya seperti pelajaran bahasa Indonesia, IPA, atau bahkan lebih renah dari itu, membuat potensi ruhiyah peserta didik tumpul dan bahkan mati. Bertambahnya jam pelajaran agama-dengan metode seperti di atas- tidak menambah kekuatan ruhiyah mereka. Sebaliknya, justru bisa rentan masalah. Mereka kehilangan kepercayaan kepada agama, meskipun mereka tetap beragama. Hari ini, sejak beberapa dekade silam, itulah yang sedang terjadi. Akibatnya, banyak yang mengalami disorientasi hidup.

Sejatinya pendidikan
Pendidikan dirancang untuk secara seimbang memberi sentuhan yang menggerakkan aspek kognitif, afektif, konatif, psikomotorik dan spiritual peserta didik. Tidak bisa dipisah-pisahkan. Pendidikan yang hanya menyentuh salah satu aspek saja, akan lemah dan rapuh. Boleh jadi tampaknya kuat, tetapi tidak memiliki landasan psikis yang kuat.

Hari ini kita juga melihat bagaimana peserta didik yang hanya diaktifkan kognitif terendahnya berupa menghafal, bobrok rasa percaya dirinya. Mereka menyerap materi agama, tetapi tanpa rasa; tanpa penghayatan. Akibatnya, pengetahuan mereka banyak, tetapi hampir-hampir tak ada yang diingat ketika mereka menghadapi masalah atau berinteraksi dengan realitas kehidupan dunia. Seakan-akan mereka belum pernah bersentuhan sama sekali dengan apa yang tersimpan dalam ingatan mereka.

Model persekolahan yang sekarang berlangsung, memberi pelajaran terlalu banyak. Ini tidak proporsional dan tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan intelektual yang memiliki basis kokoh. Meminjam istilah dalam buku Those Who Can Teach, model tersebut hanya sesuai untuk jenis sekolah birokratis, sekolah yang diarahkan untuk menghasilkan manusia didik yang patuh birokrasi. Ini sangat efektif untuk menumbuhkan kepatuhan, tetapi mengakibatkan tumpulnya daya inovasi dan nalar. Sulit mengharapkan manusia didik dari sekolah birokratis mampu melahirkan gagasan-gagasan segar, pemikiran yang matang maupun visi hidup yang tajam dan jernih.

Dimulai dari SD
Itu sebabnya, pendidikan dasar harus kembali kepada kebutuhan yang paling pokok, yakni menyiapkan dasar-dasar keilmuan dan kepribadian. Pada masa sekolah dasar (SD), yang paling penting adalah memberikan basic of knowing dan basic of knowledge. Yang pertama bersifat motivasional; kekuatan penggerak yang membuat anak merasa apa dilakukannya bermakna. Yang kedua merupakan dasar-dasar pengetahuan bagi siswa, sehingga mereka akan lebih siap mengelola ilmu yang diserapnya.

Pada tahap ini, anak dipersiapkan untuk berlatih berpikir secara runtut, mampu mengungkapkan gagasan dengan baik, rapi dan mengalir, serta memiliki penguasaan logika yang matang. Ini diwujudkan dengan pembelajaran digesting (mencerna isi bacaan) dengan pelajaran membaca. Dalam hal ini, perhatian utama materi digesting bukan pada pemberian keterampilan membaca (reading skill). Tetapi lebih kepada bagaimana siswa belajar menikmati bacaan, mencerna dan menilai. Ini bukan berarti keterampilan membaca diabaikan. Keterampilan membaca tetap dikembangkan sebagai ikutan dari proses pembelajaran digesting.

Hasil pembelajaran membaca itu diikat dengan menulis. Kata Ali bin Abi Thalib, “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Melalui pembelajaran menulis, anak belajar menuangkan gagasan secara teratur, rapi dan runtut. Menulis juga mengajarkan anak untuk cermat melihat masalah. Anak belajar berpikir dengan struktur yang kuat. Ini akan mendorong anak memikirkan ilmu yang diserapnya lewat bacaan secara aktif dan mendalam, sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.

Adapun penyiapan dasar-dasar untuk berpikir logis diberikan melalui pelajaran berhitung. Ini juga berfungsi untuk menstimulus kecerdasan matematika anak. Melalui pelajaran berhitung, selain dimaksudkan untuk meletakkan dasar pengetahuan yang kokoh, juga diarahkan untuk melatih anak berpikir cepat dan tepat. Ini diwujudkan melalui proses pembelajaran dengan menggunakan program komputer yang sesuai dengan perkembangan anak, sehingga dapat dicapai pembelajaran yang fun (menyenangkan).

Tiga pelajaran saja
Berdasarkan penjelasan di atas, materi pelajaran untuk siswa kelas 1 dan 2 SD sebaiknya 3 mata pelajaran saja. Yakni, membaca, menulis dan berhitung. Tidak ada pelajaran lain. Pelajaran agama pun tidak ada. Yang ada ialah penanaman tauhid, membangkitkan semangat beragama dan menumbuhkan misi hidup yang religius melalui semua mata pelajaran, serta melalui proses interaksi yang terencana antara guru dan murid. Memasuki kelas 3, barulah siswa mendapatkan pelajaran fiqih. Tapi tetap bukan pelajaran agama, sebab agama seharusnya tidak dipisahkan dari pelajaran lain.

Sesuai dengan fase awal turunnya wahyu kepada Rasulullah saw., pendidikan agama melalui mata pelajaran lain secara integratif, diarahkan untuk membangkitkan jiwa yang tertidur. Menjadi semacam penggerak untuk bertindak, berbuat dan mengarahkan orientasi siswa. Ia menjadi semacam basic of knowing. Ia menjadi the spirit of excellence (semangat untuk mencapai yang terbaik) pada jiwa anak. Barulah setelah rasa beragama itu memiliki dasar yang kuat, mereka dikenalkan dengan pembelajaran fiqih secara formal.

* Ahmad Arif adalah peminat kajian sosial keagamaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar