Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Kamis, 21 Juli 2011

5 Kunci Pengokoh Jiwa Penenang Batin dalam Mengarungi Persoalan Hidup

  1. Aku harus siap menghadapi hidup ini, apapun yang terjadi
    Hidup di dunia ini hanya satu kali, aku tak boleh gagal dan sia-sia tanpa guna.
    Tugasku adalah menyempurnakan niat dan ikhtiar, perkara apapun yang terjadi kuserahkan kepada Alloh Yang Maha Tahu yang terbaik bagiku.
    Aku harus selalu sadar sepenuhnya bahwa yang terbaik bagiku menurutku belum tentu yang terbaik menurut Alloh SWT. Bahkan sangat mungkin aku terkecoh oleh keinginan dan harapanku sendiri.
    Pengetahuanku tentang diriku atau tentang apapun amat terbatas sedangkan pengetahuan Alloh menyelimuti segalanya, Dia tahu awal, akhir dan segala-galanya.
    Sekali lagi betapapun aku sangat menginginkan sesuatu, tetapi hatiku harus kupersiapkan untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapanku. Karena mungkin itulah yang terbaik bagiku.
  2. Aku harus rela dengan kenyataan yang terjadi
    Bila sesuatu terjadi, yaa… inilah kenyataan dan episode hidup yang harus kujalani.
    Aku harus menikmatinya, dan aku tak boleh larut dalam kekecewaan berlama-lama. Kecewa, dongkol, sakit hati tak akan merobah apapun selain menyengsarakan diriku sendiri. Dongkol begini, tak dongkol juga tetap begini.
    Hatiku harus realistis menerima kenyataan yang ada, namun tubuh serta pikiranku harus tetap bekerja keras mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.
    Bila nasi telah menjadi bubur, maka aku harus mencari ayam, cakweh, kacang polong, kecap, sledri, bawang goreng dan sambal agar bubur ayam spesial tetap dapat kunikmati.
  3. Aku tak boleh mempersulit diri
    Aku harus yakin bahwa hidup ini bagai siang dan malam pasti silih berganti. Tak mungkin siang terus-menerus dan tak mungkin juga malam terus-menerus, pasti setiap kesenangan ada ujungnya begitupun masalah yang menimpaku pasti ada akhirnya, aku harus sangat sabar menghadapinya.
    Akupun harus yakin bahwa setiap musibah terjadi dengan ijin Alloh Yang Maha Adil, pasti sudah diukur dengan sangat cermat oleh-Nya tak mungkin melampaui batas kemampuanku, karena Dia tidak pernah mendzolimi hamba-hamba-Nya.
    Aku tak boleh mendzolimi diriku sendiri, dengan pikiran buruk yang mempersulit dan menyengsarakan diri, pikiranku harus tetap jernih, terkendali, tenang dan proporsional. Aku tak boleh terjebak mendramatisir masalah.
    Aku harus berani menghadapi persoalan demi persoalan, tak boleh lari dari kenyataan, karena lari sama sekali tak menyelesaikan bahkan sebaliknya hanya akan menambah masalah. Semua harus dengan tegar kuhadapi dengan baik, aku tak boleh menyerah, aku tak boleh kalah.
    Mesti segala sesuatu akan ada akhirnya, begitupun persoalan yang kuhadapi seberat apapun seperti yang dijanjikan Alloh “Fainnama’al usri yusron inna ma’al ‘usri yusron” dan sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan. Janji yang tak pernah mungkin dipungkiri Alloh SWT.
  4. Evaluasi diri
    Segala yang terjadi mutlak adalah ijin Alloh SWT dan Alloh tak mungkin berbuat sesuatu yang sia-sia.
    Pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian, sepahit apapun pasti ada kebaikan yang terkandung didalamnya, bila disikapi dengan sabar dan benar.
    Harus kurenungkan mengapa Alloh menakdirkan semua ini menimpaku, bisa jadi peringatan atas dosa-dosa kita, kelalaianku atau mungkin, saat kenaikan kedudukanku di sisi Alloh
    Mungkin aku harus berfikir keras untuk menemukan kesalahan yang harus kuperbaiki
    Setiap kejadian bagai cermin pribadiku, aku tak boleh gentar dengan kekurangan dan kesalahan yang telah terjadi, yang penting kini aku mengetahui diriku yang sebenarnya dan aku bertekad sekuat tenaga untuk memperbaikinya, Alloh Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.
  5. Alloh-lah satu-satunya penolongku
    Aku harus yakin kalaupun bergabung seluruh manusia dan jin untuk menolongku tak mungkin terjadi apapun tanpa ijin-Nya
    Hatiku harus bulat total dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa hanya Alloh-lah satu-satunya yang dapat menolong memberi jalan keluar terbaik dari setiap urusan.
    Tidak ada yang mustahil bagi-Nya, karena segala-galanya adalah milik-Nya dan sepenuhnya dalam kekuasaan-Nya
    Tak ada yang dapat menghalangiku jikalau Dia akan menolong hamba-hamba-Nya. Dia-lah yang mengatur segala sebab datangnya pertolongan-Nya
    Oleh karena itu aku harus benar-benar berjuang, berikhtiar untuk mendekati-Nya dengan mengamalkan apapun yang disukai-Nya dan melepaskan hati ini dari ketergantungan selain-Nya, karena selain Dia hanyalah sekedar makhluk yang tak berdaya tanpa kekuatan dari-Nya
    Ingatlah selalu janji-Nya “Barangsiapa yang bertaqwa kepada-Ku, niscaya Ku beri jalan keluar dari setiap urusannya dan Kuberi rizki/pertolongan dari tempat yang tak terduga. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada-Ku, niscaya akan Kucukupi segala kebutuhannya”. (QS. 65 (At-Thalaq) : 2-3)
  • 6 Resep Tahan Uji Saat Mendapat Cobaan :
    (Anekdot-anekdot Sufi, hal. 16)
    1. Percaya penuh (tsiqah) pada Allah azza wa jalla
    2. Aku tahu bahwa setiap yang ditakdirkan itu pasti akan terjadi
    3. Kesabaran adalah jalan terbaik yang harus ditempuh oleh seseorang yang mendapat cobaan
    4. Jika aku tidak sabar, maka pekerjaan apa lagi yang harus kuperbuat, padahal aku tidak dapat menentukan dan menolong diriku dari kegelisahan
    5. Mungkin kalau aku tidak begini, aku akan mengalami musibah yang lebih buruk
    6. Aku yakin setelah ini akan datang kemudahan
  • “Seseorang yang diuji oleh Allah dengan suatu musibah, barangkali dengan itu Allah menyelamatkannya dari petaka yang lebih besar. Maka musibah tersebut merupakan sebesar-besarnya pemberian dan nikmat.”
    (Anekdot-anekdot Sufi, hal. 17)

Saat-Saat Terkabulnya Doa

Berdoa dianjurkan kapan saja. Tetapi ada saat-saat istimewa. Kapan?
1. Waktu sepertiga malam terakhir saat orang lain terlelap dalam tidurnya. Allah SWT berfirman:
“…Mereka (para muttaqin) sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS. Adz-Dzariyat: 18-19).
Rasulullah SAW bersabda:
“Rabb (Tuhan) kita turun di setiap malam ke langit yang terendah, yaitu saat sepertiga malam terakhir, maka Dia berfirman : Siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu maka Aku berikan kepadanya, dan siapa yang meminta ampun kepadaKu maka Aku ampunkan untuknya”. (HR. Al-Bukhari no. 1145, 6321 dan Muslim no. 758).
Dan Amr bin Ibnu Abasah mendengar Nabi SAW bersabda:
“Tempat yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia dalam sujudnya dan jika ia bangun melaksanakan shalat pada sepertiga malam yang akhir. Karena itu, jika kamu mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu maka jadilah.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan di-shahih-kan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani).
2. Waktu antara adzan dan iqamah, saat menunggu shalat berjama’ah. Sayangnya waktu mustajab ini sering disalahgunakan sebagian umat Islam yang kurang mengerti sunnah atau oleh orang yang kurang menghargai sunnah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan Islam, membicarakan urusan dunia, atau hal-hal lain yang tidak bernilai ibadah.
Hal-hal semacam ini sangat merugikan pelakunya karena tidak mengikuti sunnah Nabi SAW dengan sempurna.
Ketentuan waktu ini berdasarkan hadits Anas bin Malik RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamah, maka berdoalah!” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan menurut Al-Arnauth dalam Jami’ul Ushul).
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Ibnul Ash RA, bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mengungguli kita”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Ucap-kanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu dan jika kamu selesai (menjawab), maka memohonlah, kamu pasti diberi.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban, di-hasan-kan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani).
3. Pada waktu sujud. Yaitu sujud dalam shalat atau sujud-sujud lain yang diajarkan Islam. Seperti sujud syukur, sujud tilawah dan sujud sahwi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Keberadaan hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim).
Dan hadits Ibnu Abbas RA, ia berkata : “Rasulullah SAW membuka tabir (ketika beliau sakit), sementara orang-orang sedang berbaris (shalat) di belakang Abu Bakar RA, maka Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak tersisa dari mubasysyirat nubuwwah (kabar gembira lewat kenabian) kecuali mimpi bagus yang dilihat oleh seorang muslim atau diperlihatkan untuknya. Ingatlah bahwasanya aku dilarang untuk membaca Al-Qur’an ketika ruku’ atau ketika sujud. Adapun di dalam ruku’, maka agungkanlah Allah dan adapun di dalam sujud, maka giat-giatlah berdoa, sebab (hal itu) pantas dikabulkan bagi kalian.” (HR. Muslim).
4. Setelah shalat fardlu. Yaitu setelah melaksanakan shalat-shalat wajib yang lima waktu, termasuk sehabis shalat Jum’at. Allah berfirman:
“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan selesai shalat.” (QS. Qaaf: 40).
Juga berdasarkan hadits Umamah Al-Bahili, ia berkata : “Rasulullah SAW ditanya tentang doa apa yang paling didengar (oleh Allah), maka beliau bersabda: “Tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat yang diwajibkan.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: hadist ini hasan).
Karena itu Imam Syafi’i dan para pengikutnya berkata, dianjurkan bagi imam dan makmumnya serta orang-orang yang shalat sendirian memper-banyak dzkir, wirid dan doa setelah selesai shalat fardhu. Dan dianjurkan membaca dengan pelan, kecuali jika makmum belum mengerti maka imam boleh mengeraskan agar makmum menirukan. Setelah mereka mengerti, maka semua kembali pada hukum semula yaitu sirri (samar-samar). (Syarh Muhadzdzab, III/487).
5. Pada waktu-waktu khusus, tetapi tidak diketahui dengan pasti batasan-batasannya. yaitu sesaat di setiap malam dan sesaat setiap hari Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist Jabir RA, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di malam hari ada satu saat (yang mustajab), tidak ada seorang muslim pun yang bertepatan pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan urusan dunia dan akhirat melainkan Allah pasti memberi kepadanya.” (HR. Muslim).
Hadits Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut hari Jum’at, beliau bersabda:
“Di dalamnya ada satu saat (yang mustajab) tidaklah seorang hamba muslim yang kebetulan waktu itu sedang mendirikan shalat (atau menunggu shalat) dan memohon kepada Allah sesuatu (hajat) melain-kan Allah pasti mengabulkan permo-honannya.” dan Nabi mengisyaratkan dengan tangannya akan sedikitnya saat mustajab itu. (HR. Al-Bukhari).
Di dalam hadist Muslim dan Abu Dawud dijelaskan: “Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum’at)”. Inilah riwayat yang paling shahih dalam hal ini. Sedangkan dalam hadist Abu Dawud yang lain Nabi memerintahkan agar kita mencarinya di akhir waktu Ashar.
An-Nawawi rahimmahullah menjelaskan bahwa para ulama berselisih dalam menentukan saat ijabah ini menjadi sebelas pendapat. Yang benar-benar saat ijabah adalah di antara mulai naiknya khatib ke atas mimbar sampai selesainya imam dari shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist yang sangat jelas dalam riwayat Muslim di atas.
Imam An-Nawawi rahimmahullah melanjutkan: “Adapun hadist yang berbunyi: ‘Carilah saat itu pada akhir sesudah Ashar’ (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih), maka hal ini memberi kemungkinan bahwa saat ijabah itu bisa berpindah-pindah, kadang-kadang di saat ini, kadang-kadang di saat itu seperti halnya lailatul qadar.”
Imam Ahmad rahimmahullah berkata: “Kebanyakan ahli hadits menyatakan saat itu adalah setelah Ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari.” Lain dengan Ibnu Qayyim. Beliau menjadikannya sebagai dua waktu ijabah yang berlainan. Dalam Kitab Al-Jawabul Kafi beliau berkata:
“(Pertama), jika doa itu disertai dengan hadirnya kalbu dan totalitasnya dalam berkonsentrasi terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari waktu-waktu ijabah yang enam itu, yaitu :
  1. Sepertiga akhir dari waktu malam.
  2. Ketika adzan.
  3. Waktu antara adzan dan iqamah.
  4. Setelah shalat-shalat fardlu.
  5. Ketika imam naik ke atas mimbar pada hari Jum’at sampai selesainya shalat Jum’at pada hari itu.
  6. Waktu terakhir setelah Ashar”.
(Kedua), jika doa tadi bertepatan dengan kekhusyu’an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa. Menghadap kiblat, berada dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (puji-pujian), kemudian membaca shalawat atas Muhammad. Lalu bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat. Kemudian menghadap kepada Allah, bersungguh-bersungguh dalam memohon dengan penuh kefaqiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas. Dan bertawassul dengan asma dan sifatNya serta mentauhidkanNya. Lalu ia dahului doanya itu dengan sedekah terlebih dahulu, maka doa seperti itu hampir tidak tertolak selamanya. Apalagi jika memakai doa-doa yang dikabarkan Nabi SAW sebagai doa yang mustajab atau yang mengandung Al-Ismul-A’zham (Nama Allah Yang Mahabesar).” Ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami.

Arti dan Makna Puasa Bagi Umat Muslim

PUASA MENURUT AL-QURAN
Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26).
Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti atau “tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum –bagi manusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran” dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.
  1. Puasa wajib pada bulan Ramadhan.
  2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
  3. Puasa sunnah.
PUASA RAMADHAN
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:
Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa.” Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, “sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu.” Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni “agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa).”
Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya “beberapa hari tertentu,” itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga “barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,” maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. “Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa “berpuasa adalah baik.”
Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan “Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan,” lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa “Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa.”
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:
  1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan
  2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
b. Aw’ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan ‘illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa.”
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, “Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
c. Fa ‘iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian –buat mereka– menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis –tetapi dinilai lemah– yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi’at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha’) itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi’at dalam fa ‘iddatun min ayyamin ukhar mutatabi’at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha’ (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa ‘alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha’ (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa’ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata “basah”, maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari –paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan “malam”. Kata lail berarti “sesuatu yang gelap” karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
TUJUAN BERPUASA
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw. misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan.”
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, “Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya.”
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya, “Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?” Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.
PUASA DAN TAKWA
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada.” Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
  1. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, “Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,” “Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana”, atau “Api panas, dan membakar”, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
  2. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, “Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa).”
Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, “bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya,” sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa’ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An’am [6]: 101)
Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3).
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan…? (QS Al-An’am [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut –bukan pada sisi lapar dan dahaga– sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.”
PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?
Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang –khususnya binatang-binatang tertentu– tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga –misalnya– ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.
Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya manusia –betapa pun besarnya– memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu –arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya– maka arah yang lain, –mental spiritual– akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.
Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba ‘alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya?
Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?
Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, “Seandainya umatku mengetahui ( semua keistimewaan ) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan.”
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Di sisi lain –sebagaimana disinggung pada awal uraian– bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa –siapa pun yang dengan tulus berdoa.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.

RUHANI MANUSIA

Pembukaan

Alhamdulillah wassalaatu wassalaamu `ala Rasulillah SAW `ammaaba'du. Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Fusilat (41) ayat 53: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar." Dalam artikel ini semua rujukan berasal dari Al-Qur'an, hanya satu Hadits Nabi.

Ruh

Ruh tidak sama dengan Ruhani. Ruh adalah nama jisim, yaitu nama bendanya meskipun benda ghaib. Ruhani adalah tindak-tanduk ruh yang kita dapat saksikan pada diri manusia. Manusia sedikit sekali mengetahui tentang ruh. Ruh adalah rahasia Allah.[1] Orang yang sudah mati dan orang yang tidur tidak sadarkan diri, karena ruhnya sedang digenggam Allah.[2]
Fungsi ruh untuk ruhani dan jasmani manusia adalah sebagai pusat kesadaran. Kita dalam keadaan sadar karena Allah mengizinkan ruh memfungsikan akal dan kalbu dan nafsu kita. Ilmu ruhani dikenal dalam ilmu pengetahuan sebagai ilmu jiwa.
Ihwan dan ahwat tawakal yang sehari-harinya selalu mengusahakan supaya hatinya lurus dan bersih, sangat perlu untuk mengetahui jisim ruhani lain selain kalbu, di dalam Al-Qur'an disebut juga adanya akal, nafsu, dll.

Kalbu

Kalbu atau hati sebagai pusat rasa dalam ruhani kita, rupanya hati berhubungan langsung dengan ruh, begitu ruh ada maka rasa pun ada. Hati merupakan keajaiban pada manusia. Allah mempercayakan iman/hidayah tersimpan di dalam hati.[3] Hati merupakan terminal semua informasi yang diterima manusia, informasi dari pancaindera (pendengaran dan penglihatan), yaitu informasi dari dunia nyata dan dari nafsu (dunia dalam kita) yang berasal dari alat-alat tubuh kita, misalnya lapar, haus, dll. Dan informasi selanjutnya adalah dari alam ghaib melalui iman kita. Semua informasi tersebut akhirnya terpusat menjadi dua hal pada kalbu kita. Pertama, yang berasal dari kebaikan yang biasanya menyenangkan, dan kedua, yang berasal dari keburukan yang biasanya menyusahkan. Kedua hal tersebut merupakan cobaan hidup.[4]
Orang yang telah berhasil membersihkan kalbu akan merasakan bahwa fungsi kalbu ini dapat meng-cover seluruh fungsi kesadaran, sehingga hati dapat melihat, mendengar dan merasakan (menghayati). Penghayatan zikir dalam hati adalah salah satu cara mengasah hati supaya menjadi tajam.

Akal

Akal manusia merupakan pembeda antara manusia dengan hewan. Allah menganjurkan agar manusia menggunakan akal,[5] malah Allah akan murka kepada orang yang tidak menggunakan akalnya.[6] Akal dalam jiwa kita seperti software dalam komputer, setelah otak merupakan hardware-nya. Alat baru terbentuk setelah informasi dari dunia luar masuk. Jadi setelah bayi lahir, akal ini berkembang dengan pesat. Akal merupakan pusat olahan informasi dari dunai luar sebelum masuk ke dalam hati dan diendapkan sebagai perasaan hati. Peran akal di dalam zikir adalah men-tafakur-i apa yang kita ucapkan, mengerti apa yang kita ucapkan, bila dalam shalat termasuk mengingat aturan shalat. Sifat akal adalah netral, pertimbangannya berdasar kenyataan di dunia luar sesuai lingkungan di mana dia berada.

Nafsu

Nafsu ini sangat erat hubungannya dengan dunia dalam kita (internal spirit) dan sifatnya ingin pemenuhan keinginannya segera, sifatnya emosional dalam melayani kebutuhan dalam kita, misalnya: nafsu makan, minum, dll. Malah kecenderungannya adalah mendorong ke arah kejahatan.[7] Hawa nafsu jangan diikuti malah hawa nafsu harus ditahan.[8] Pengendalian hawa nafsu penting sekali dalam zikir, caranya adalah serahkanlah gejolak hawa nafsu itu kepada Sang Pencipta.

Bagaimana Hubungan antara Jisim-Jisim Itu?

Selama ini belum ada yang menyusun jisim-jisim itu serta merta bagaimana hasil interaksi antara jisim-jisim tersebut. Kita akan mencoba menyusun berdasarkan penghayatan dalam zikir.
Allah berfirman dalam surat Al-Mulk (67) ayat 23: "Katakanlah, Dialah Yang Menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur."
Pendengaran lebih dahulu disebut daripada penglihatan, dan demikianlah kenyataan bahwa bayi sudah lebih dahulu mendengar yaitu sejak dalam kandungan, sedang penglihatan baru berfungsi setelah dilahirkan. Pendengaran dan penglihatan dalam hal ini sebagai wakil pancaindera, dan bila kedua indera tersebut telah berfungsi baik maka terbentuklah akal. Jadi dapat disimpulkan juga bahwa hati atau kalbu diciptakan lebih dahulu daripada akal.

Melihat fungsi kalbu sebagai tempat tersimpannya iman, untuk yang beriman maka keadaan kalbu harusnya lebih halus daripada akal, setidak-tidaknya mestinya sederajat. Kedua jisim inilah rupanya yang berhubungan langsung dengan jisim yang paling halus, yaitu ruh. Nafsu terlihat dari fungsinya yang lebih dekat dengan jasmani, dan barang tentu letaknya antara kalbu dan jasmani, sedangkan akal karena fungsinya lebih dekat kepada otak maka dalam hubungannya nanti lebih dekat kepada otak manusia. Bila kita pasang semua jisim dalam suatu bidang akan tersusun seperti gambar di samping ini.
Ruh di posisi yang paling tinggi, kemudian lapisan berikutnya akal dan kalbu, kemudian nafsu, sedang jasmani terletak pada lapisan paling dasar. Pada jasmani dibedakan susunan saraf pusat dan batang otak. Susunan saraf pusat sebagai saraf sadar, dan batang otak sebagai saraf tidak sadar (saraf otonomi). Kedua susunan saraf itu bekerja sebagai koordinasi dari sistem-sistem tubuh manusia.
Dari letak jisim-jisim ini terjalin hubungan antara satu dengan yang lainnya dan biasanya akibat hubungan itu justru yang mencuat keluar sebagai perilaku ruhani itu sendiri, itulah jiwa manusia (Lihat Gambar 1).

Hubungan nafsu dengan otak

Bila nafsu merupakan jisim yang paling tinggi pada suatu makhluk, maka sifatnya atau manifestasi yang keluar sebagai nafsu amarah, seperti terjadi pada binatang, pada manusia pun terdapat nafsu ini, hanya tidak selalu timbul karena ada pengaruh jisim lain yang mengahalanginya, misalnya akal dan kalbu, nafsu ini dinamakan nafsu amarah.
Kecenderungan nafsu kepada kejahatan dapat ditahan atau dikendalikan oleh fungsi kalbu yang beriman menjadi nafsul-mutma'innah.[9] Nafsu ini bisa saja pada suatu saat baik dan pada kali yang lain dapat menjadi buruk, tergantung pengaruh sekelilingnya, dan dalam hal ini akal yang dapat mempengaruhinya, nafsu ini disebut nafsu lawwamah.[10]

Hubungan antara kalbu dan akal bagaimana?

Kalbu sebagai pusat rasa dan akal sebagia pusat berpikir bergabung menjadi rasa cipta, dan inilah sebagai pusat kesadaran ilmu, kalau kesadaran ini yang dipakai dalam hidup seseorang maka tidak sama orang yang berilmu dan orang yang tak berilmu.[11] Dan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan ditinggikan beberapa derajat di sisi Allah.[12]
Iman yang dihubungkan dengan fungsi hati merupakan alat kesadaran yang paling tinggi, yaitu kesadaran Ilahiah. Bila seseorang menghubungkan diri dengan Allah, dengan mengingat-Nya, maka kita menghubungkan diri dengan Zat Yang Maha Sadar, maka kesadaran kita adalah kesadaran universal. Kesadaran inilah yang dilakukan oleh para Anbiya wal mursalin selama hidupnya.
Ada bentuk kesadaran lain yang lebih kasar dari kesadaran nafsu amarah, yaitu kesadaran emosional. Kesadaran emosional tidak berhubungan dengan otak tetapi berhubungan dengan pusat otonom. Dalam pelaksanaannya manusia berbuat dan tidak sempat berfikir. Dalam ilmu pengetahuan dikatakan bahwa antara emosi dengan fisiologi seperti telapak tangan dan punggungnya dan diasumsikan emosi ini akibat hubungan/interaksi antara nafsu dengan batang otak. Pengaruh emosi ini berhubungan dengan sebagian atau salah satu sistem, misalnya bila emosi jantung jadi berdebar, dll.[13]
Kesadaran yang paling kasar adalah kesadaran pancaindera, dilukiskan dalam Gambar 1, adalah hubungan nafsu dengan sistem yang pertaliannya adalah bentuk elektromagnetik yang disebut Aura.

Susunan Kesadaran Sesuai Kehalusannya

  1. Kesadaran elektromagnetik (aura)
  2. Kesadaran emosi
  3. Kesadaran nafsu amarah
  4. Kesadaran nafsu lawwamah
  5. Kesadaran nafsu mutma'innah
  6. Kesadaran ilmu
  7. Kesadaran Illahiyah/kesadaran iman

Kesadaran elektromagnetik

Kesadaran elektromagnetik adalah informasi dari lingkungan di mana manusia berada yang sampainya kepada otak berupa gelombang elekgromagnetik. Jadi informasi tersebut berasal dari pancaindera. Kita mengenal dunia nyata ini suatu perjanjian saja, misalnya daun berwarna hijau, maksudnya warna daun di bawah sinar matahari, sebab warna daun itu akan berubah bila disinari lampu berwarna merah, misalnya. Jadi warna daun itu kita namakan sesuai dengan warna sinar matahari yang dipantulkan daun tersebut, sedangkan warna daun sesungguhnya belum kita ketahui.
Dalam ilmu pengetahuan dikatakan bahwa bila proton dalam sebuah atom diumpamakan sebesar buah apel, maka besarnya elektron adalah sebesar titik dan elektron tersebut mengelilingi protonnya dengan jarak satu kilometer dari proton, dan proton itu tidak pernah terjamah dalam hidup kita sehari-hari. Benda itu sebagian besar dibentuk (hampir seluruhnya) oleh proton, padahal kita tidak pernah menjamah proton. Jadi apa yang terjadi bila kita memegang benda? Kenyataan bahwa bila kita memegang benda, otak kita menerima gelombang elektromagnetik yang disampaikan melalui saraf. Lalu apa yang terjadi bila ujung kita menyentuh benda? Apakah ujung jari kita menyentuh proton dari benda? Jawabnya sungguh menakjubkan, yaitu kita tidak pernah menyentuh proton. Oleh karenanya, kita tidak pernah menyentuh benda sesungguhnya, yang kita sentuh adalah informasinya, yaitu sentuhan elektron dengan elektron.
Jadi kalau begitu yang nyata itu hakikatnya adalah maya alias gaib. Jadi bila yang disebut nyata ini samar-samar, maka semuanya gaib. Jadi apa alasan kita untuk tidak percaya kepada yang ghaib dan kepada Yang Maha Gaib? Maha Benar Allah dalam firman-Nya bahwa kehidupan dunia ini adalah main-main dan senda gurau belaka.[14]
Bila kita melihat sesuatu, yang tampak jelas di situ adalah tanda-tanda kebesaran Allah, ke mana saja wajahmu engkau arahkan, di situ tampak wajah Allah.[15]
Bagi kita benda itu sama sekali bukan hasil atau keuntungan, tetapi benda adalah modal atau bahan untuk diolah menjadi amal karena benda itu pasti musnah, dan yang tidak musnah adalah amal manusia karena Allah akan mencatat amal manusia dengan tidak dikurangi sedikit pun dan manusia akan menemukan amalnya nanti di akhirat. Jadi amal itu tidak musnah dan akan abadi selama kita hidup di alam abadi.

Kesadaran emosi

Informasi emosi berasal dari benda ghaib, tidak seperti informasi elektromagnetik yang berasal dari benda. Bentuk informasi ini berupa cahaya yang berasal dari nafsu dan informasi sebalikya berasal dari sistem saraf otonomi atau hormon. Kesadaran emosi berupa refleks dan tidak melalui otak atau pemikiran. Reaksi emosi berupa refleks dan tidak melalui otak atau pemikiran. Reaksi emosi hanya mengenai satu sistem atau lebih tapi tidak pernah mengenai semua sistem. Oleh karenanya, reaksinya pincang, misalnya bila emosi datang, jantung berdetak lebih cepat tapi tidak disertai pernafasan yang lebih cepat, jadi reaksinya pincang dan ini sangat berbahaya karena sistem lain tidak siap untuk mengimbangi reaksi sistem tersebut. Berbeda bila kita berolah raga misalnya, dalam olah raga semua sistem yang terkait bereaksi secara harmonis karena dikoordinir oleh otak. Bila terjadi emosi melanda anda, apa yang harus anda lakukan? Fikirkan segala sesuatu sebelum berbuat, artinya otak dan akal kita pergunakan sehingga reaksinya harmonis, atau arahkan emosi ini kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Kesadaran nafsu amarah

Bila nafsu mempunyai kekuasaan tertinggi dalam diri manusia, manusia tersebut persis seperti binatang. Semua aktivitas ditujukan untk pemenuhan keperluan dalamnya (permintaan sistem), pancaindera sebagai pembantu pelaksanaannya. Kalau pada binatang insting masih kuat pengaruhnya sehingga dapat mempertahankan kefitrahannya.
Bila terjadi pada manusia dan akal manusia dapat dikalahkan nafsu, maka insting pada manusia sudah hilang, dan berubahlah fungsi akal yang bersiat netral menjadi memihak pada nafsu, sehingga keadaan manusia tersebut lebih jelek daripada binatang, bahkan malah tersungkur menjadi asfala saafiliin.[16]
Bentuk informasi dalam tingkatan ini adalah berupa energi murni, kekuatannya dahsyat tidak terkendali, pengaruh terhadap jasmani: tekanan darah naik, sakit kepala, gelisah, susah tidur dan selalu berkecimpung dalam lautan stress. Dalam kesadaran stress keseimbangan jiwanya terganggu., bisa timbul gejala kejiwaan bila jiwanya lemah, berbagai penyakit jasmani bisa timbul karena stress dapat mengganggu pembentukan daya tahan tubuh. Bila kekuasan fisik dan jiwa setengah-setengah, sedangkan stress cukup kuat, maka akan timbul penyakit psikosomatik.
Bagaimana bila anda dalam keadaan marah? Rasulullah SAW bersabda bahwa bila anda marah dalam keadaan berdiri maka duduklah, bila anda marah dalam keadaan duduk maka tidurlah, bila dengan tidur tidak hilang juga, ambillah air wudhu dan shalatlah dua raka'at, dan bila marah masih belum hilang juga, maka berdoalah kepada Allah supaya hati anda diganti dengan yang lebih baik. Bila kita masih sempat berpikir dalam keadaan marah, maka sesungguhnya akal kita dapat mempengaruhi amarah kita, yaitu dengan memikirkan akibatnya yang lebih buruk. Bila akal sehatnya masih berfungsi maka nafsu amarah itu berubah menjadi nafsu lawwamah.

Kesadaran nafsu lawwamah

Nafsu lawwamah adalah nafsu yang netral dan bisa menetralkan. Semua stress dapat dirasionalisasikan selagi persoalannya dapat dicerna dengan aksi. Memikirkan akibat amarah yang lebih parah adalah yang membantu mencairkan amarah, dan pencairan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman seseorang. Hal-hal yang menimbulkan amarah biasanya berasal dari perbuatan kita sendiri.[17] Bila kita masih mengingat dan menyadari bahwa cikal bakal amarah ini berasal dari perbuatan kita maka biasanya bagaimana besarnya persoalan amarah tersebut masih bisa tercairkan, tetapi kadang-kadang Allah menguji kita dan sebab kemarahan tidak kita temukan sehingga kita tidak dapat menerima, akhirnya, biasanya nafsu bercokol kembali dan berubahlah menjadi nafsu amarah. Dalam situasi seperti ini petunjuk Allah-lah bagiannya, sebab semua musibah dan ujian hanya bisa diatasi dengan sabar.[18] Bila jalan ini yang ditempuh maka sifat nafsu berubah menjadi nafsul-mutma'innah.

Kesadaran nafsul-mutma'innah

Nafsu mutma'innah adalah nafsu yang dipengaruhi fungsi kalbu yang beriman. Nafsu mutma'innah atau nafsu sakinah adalah nafsu yang tenang, nafsu yang suci, dan bila mati dengan membawa nafsu yang tenang ini akan dipanggil Allah nanti di akhirat pada waktu akan memasuki syurga.[9]
Ihwan dan ahwat tawakal sadarlah bahwa tinggal satu-satunya target yang kita bisa capai dalam abad modern ini, yaitu membawa lebih banyak amal sholeh (menajdi orang salih), sedangkan pintu-pintu syurga yang lain telah tertutup dan bila masih terbuka pun hanya pengkhususan dari Allah semata.
Nafsul-mutma'innah suatu perasaan yang sepi dari stress dan ini dapat dicapai dengan penyerahan diri total kepada Allah dan penyerahan diri ini harus menjadi dasar dari segala kegiatan hidup sehari-hari. Latihan penyerahan diri adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, dan cara mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan zikrullah.

Kesadaran ilmu

Orang yang mempunyai kesadaran ilmu adalah orang yang segala tindak-tanduk perbuatannya berdasarkan ilmu, terutama ilmu agama. Dia mengetahui apa yang diperintahkan dan tahu apa yang dilarang oleh Allah. Dia tidak akan berbuat sesuatu bila tidak tahu hukumnya dalam agama. Kalau terpaksa melakukan yang mubah setidak-tidaknya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang sifatnya netral (sesuai dengan fitrah makhluk Allah). Dalam Al-Qur'an orang-orang yang demikian disebut golongan shiddiqiin dan orang-orang mujahidiin.

Kesadaran Illahiah

Kesadaran Ilahiah atau kesadaran iman merupakan kesadaran yang paling tinggi, dan ini hanya terjadi pada orang-orang yang dikhususkan Allah, orang-orang yang Allah pelihara dari kecacatan, sebab mereka harus menjadi contoh suri tauladan yang baik yaitu dikhususkan bagi para anbiya wal-mursaliin. Pintu syuga yang ini telah betul-betul ditutup oleh Allah. Bagi para Nabi dan Rasul Allah, semua kata dan perbuatan mereka harus berdasarkan perintah Allah, mereka tidak berkata atau berbuat sesuatu bila tidak disuruh Allah, atau mereka selalu minta izin Allah dahulu sebelum berbuat dan Allah selalu memberikan jawabannya melalui wahyu.

Penutup

Sebagai penutup uraian ini saya minta ampun kepada Allah atas perbuatan saya ini dan mohon maaf kepada seluruh kaum muslimin wabil-khusus pada para ihwan dan ahwat tawakal, bila ada kekeliruan dalam mengemukakan materi ruhani manusia ini, terutama bila ada salah menempatkan firman-firman Allah dari Al-Qur'an, karena referensi utama adalah dari Al-Qur'an.
Seperti dikatakan pada pembukaan, bahwa saya mampu untuk mencari rujukan selain Al-Qur'an, hadits pun saya sangat minim, perlu sekali saya tekankan sekali lagi bahwa uraian ini sebahagian besar merupakan penghayatan dan mentafakuri firman Allah dalam Al-Qur'anul-Karim, sedang kelemahan saya adalah tidak menguasai, malahan tidak tahu bahasa Arab. Saya mentafakuri hanya dari terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia. Untuk hal tersebut saya menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada para penterjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia dan saya hanya dapat berdoa semoga mereka yang telah berjasa menterjemahkan Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia mendapat balasan dari Allah dengan balasan yang berlimpah. Amiin ya Robbal `Alamiin.

Referensi:

  1. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (Q.S. Al-Isra 17: 95)
  2. Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesunggunnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Az-Zumar 39: 42)
  3. Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. At-Taghabun 64: 11)
  4. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Q.S. Al-Anbiyaa 21: 35)
  5. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dan dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu sekutu bagimu dalam (memiliki) rizki yang telah Kami berikan kepadamu, maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rizki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu taku kepada dirimu sendiri? Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (Q.S. Ar-Ruum 30: 28)
  6. Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Q.S. Yunus 10: 100)
  7. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Yusuf 12: 53)
  8. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (Q.S. An-Naziat 79: 40)
  9. Hai jiwa-jiwa tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridho dan diridhoi-Nya, masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr 89: 27)
  10. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. Al-Qiyamah 74: 2)
  11. Apakah kamu hai orang musyrik (yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) di akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah; "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar 39: 9)
  12. Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadalah 58; 1)
  13. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah 2: 153)
  14. Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertawakal. Maka tidaklah kamu memahaminya? (Q.S. Al-An`am 6: 32)
  15. Ke mana saja mukamu kauhadapkan di situlah wajah Allah.
  16. Manusia pengikut hawa nafsu seperti binatang.
  17. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. Asy-Syura 49: 30)
  18. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah 2: 155)
Dr. H. Entjap Hadjar
James Allen Wedding Bands 125x600
©2008 by Mashadi. Home | All Store | Amazon | MasterBeat | GameDuell | Keywords | Hosting Yourself | Blog Saya             

PENGERTIAN PUASA (SHAUM)


Ash-shiyam atau shaum atau puasa adalah menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu. Tapi bila ditinjau dari hukum syara' adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, dan dilaksanakan semata-mata karena Allah. Nilai-nilai dari puasa tidaklah dapat dihitung, diperkirakan atau diadakan oleh manusia (ulama, nabi, dll) tetapi nilai puasa adalah semata milik Allah. Rasulullah bersabda: Firman Allah: Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali amal puasa, karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. (H.S.R. Imam Bukhari).
Maksud dari menahan diri:
  1. Menahan diri dari makan, artinya: memasukkan sesuatu benda makanan ke dalam mulut, terus disalurkan melalui lubang tenggorokan. Jadi batasan yang disebut makan ialah bila sesuatu benda sudah melalui lubang tenggorokan.
  2. Menahan diri dari minum, artinya: memasukkan sesuatu benda cairan ke dalam mulut, terus disalurkan melalui lubang tenggorokan. Juga batasannya disebut minum apabila benda cairan tersebut sudah melewati tenggorokan. Dalam hal ini untuk air ludah tidak termasuk.
    Kesimpulan dari hal di atas maka bila menggosok gigi, berkumur, membersihkan gigi, dll, selama tidak memasukkan sesuatu benda melewati tenggorokan maka puasanya sah-sah saja.
  3. Menahan diri dari hubungan suami isteri atau bersetubuh. Dilarang bersetubuh ketika berpuasa, karena berpuasa dilaksanakan pada siang hari, sedangkan malam harinya tidaklah ada hukumnya yang melarang. Sabda Rasulullah:
    Dari `Aisyah dan Ummi Salamah ra., Keduanya mengkhabarkan bahwa Rasulullah saw pernah mendapatkan waktu fajar, sedangkan beliau masih dalam keadaan junub karena berkumpul dengan isteri-isterinya, kemudian beliau mandi dan meneruskan puasanya. (H.S.R. Imam Bukhari)
    Dari `Aisyah r.a. ia berkata: Nabi s.a.w. pernah menciumnya dan tidur dengannya, padahal beliau sedang puas dan beliau adalah orang yang paling sanggup mengendalikan nafsu birahinya. (H.S.R. Imam Bukhari)
Dari kedua hadits di atas, jelaslah bahwa yang membatalkan puasa adalah apabila terjadinya keluar sperma (baik bagi laki-laki shulbi maupun wanita tharaif). Dari hadits di atas ada tertera kata hawa nafsu. Apakah yang disebut nafsu itu? Marilah kita perhatikan keterangan di bawah ini:

Nafsu Syahwat

Di dalam diri yang disebut manusia lelaki terdapat 1 nafsu syahwat. Sedangkan di dalam diri yang disebut perempuan terdapat 6 nafsu syahwat. Karena adanya nafsu syahwat inilah timbulnya setiap manusia ingin mencari pasangan lain jenisnya. Adanya nafsu syahwat yang 9 pada diri setiap perempuan yang melebihi nafsu syahwat lelaki yang hanya 1 maka terjadinya kecenderungan bagi setiap perempuan untuk mempersolek diri baik pakaian maupun kosmetiknya akan melebihi kaum lelaki, dengan tujuan agar setiap kaum lelaki akan tertarik.

Nafsu Sir atau Perasa

Di dalam diri kaum lelaki yang disebut nafsu sir terdapat sebanyak 9, sedangkan bagi perempuan hanya ada 1. Kebalikannya dari nafsu syahwat. Akibat lebih banyaknya nafsu sir pada kaum lelaki maka nafsu untuk melaksanakan persetubuhan akan lebih kuat. Coba kita perhatikan, seorang kakek-kakek yang jompo duduk santai maka kepalanya selalu mengangguk-angguk, tetapi bila seorang nenek-nenek jompo maka selalu akan menggeleng-gelengkan kepala. Itulah suatu contoh tanda-tanda yang sudah tidak bisa dirubah, dan itulah sudah menjadi qudrat-Nya yang tidak bisa dirubah oleh manusia.
Tanda-tanda ketika mulai datangnya masa baligh:
Bagi lelaki: Bila sudah tiba masa baligqhnya maka akan mulai mengeluarkan sperma (secara bermimpi ataupun keluar dengan sendirinya), apalagi bagi lelaki yang senang mengkhayal. Umur masa ini adalah sejak berumur 15 tahun.
Bagi perempuan: Bila seorang perempuan tiba masa balighnya maka akan mulainya mempersolek diri (mulai genit), haid mulai timbul, dan tumbuh bulu-bulu di sekitar kemaluannya, payudara mulai mekar. Umur masa ini adalah sejak berumur 9 tahun.
Itulah sedikit gambaran tentang nafsu yang ada pada setiap diri manusia. Apabila adanya kekurangan dari nafsu yang dua itu maka akan timbulnya kelainan sehingga pada zaman sekarang adanya orang disebut wadam, homoseks, lesiban, gay, sodomi, dll. Untuk kelainan ini mungkin saja ketimpangan dalam bilangan nafsunya atau bisa saja karena pengaruh lingkungan atau pengaruh pergaulannya.
Allah Maha Segala-galanya, maka untuk men-Tegahnya dari semua itu atau menguncinya maka janganlah menghindar apabila bulan Ramadhan tiba tidak hendak melaksanakan puasa. Tentu dengan banyak macam alasan-alasannya (sakit maag atau ini dan itu) padahal dengan berpuasa Ramadhan apa yang disebut penyakit akan berlarian pergi meninggalkan jasad manusia, disebabkan segala kekotoran diri akan dibakar habis oleh puasa.

KEDUDUKAN SHAUM/PUASA

  1. Puasa Fardu 'Ain
  2. Puasa Wajib Hal
  3. Puasa Wajib Nafsi
  4. Puasa Sunat
  5. Puasa Haram
  6. Puasa Bid'ah
Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin, barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah: 183-185)
Sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan keikhlasan, diampuni kesalahan yang telah lalu dari segala dosanya (H.S.R. Imam Bukhari Muslim).

Puasa Fardhu `Ain

Puasa fardhu `ain ialah suatu pekerjaan puasa yang wajib dikerjakan setiap setahun sekali yang lamanya berpuasa sebulan penuh dan disebut puasa Ramadhan. Puasa fardhu `ain:
  • menurut fiqih: Wajib dikerjakan atas setiap masing-masing orang yang beriman, sudah mencapai usia baligh dan beraqal.
  • menurut muhaditsin: Wajib dikerjakan untuk lebih mendekatkan hubungan antara hamba dengan Allah.
Mengerjakan puasa Ramadhan adalah untuk mengunci dari dari hawa nafsu syahwat dan nafsu sir (tentang nafsu diterangkan di depan).
Ramadhan secara makna mengandung arti 'pembakaran'. Pembakaran di sini ialah membakar segala nafsu yang ada di setiap diri manusia. Telah diterangkan di atas bahwa yang disebut nafsu terdiri dari nafsu syahwat dan nafsu sir, dan setiap tahun dengan berpuasa Ramadhan untuk mengekang dari kelebihan nafsu agar setiap diri manusia tetap pada dosis nafsu yang sudah ditentukan oleh Allah. Apabila dalam 1 tahun terdapat 12 bulan, Allah meminta 1 bulan untuk untuk diadakan pembersihan diri dari nafsu, yaitu dengan berpuasa Ramadhan.
Nafsu syahwat perempuan terdapat 9 nafsu dan nafsu sir lelaki terdapat 9 nafsu. Seandainya dari ke-9 nafsu tersebut selama dalam 1 tahun tidak diadakan pembakaran maka bila dihitung selama 1 tahun akan bernilai 12 x 9 = 108 nafsu. Dengan takaran nafsu yang sebanyak itu bagi setiap diri manusia adalah sangat berlebihan, dan yang akan berakibat segala penyakit lahir maupun batin akan menjadi berkembang yang akibatnya telah diterangkan di halaman depan. Jadi, satu tahun yang 12 bulan dikurangi dengan pembakaran selama 1 bulan hasilnya mejadi 11 bulan, dan yang 1 bulan adalah sebagai penyeimbang. Hitungannya 108 nafsu - 9 nafsu = 99 nafsu, dan dengan nafsu yang sebanyak 99 inilah suatu nafsu yang pailng ideal bagi setiap diri manusia. Dan apabila setiap nafsu dalam 1 tahun dibiarkan dengan takaran 108 nafsu maka tentunya akan berakibat yang tidak baik bagi kehidupan manusia sehingga dari nafsu yang sudah ada di diri manusia akan meningkat, akibatnya akan:

Bertambahnya penyakit bathin, yaitu:

Di dalam diri manusia sudah ada benih-benih 10 macam penyakit bathin yang apabila tidak dibakar di dalam puasa Ramadhan maka 10 macam penyakit itu akan semakin menjadi-jadi, bahkan dapat membuat diri tidak mempunyai kontrol. Dari dari 10 macam penyakit bathin itu seperti:
  1. Syirik
    • Syirik Jali, yaitu suatu syirik yang terang-terangan.
      Contohnya: menuhankan benda-benda yang dianggap keramat, menyembah berhala atau pohon yang angker, benda-benda pusaka nenek moyang, dan lain-lainnya.
    • Syirik Khofi, yaitu suatu syirik yang tersembunyi/samar-samar.
      Contohnya: bertawasul bagi para arwah, nenek moyang, para ulama yang sudah meninggal dan lain-lainnya.
    • Syirik Khofi ul khofi, yaitu suatu syirik yang tersembunyi halus.
      Contohnya: minum obat, makan, dll; pada hakikatnya bukanlah obat yang menyembuhkan akan tetapi kesembuhan itu datangnya dari Allah, begitu juga dengan makan, pada hakikatnya bukan makanan yang mengenyangkan akan tetapi pada hakikatnya kenyang itu datang dari Allah.
  2. Takabur Takabur artinya sombong, tinggi diri, dan pada manusia sifat tersebut sudah ada sejak menjadi manusia. Apabila penyakit tersebut tidak diadakan pembakaran setiap tahunya maka akan tumbuh subur, akibatnya seseorang itu akan sangat terlihat akan kesombongannya.
  3. Ujub Ujub yaitu suatu penyakit yang ada di dalam setiap diri manusia. Sifat ujib ialah selalu merasa lebih daripada orang lain. Dan sifat ujub ini sangatlah tidak baik di dalam berhubungan antara sesama.
  4. Riya' Juga penyakit ini sudah ada di dalam setiap diri manusia, riya' atau sok pamer. Kebiasaan sifat riya' ini terlihat bagi orang yang baru merasa menerima ni'mat harta kekayaan, maka segala yang dimiliki akan selalu ditunjuk-tunjukkan kepada orang lain, atau juga kepandaian yang baru didapatnya.
  5. Sum'ah Sum'ah kalau di zaman sekarang disebut orang dengan sifat egois. Egois bersifat mau didengar tidak mau didengar, segala apa katanya adalah yang paling baik. Hendaknyalah sifat yang demikian dihapuskan bila ingin berhubungan dengan sesama jadi harmonis.
  6. Hasad iri Penyakit ini apabila menjurus kepada kebaikan maka disebut juga dengan hasad iri. Penyakit ini sifatnya sedikit baik karena boleh-boleh saja iri kepada sesama yang sudah berhasil dalam berusaha, akan tetapi agar tidak menjadi hasad dengki, haruslah kita juga berusaha agar kita juga mencapai keberhasilan.
  7. Hasad dengki Penyakit ini apabila menjurus kepada keburukan maka disebut hasad dengki. Dengki adalah suatu penyakit di diri setiap manusia yang merugikan orang lain. Karena dengki akan timbul suatu fitnah terhadap orang yang didengkikannya.
  8. Zan Yaitu suatu penyakit yang selalu berprasangka tidak baik, boleh juga disebut dengan curiga yang tidak beralasan. Dari kawan menjadi lawan adalah akibat dari zan.
  9. Syak Akibat dari penyakit ini timbullah rasa ragu-ragu atau was-was. Penyakit ini bila sudah kronis maka akan menghalangi keberhasilan dalam berusaha atau berdaya upaya.
  10. Waham Kekhawatiran yang terus-menerus adalah tipe dari penyakit waham. Akibatnya akan sama dengan penyakit syak.
Itulah dari 10 penyakit bathin yang sudah ada pada setiap diri manusia. Maka untuk tidak bertumbuh suburnya penyakit-penyakit itu, Allah memerintahkan untuk mengerjakan puasa Ramadhan sebulan penuh per tahunnya. Bila dari ke-10 penyakit itu di antaranya ada yang kita rasakan sudah menjadi kronis (banget) maka bantulah dengan puasa-puasa lainnya yang sudah disunatkan. Dan kebiasaannya ari ke-10 penyakit itu pada diri masing-masing orang tidak dapat dilihatnya sendiri, dan untuk itu banyaklah berdialog dengan sesama kawan yang dekat untuk mengoreksinya, tapi bila sudah dikoreksi orang lain janganlah marah. Peribahasa mengatakan "kuman di seberang laut nampak tapi gajah di pelupuk mata tidak nampak."

Penyakit Zhahir

Zhahir artinya lahir dan tersirat juga dengan kata jasad. Jadi penyakit zhahir ialah suatu penyakit yang nampak terlihat dan umumnya dapat disembuhkan dengan ilmu kedokteran (bermakna bantuan orang lain untuk penyembuhannya). Penyakit zhahir timbul dari keterlaluan dalam memakan atau meminum sesuatu yang sudah melebihi batas, atau karena ketularan dari orang lain, atau bisa juga datang dari bathin (terlalu banyak memikir akibatnya bisa stress).
Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka berlebihan. Sabda Rasul: "Berpuasalah kamu untuk hidup sehat."
Dari keterangan yang menyangkut dengan penyakit bathin dan penyakit zhahir dapatlah kita pikirkan mengapa Allah memerintahkan kepada setiap manusia yang beriman untuk melaksanakan puasa Ramadhan agar menjadi orang yang taqwa. Dengan adanya perintah berpuasa Ramadhan itu adalah salah satu dari "perhitungan" Allah bagi hamba-hamba-Nya yang merasa beriman kepada-Nya.
Maksud dari berpuasa Ramadhan sebulan penuh ialah dibakarnya diri untuk menghilangkan segala penyakit yang ada di diri sehingga mencapai suatu kesucian sehingga dari 12 bgulan dikurangi 1 bulan akan menjadi 11 bulan yang dihadapi akan berjalan suatu kehidupan yang baik, dan bila tiba di Ramadhan berikutnya kembali kita dibakar untuk mencapai kesucian di tahun berikutnya secara estafet. Dengan demikian maka setiap kehidupan manusia akan terus adanya pengawasan dari tahun ke tahun, dan bila semua itu dapat kita kerjakan dengan baik dan sempurna insya-Allah bila akhirnya kita menjadi orang yang kembali kepada-Nya menjadi orang yang beruntung.
Perhitungan berpuasa Ramadhan sebulan penuh adalah karena untuk hitungan penanggalan cara Islam (tahun Hijriyah) untuk 1 bulan bisa 29 hari dan bisa 30 hari. Dan hitungan tahun Hijriyah dihitung atas dasar peredaran bulan terhadap bumi, sedangkan untuk perhitungan tahun Masehi dihitung atas dasar peredaran bumi terhadap matahari.
Telah difirmankan oleh Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu." Firman tersebut bermakna:
  • Diwajibkan berpuasa atas umat Nabi Musa a.s. (Taurat) selama 30 hari.
  • Diwajibkan berpuasa atas umat Nabi Daud a.s. (Zabur) selama 30 hari.
  • Diwajibkan berpuasa atas umat Nabi Isa a.s. (Injil) selama 40 hari.
Sedangkan untuk kita umat Nabi Muhammad saw (Al-Qur'an) berpuasa selama sebulan penuh. Bagi kita sebagai umat Islam wajib mengimani kepada kitab-kitab Allah yang terdahulu (rukun iman) selama kitab-kitab tersebut masih dalam bentuk aslinya.

Hal Taqwa

Tujuan dari berpuasa Ramadhan ialah untuk mendapatkan predikat orang yang taqwa kepada Allah.
  • Taqwa menurut pandangan ilmu tauhid ialah: orang yang mulia di sisi Allah. Dan taqwa dapat bermakna bertemu dengan Allah (karena adanya mulia di sisi Allah).
  • Taqwa menurut pandangan ma'rifat ialah mengenal, di mana apabila kita sudah mengenal tentunya akan mudah di dalam mengajukan sesuatu hal atau meminta.
Dapatkah kita meminta sesuatu dari orang yang belum kita kenal?
Jawabnya: Dapat saja, akan tetapi tidak ubahnya dengan seorang pengemis.
Dari Hadits Qudsi dikatakan:
"Janganlah kamu menjadi pengemis terhadap Tuhanmu."
"Bila ingin kenal dengan-Ku berpuasalah."


Beberapa Persyaratan untuk Menuju kepada Taqwa


1. Nafsu

Telah diterangkan di atas bahwa di dalam setiap diri manusia terdapat sifat yang disebut nafsu. Berpuasa di bulan Ramadhan berarti dibakarnya sifat-sifat nafu, yang dari berlebihan nafsu menjadi kepada yang sesuai denan kehendak-Nya. Bila sifat nafsu sudah baik maka akan terkontrolnya kehidupan manusia kepada jalan yang diridhoi-Nya.

2. Keinginan bersetubuh

Dilarang bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan (berpuasa) karena dengan bersetubuh berarti mengeluarkan sperma (mani) baik lelaki maupun perempuan. Dan akibat dari keluarnya sperma akan membatalkan atau menggagalkan pembakaran nafsu.

3. Membuka nafsu

Apabila sudah waktunya untuk berbuka, bersegeralah melaksanakannya. Jangan menunda-nunda berbuka walau dengan hanya seteguk air.
Sabda Rasulullah: Manusia selamanya dalam kebaikan apabila ia senantiasa menyegerakan berbuka. (H.S.R. Imam Bukhari).
Setiap diri manusia sudah mejadi sifatnya tidak dapat menahan dari nafsu bersetubuh, maka bila sudah tibanya malam di bulan Ramadhan (sudah berbuka puasa) dihalalkan oleh-Nya untuk melaksanakan persetubuhan dengan isteri-isterimu.

4. Qiyamur Ramadhan

Qiyamur Ramadhan artinya menghidupkan malam bulan Ramadhan, apabila dikerjakan shalatnya dengan secara santai maka baru disebut dengan shalat Tarawih. Shalat sunnat qiyamur Ramadhan/tarawih jumlah bilangan rakaatnya sebanyak 11 rakaat, dengan pelaksanaan 4 rakaat salam + 4 rakaat salam + 3 rakaat witir sekali salam. Itulah shalat sunnat yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah. Tujuannya, selain menghidupkan malam Ramadhan juga mengandung makna:
  • 4 rakaat I dikerjakan untuk membaktikan diri kepada 4 anasir yang datang dari bapak yang ada pada diri seperti: darah putih, tulang, kulit, rambut.
  • 4 rakaat II dikerjakan untuk membaktikan diri kepada 4 anasir yang datang dari ibu yang ada pada diri seperti: darah merah, lemak, daging, sumsum.
  • 3 rakaat witir dikerjakan untuk membaktikan diri kepada 3 anasir yang datang dari Allah yang ada pada diri seperti: ilmu, aqal, hikmah.
Dengan adanya kebaktian kita kepada ke-11 anasir tersebut maka pekerjaan sh alat qiyamur Ramadhan/tarawih yang 11 rakaat itu sangatlah besar artinya sehingga menghilangkan hijab kepada Allah dan terhapusnya dosa-dosa terhadap kedua orang tua dan segala durhaka terhadap kedua orang tua terhapuskan.

5. Infaq Ramadhan

Infaq Ramadhan dikeluarkan sebelum tibanya shalat Idul Fitri. Infaq Ramadhan bertujuan untuk membersihkan segala makanan, minumn yang telah kita laksanakan selama bulan Ramadhan. Dana untuk infaq Ramadhan disishkan dari dana belanja per hari selama bulan Ramadhan. Contohnya, apabila kita belanja makanan dan minuman dalam sehari sebanyak Rp 5.000,- per hari (sekeluarga) terdiri dari 5 jiwa maka penyisihannya dari Rp 5.000,- misalnya disisihkan Rp 50,-. Maka selama bulan Ramadhan 30 hari berarti 30 x Rp 50,- = Rp 1.500,-, kami contohkan dengan yang umum. Apabila anda bisa dan mampu dana belanja yang lebih dari itu, hitung saja sekehendak anda, dan penyisihan uang di atas sifatnya bebas, serelanya anda.
Tujuan dari mengeluarkan infaq Ramadhan ialah untuk membersihkan diri dari makan dan minum yang telah dilaksanakan dan pelaksanaannya bagi kemaslahatan orang banyak yang artinya untuk pembangunan jalan, langgar, dll. Ganjaran dari infaq Ramadhan akan terbukti selama kita masih hidup di alam dunia dengan kelipatan 1 : 700.
Mengeluarkan infaq Ramadhan bukan saja di saat bulan Ramadhan saja, akan tetapi dikeluarkan selama kita hidup sehari-hari.

6. Zakat Fitrah

Zakat Fitrah dikeluarkan dengan bentuk beras (makanan pokok). Banyaknya yang dikeluarkan per jiwa sebanyak 3 1/3 liter. Bentuk beras yang difitrahkan sesuai dengan yang kita makan sehari-hari, atau boleh saja kualitasnya dilebihbaikkan, umpama biasa yang kita makan sehari-hari beras Unus, maka yang difitrahkan haruslah Unus juga, kalau perlu ditingkatkan dengan beras yang kualitasnya lebih baik, dan janganlah mengeluarkan zakat fitrah dengan kualitas beras yang lebih rendah daripada yang sehari-hari kita makan. Biasa makan Unus untuk Fitrah dikeluarkan beras bagian yang murah. Itu bukannya bermaksud fitrah, tetapi mengaqal-aqal agar pengeluaran biaya sedikit terhemat.
Tujuan mengeluarkan fitrah (zakat fitrah) ialah untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan terhadap sesama manusia dan juga terhadap sesama makhluk.

7. Shalat Idul Fitri

Melaksanakan shalat Idul Fitri sebaik-baiknya dilaksanakan di tempat yang terbuka atau lapangan. Hikmah melaksanakan shalat Id di lapangan ialah setiap helai bulu/rambut yang ada di badan kita terkena panasnya matahari atau tertetes air hujan akan mendapatkan ganjaran dari Allah sebanyak 70 kali nilai ibadah. Dan mendapatkan doa dan istighfar dari malaikat yang sejak fajar sudah turun ke dunia atas perintah Allah.
Itulah ke-7 persyaratan bagi setiap manusia beriman menuju kepada predikat taqwa. Tentunya dari ke-7 syarat tersebut haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di jalan sunnatullaah dan sunnatur-Rasulullaah.
Di dalam hukum puasa Fardhu `Ain terdapat:
HUKUM PUASA RAMADHAN
A. PUASA WAJIB bagi
  1. mu'min
  2. aqil baligh
  3. anak-anak
  4. yang sakit
  5. mushafir
  6. wanita suci
  7. tablet anti-haid
B. PUASA RUKHSAH bagi
  1. mushafir
  2. wanita berhadas
  3. sakit ringan
  4. orang tua jompo
  5. yang sakit berat/gila
  6. wanita menyusui/hamil
  7. buruh kerja
  8. yang berperang/sabil
  9. yang lupa
  10. orang mati
C. SANKSI
  1. qadha'
  2. fidyah
  3. kifarat

PUASA WAJIB

Puasa atau shaum bermakna juga sebagai pesta. Wajib mengandung makna undangan, jadi yang disebut puasa wajib ialah sebagai undangan pesta dari Allah.
Bila Allah mengundang hambanya untuk berpesta, di manakah tempatnya? Jawabnya adalah di bulan Ramadhan, dengan puncak kesucian dan kegembiraannya ada pada saat Idul Fitri. Bergembira setelah 1 bulan penuh dibakar dengan menahan haus dan lapar serta menahan dari nafsu.
Apabila dari hal di atas telah dilaksanakan sesuai dengan 7 persyaratan maka akan terasalah pestanya sangat berkesan di hati setiap orang-orang yang mu'min. Di saat Idul Fitri ini jugalah terjadinya saling maaf-memaafkan atas segala kesalahan dan dosa baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang telah dilakukannya sebelum adanya undangan pesta/puasa Ramadhan.
Allah menganugerahkan semua ini tentunya agar setiap orang-orang yang mu'min di dalam menjalankan 11 bulan ke depan hingga tibanya kembali undangan pesta dari Allah akan berjalan dengan kehidupan yang penuh dengan kontrol diri pribadi masing-masing orang atau hidup dalam kehidupan antara sesamanya menjadi lebih baik dengan arti yang luas. Bila seluruh umat mu'min dapat melaksanakannya insya-Allah bagi petani akan bekerja lebih giat lagi, bagi pegawai/ABRI tidak akan ada lagi pikiran KKN, bagi pedagang akan mencari keuntungan yang sesuai dengan ridho Allah, bagi para pemimpin tidak lagi memikirkan diri sendiri tetapi memikirkan nasib bawahannya, dll; maka apa yang disebut negara yang adil dan makmur akan tercapai. Itulah suatu kehidupan yang normal bila manusia-manusianya sudah mencapai predikat taqwa kepada Allah, di mana taqwa adalah tujuan bagi orang yang menjalankan puasa Ramadhan.
Kelebihan-kelebihan yang dicapai bagi orang yang berpuasa Ramadhan:
  • Allah menjamin kehidupannya seumur hidup.
  • Allah memerintahkan malaikat untuk memberikan istighfar (mohon ampunan).
  • Allah mengabulkan segala doa bagi yang berpuasa.
  • Setiap orang yang berpuasa namanya ditulis di pintu-pintu syurga.
  • Arasy bergoncang karena banyaknya orang yang berpuasa.
    (Arasy tempatnya catatan data setiap manusia, "Kantornya para malaikat")

Makna Puasa Wajib

Diterangkan di atas bahwa puasa wajib adalah "undangan pesta". Di dalam suratul Baqarah ayat 183 tersurat "Diwajibkan berpuasa atas orang-orang yang beriman". Beriman artinya orang yang mu'min dan bukannya orang muslim, tersiratlah di sini bahwa orang yang muslim belum tentu orang yang mu'min, tetapi apabila disebut mu'min tentu dia orang muslim. Banyak saja orang yang mengaku muslim (Islam) bila bulan Ramadhan akan tiba seolah akan menghadapi suatu penyiksaan, bahkan ketika di bulan Ramadhan tidaklah menghiraukan kepadan undangan Allah lagi, bagi pedagang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, bahkan menjual makanan di pinggir jalan dengan berselubung tenda, di mana yang terlihat dari luar hanya sebatas kakinya saja. padahal dari para pedagang ini orang-orangnya ber-KTP Islam. Dalam hal ini dapatlah dicontohkan bahwa bedanya orang-orang yang mu'min dengan orang-orang yang muslim (Islam). Justru persatuan umat Islam selamanya tidak akan terjalin selagi masih adanya orang muslim yang belum mu'min.
Dari makna puasa wajib inilah maka terdapatnya digolongkan kepada beberapa yang wajib melaksanakan Puasa Ramadhan, seperti:
  • Orang mu'min
  • Orang-orang yang sudah mencapai aqil baligh
  • Bagi anak-anak di bawah aqil baligh
  • Bagi orang yang sakit
  • Orang perempuan yang suci (suci dari hadas besar/kecil)
  • Tablet anti-haid (kemajuan zaman saat ini sudah adanya obat anti-haid)

PUASA RUKHSAH

Rukhsah secara arti adalah kebijaksanaan/keringanan yang diberikan Allah. Jadi puasa Rukhsah ialah puasa yang dilaksanakan bagi orang-orang yang termaktub di dalam daftar A. Puasa Wajib di atas. Jadi nilai puasa Rukhsah adalah untuk keringanan terhadap orang yang tidak bisa melaksanakan puasa wajib oleh karena sesuatu sebab namun tidaklah meninggalkan dari segala ketentuan hukum dari puasa Ramadhan.
Untuk pelaksanaannya hukum Rukhsah ini dibagi kepada:
  1. Bagi orang yang mushafir Mushafir ialah orang yang sedang dalam perjalanan jauh dari tempat asalnya. Ketentuan sunnah Rasulullah dengan jarak 7 km dari tempat asalnya sudah disebut mushafir (sama halnya dengan adanya hukum qashar).
    Orang mushafir adalah sebenarnya orang yang tergolong mu'min namun karena keadaan terkena hukum Rukhsah. Diberikan Rukhsah bagi orang mushafir ini karena ketika di dalam perjalanan tentu akan mengakibatkan merasa danya keresahan. Karena sebleum melaksanakan mushafir tentunya adanya perencanaan maka sebelum sebelum melaksanakan mushafirnya hendaknya niat untuk melaksanakan puasa Ramadhan tidaklah ditinggalkan, walau dikerjakan puasanya hanya beberapa menit kemudian berbuka. Laksanakan dahulu puasanya baru berbuka. Dengan melaksanakan hal tersebut maka nilai Rukhsahnya akan didapat. Berbuka di sini hendaknya selama perjalanan tidaklah melakukan makan dan minum sekehendaknya, makan dan minumlah sekedar dapat menghilangkan keresahan dan kelelahan belaka. Jadi pada dasarnya walau sudah disebut mushafir namun jangan meringankan niat puasa di bulan Ramadhan.
  2. Bagi wanita yang berhadas Berhadas di sini bukanlah berhadas karena dibuat-buat, akan tetapi berhadas karena atas kehendak-Nya, seperti:
    • Keluarnya haid sebelum tiba bulan Ramadhan, misalnya 1 hari sebelum tiba bulan Ramadhan, padahal haidnya sendiri masih beberapa hari lagi akan selesai. Bagi golongan ini tidaklah wajib melaksanakan puasa Ramadhan, akan tetapi tidak menghilangkan niatnya untuk berpuasa. Makan dan minumlah secukupnya tidak berlebihan seperti keadaan di luar bulan Ramadhan, kemudian bila sudah seleasi masa haidnya berpuasalah. Hal ini apabila ingin mencapai nilai Rukhsahnya.
    • Datang haid ketika di dalam bulan Ramadhan. Berbukalah secukupnya, untuk mencapai nilai Rukhsah janganlah makan minum sesuka hatinya, tapi tunggulah hingga waktu berbuka.
  3. Penderita sakit ringan Sakit ringan artinya sakit yang untuk mencapai kesembuhannya dapat segera. Orang yang merasakan kesal, marah, luka sedikit, dll juga termasuk ke dalam sakit ringan. Keluar darah dari luka tidak membatalkan puasanya. Bagi yang menderita sakit ini untuk mendapatkan nilai Rukhsahnya jangan meninggalkan niat melaksanakan puasa Ramadhan, walau melaksanakan puasa hanya beberapa menit saja.
  4. Orang tua jompo Umumnya orang yang sudah lanjut usia/jompo sudah terkena adanya goncangan bathin.
  5. Bagi orang yang menderita sakit berat Sakit berat ialah sait yang untuk mencapai kesembuhannya dinilai memakan waktu lama atau bisa penyebab dari kematiannya. Dan untuk orang yang lupa ingatan atau gila termasuk ke dalam sakit berat.
  6. Bagi wanita hamil dan menyusui Umumnya wanita yang hamil harus menjaga kesehatannya. Sedangkan wanita yang menyusui bila anak susunya masih di bawah umur 2 tahun masih mendapat nilai Rukhsah, tapi apabila anak susunya sudah lebih dari umur 2 tahun maka nilai Rukhsah tidak berlaku lagi, dan masuk ke dalam nilai wajib.
  7. Buruh kerja Buruh kerja ialah orang yang melakukan pekerjaannya memerlukan tenaga yang berat. bagi golongan ini mendapatkan Rukhsah. Akan tetapi, jangan meninggalkan niat untuk mengerjakan puasa Ramadhannya. Ada juga orang yang walau bekerja berat namun masih dapat mengerjakan puasa Ramadhannya, bagi orang tersebut didapat nilai Wajib.
  8. Berperang/sabil Untuk orang-orang yang dalam berperang umumnya terkandung rasa keresahan bathin. Untuknya diberikan Allah Rukhsah.
  9. Orang lupa Lupa di sini berarti dengan tidak disadari memakan atau meminum suatu makanan atau minuman ketika orang tersebut dalam melaksanakan puasa Ramadhan. Bagi yang merasakan hal yang demikian maka ketika teringat akan puasanya hentikanlah makan minumnya. Lanjutkan puasanya.
  10. Orang yang sangat lapar Lapar yang sangat bisa terjadi karena tidak sahur atau kondisi badan yang sedang kurang baik. Akibat dari rasa lapar ini akan membuat resah, untuk itu berbukalah.
  11. Orang mati Bila matinya sebelum bulan Ramadhan maka tidak terkena hukum apapun. Tapi bila mati di dalam bulan Ramadhan tentu mendapatkan Rukhsah dari Allah. Mati mendadak di dalam berpuasa. Mati di malam Ramadhannya.

SANKSI-SANKSI

Sanksi-sanski ini tentunya berkaitan dengan pasal A dan pasal B di atas. Di dalam hukum Sunnatur-Rasulullah sanksi-sanksi atau denda-denda akan berupa: sanksi Qadha' atau sanksi Fidyah atau Sanksi Kifarat.
Dan sanksi-sanksi tersebut akan diberikan masing-masing kepada:
  1. Sanksi Qadha' diberikan kepada:
    • Mushafir, mengqadha' sebanyak hari yang ditinggalkannya.
    • Wanita yang berhadas, sebanyak hari yang ditinggalkannya.
    • Sakit ringan, qadha' sebanyak hari yang ditinggalkannya.
    • Wanita menyusui, mengqadha'.
    • Orang yang lapar, mengqadha' sebanyak hari yang ditinggalkannya.
  2. Sanksi Fidyah diberikan kepada:
    • Wanita hamil, menyusui (bagi menyusui bila tidak bisa mengqadha).
    • Buruh kerja, dibayarkan oleh yang menyuruhnya (bosnya).
    • Orang tua jompo.
    • Berperang/sabil.
    • Orang mati, sisa hari kematiannya.
    • Bagi yang memakan tablet anti-haid.
  3. Sanksi Kifarat diberikan kepada:
    • Wanita berhadas, bila haid di dalam berpuasa, maka sisa hari yang ditinggalkan wajib kifarat.
    • Sakit berat/gila.
    Cara memberikan kifarat ialah dengan beras sebanyak 0,5 gantang atau 2,5 liter setiap harinya kepada orang fakir miskin. Pelaksanaan dari sanksi-sanksi (qadha', fidyah, kifarat) dilaksanakan setelah selesainya bulan Ramadhan (tanggal 2 Syawal s.d. sebelum tiba bulan Ramadhan berikutnya). Dan untuk sanksi fidyah dan kifarat dapat diberikan setiap hari di bulan Ramadhan yang sedang dijalankan.

Hukum Puasa Wajib Hal

Puasa/shaum wajib hal ialah melaksanakan puasa karena adanya sanksi/denda karena adanya sesuatu hal. Pada pelaksanannya puasa wajib hal adalah puasa kifarat. Perbedaan puasa wajib hal dengan puasa fardhu `ain:
  • Puasa fardhu `ain ialah berpuasa karena ada terkandung rukunnya.
  • Puasa wajib hal ialah berpuasa karena adanya sesuatu sanksi/denda yang wajib dilaksanakan.
Hukum Puasa Wajib Hal terbagi atas:
  • hukum li'an
  • hukum jihar
  • hukum kazib
  • hukum tahkim
  • hukum haji

a. Hukum Li'an

Kata li'an artinya curiga, menuduh atau menyangka. Li'an terjadi apabila seorang isteri menuduh suami berbuat serong atau sebaliknya.
Bila tuduhan itu tidak benar dari si isteri atau suami maka yang terkena hukum li'an ialah yang menuduhnya. Bila tuduhan itu benar tapi yang dituduh pura-pura tidak tahu/menyangkal maka yang terkena hukum li'an ialah yang dituduh.
Dan untuk orang yang terkena hukum li'an ialah melaksanakan puasa wajib hal dengan berpuasa 3 hari berturut-turut puasa kifarat. Bila tidak mengerjakan maka akan mendapatkan segala amal ibadahnya tidak diterima dalam jangka waktu 11 hari. Untuk melaksanakan li'an 3 kali berturut-turut maka hukumnya Jatuh Talaq.
Hikmah adanya Li'an:
  • akan mendapat hukuman yang setimpal,
  • akan tertutupnya hati/tidak bergairah,
  • akan membetulkan lidah dan hatinya, bila telah melaksanakan puasa kifarat.

b. Hukum Jihar

Kata jihar asalnya dari kata zhahir yang artinya nampak. Karena adanya mempersamakan wajah rupa seseorang kepada wajah isteri/suami. Jihar terbagi kepada: 1) jihar nasab, 2) jihar takliq, 3) jihar talaq.
1) Jihar Nasab
Ialah suatu kejadian yang mempersamakan wajah rupa suami/isteri kepada salah satu wajah rupa orang tua, saudara atau keturunan. Bila telah terjadi hal demikian maka haram hukumnya mengadakan hubungan suami isteri (bersetubuh).
Untuk menghilangkan dengan sanksinya atas jihar nasab yaitu dengan melaksanakan puasa kifarat selaam 1 hari, dan apabial sanksi puasa kirafat tidak dilaksanakan 3 kali berturut-turut jatuhlah talaq. Umpamanya terjadi suatu jihar nasab, tapi disadari dan melaksanakan puasa kifaratnya maka akan mendapatkan hikmah: bertambahnya rasa kasih dan sayang suami isteri.
2) Jihar Takliq
Ialah suatu jihar yang berhubungan dengan nafkah hidup. Umpamanya seorang suami yang mempunyai uang banyak tetapi tidak mau memberikan uang nafkah kepada iseterinya yang memang tidak mempunyai uang untuk belanja. Kemudian si isteri mengambil uang dari saku suaminya. Dari keadaan itu maka yang terkena jihar taqliq ialah suaminya, dan untuk suaminya wajib melaksanakan puasa kifarat selama 2 hari berturut-turut. Kebalikan dari itu, apabila di dalam suatu rumah tangga seorang isteri tidak mau mengurusi keperluan suaminya (mengurus keperluan suami di dalam rumah tangga adalah wajib bagi isteri) maka terkenalah jihar taqliq atas si isteri dengan melaksanakan puasa kifarat selama 2 hari berturut-turut. Hikmah adanya jihar taqliq ialah bila terjadi jihar terus melaksanakan kifaratnya maka akan menambah kekuatan beribadah.
3) Jihar Talaq
Jihar talaq berlaku kepada siapa saja yang berucap kata talaq atas isteri/suami. Janganlah memudahkan kata talaq apabila terjadinya ketidaksesuaian antara suami dengan isteri (krisis rumah tangga). Bila terjadi hal jihar talaq maka bagi yang mengatakannya terkena sanksi jihar talaq berupa berpuasa kifarat selama 3 hari berturut-turut. Selama belum melaksanakan puasa kifarat yang 3 hari itu maka hubungan antara suami isteri (bersetubuh) menjadi haram hukumnya. Kata talaq adalah salah satu kata yang dibenci Allah, tetapi dihalalkan. Selain itu, kata talaq dapat mengguncang arasy, akibatnya para malaikat akan mengutuknya.
Hikmah terjadinya jihar talaq, dan masing-masingnya menyadari dan yang mengatakan melaksanakan puasa kifaratnya, maka akan menimbulkan suatu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.

c. Hukum Kadzib

Kadzib artinya berdusta/bohong.
Hukum kadzib terbagi kepada:
1) Kadzib Sunnah
Ialah berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah. Misalnya menerangkan sesuatu yang tidak tahu asal-usulnya, tetapi dikatakan didapat dari sunnah Rasul. Dengan berbohong demikian maka terkena hukum kadzib sunnah, sanksinya melaksanakan puasa kifarat 3 hari berturut-turut.
2) Kadzib Awam
Ialah berdusta kepada orang yang tidak dikenal atau orang yang dikenal atau kepada anak-anak, dll. Misalnya kita menakuti anak dengan mengatakan, "Jangan pergi ke situ, karena di situ ada setannya." Misalnya ada seseorang yang dikejar oleh musuhnya dan akan dibunuh, lalu meminta tolong kepada kita agar jangan diberi tahu ke mana dia akan pergi. Tidak lama kemudian datang musuh orang tersebut dan bertanya kepada kita. Untuk menjawabnya pindahlah tempat kita semula berdiri atau duduk, lalu baru dikatakan bahwa kita tidak melihatnya. Dengan demikian akan amanlah orang yang dikejar-kejar tadi.
Apabila kita melakukan kadzib awam tetapi dengan tujuan untuk keselamatan dari pembunuhan atau lainnya maka tidak terkena hukum kadzib awam. Akan tetapi, apabila kita berdusta terhadap anak maka hukumnya kita terhukum kadzib awam, sanksinya melaksanakan puasa kifarat 1 hari.
Bila terjadi 1 kali kadzib maka akan terhalang doa selama 11 hari. Kadzib adalah penghalang doa, sedangkan shalat sunnad dhuha' adalah kunci segala doa.
Hikmahnya: dengan kita telah melakukan kadzib tetapi disadari dan melaksanakan puasa kifaratnya maka kita akan mendapat kewibawaan.

d. Hukum Tahkim

Tahkim ialah pelanggaran hukum terhadap diri sendiri yang akibatnya akan merusak diri. Contohnya merusak diri:
  • Memotong rahim agar tidak beranak lagi.
  • Melakukan vasektomi.
  • Merubah kelamin (contohnya Dorce Gamalama) yang asal lelaki kemudian wadam, kemudian menjadi perempuan dengan merubah alat vitalnya.
Untuk melakukan hal ini maka akan terkena sanksi berupa melaksanakan puasa kifarat selama 7 hari berturut-turut. Segala doa akan terhalang bila tidak melaksanakan puasa kifaratnya.

e. Hukum Haji

Ialah setiap pelanggaran yang dilakukan ketika melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya pelanggaran-pelanggaran di dalam melaksanakan ibadah haji akan terkena sanksi dengan melaksanakan puasa kifarat selama 10 hari (3 hari dilaksanakan di Makkah dan sisanya 7 hari dilaksanakan setelah pulang di tanah air). Kifarat ini dapat diganti dengan 1 ekor kambing bila tidak mengerjakan karena sakit.

Hukum Puasa Wajib Nafsi

Puasa wajib nafsi dilakukan berdasarkan atas kehendak hati sendiri. persamaan dengan shalat sunnat ialah shalat sunnat intizar. Puasa wajib nafsi adalah suatu ibadah yang wajib dikerjakan akan sesuatu permintaan yang bersyarat (menepati janji) dan disebut juga dengan nama puasa nazar.
Puasa Wajib Nafsi: a) puasa nafsi, b) puasa ahli, c) puasa juriat.

a. Puasa Nafsi

Melaksanakan puasa yang berkaitan dengan pribadi masing-masing orang. Puasa ini bukannya tidak untuk berjamaah, dan puasa nafsi dilaksanakan apabila menginginkan sesuatu atau ber-nazar.
Sebelum melaksanakan puasa nazar hendaklah dimohonkan dahulu kepada Allah akan segala keinginan kita, dan apabila telah terkabulnya permohonan barulah melaksanakan puasa nazar. Jadi bila kita ingin bernazar yang sesungguhnya ialah dengan berpuasa, haram hukumnya dengan bernazar kepada sesuatu tempat/kuburan/benda/orang, dll. Boleh bernazar ke suatu tempat ialah ke Baitullah, Madinah dan Masjidil Aqsha. Pelaksanaan puasa nazar adalah selama 1 hari saja yang dilakukan apabila sudah mencapai keberhasilan. Dan bila telah berhasil tetapi tidak mau melaksanakan puasa nazarnya (ingkar akan janji nazarnya) mendapatkan kifarat.
Hari-hari yang baik untuk melaksanakan puasa nazar:
  • Hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis.
Sedangkan hari-hari lainnya seperti:
  • Hari Ahad, harinya umat Nasrani/Kristen, tidak boleh.
  • Hari Sabtu, harinya orang Yahudi, tidak boleh.
  • Hari Jum'at, Idul Muslimin, tidak boleh.
Puasa hari Jum'at bisa dilaksanakan apabila didahului oleh hari sebelumnya atau diakhiri oleh hari sesudahnya, artinya bukan tunggal hari Jum'at.
Kaifiat memasang nazar:
  • Memasang nazar sesudah shalat fardhu.
  • Memasang nazar pada shalat sunat intizar.
Dengan memasang nazar berarti kita telah melaksanakan suatu perjanjian, untuk itu janganlah melupakan kepada nazar kita yaitu bila telah diberikan keberhasilan dari nazar, berpuasalah. Tidak kita laksanakan puasa nazar maka akan terkena sanksi dengan berpuasa kifarat.
Perbedaan antara doa dengan nazar:
  • Berdoa berarti mengarah kepada qadar.
  • Bernazar berarti mengarah kepada Allah.

b. Puasa Ahli

Ialah melaksanakan suatu puasa nazar yang ada kaitannya dengan orang lain (maksudnya bukan untuk pribadi sendiri). Contohnya: misal ada seseorang yang kita nazarkan, dan dengan nazar kita orang itu dari perbuatan yang tidak baik menjadi baik.
Untuk puasa ahli terbagi kepada:
  • Puasa Nazar Ahli Nasab Ialah bernazar untuk seseorang yang masih ada hubungan dengan keturunan sedarah, umpamanya anak, kakak, adik, orang tua. Bila melaksanakan nazar untuknya maka kerjakanlah puasa nazar 2 hari berturut-turut bila sudah mencapai keberhasilannya. Pelaksanaan puasa nazarnya laksanakan pada hari Senin dan hari Kamis.
  • Puasa Nazar Ahli Nikah Bernazar untuk seseorang yang masih ada kaitannya dengan ikatan pernikahan. Misalnya: bagi isteri/suami, saudara ipar, mertua, dll. Apabila nazar kita mencapai keberhasilan maka puasalah 3 hari berturut-turut. Untuk hari puasanya berlaku pada tanggal-tanggal 11, 12, dan 13 dalam hitungan tahun Hijriyah (berarti dalam 1 bulan hanya terdapat 1 kali). Sedangkan untk hari-harinya tidaklah ditentukan yang penting harus diingat tanggalnya.

c. Puasa Juriat

Ialah melaksanakan sesuatu nazar kepada tempat ibadah. Yang dimaksud tempat ibadah di sini ialah tempat-tempat yang suci:
  • Bernazar ke Baitullah (Rumah Allah).
  • Bernazar ke Masjidin Nabawi (Rumah Nabi).
  • Bernazar ke Baitul Muqadis/Masjidil Aqsha (Rumah Suci).
Bila bernazar kepada selain ke-3 tempat tersebut tidaklah benar. Seandainya kita telah berikhtiar untuk menunaikan haji ke Makkah akan tetapi sesuatu terhalang oleh adanya sesuatu sebab, sakit, hamil, atau lainnya, maka bernazarlah, dan bila berhasil laksanakan puasa nazar selama 10 hari berturut-turut, untuk harinya bebas.
Bernazar ke Masjidin Nabawi, bila berhasil puasa nazar selama 7 hari berturut-turut, juga harinya bebas.
Bernazar ke Baitul Muqadis/Masjidl Aqsha, bila berhasil puasa nazar selama 3 hari berturut-turut, yaitu tanggal-tanggal 11, 12 dan 13 (sama dengan puasa nazar ahli nikah).

Hukum Puasa Sunnat

Untuk puasa-puasa sunnat sudah ada ketentuan yang digariskan atas dasar Sunnatullaah dan Sunnatur-Rasulullaah, yaitu meliputi puasa-puasa seperti:

a. Puasa 6 hari di bulan Syawal

Di dalam bulan Syawal ada peluang untuk mengerjakan puasa sunnat sebanyak 6 hari. Tanggal dimulainya hingga berakhirnya puasa Syawal yaitu dimulai dari tanggal 2 Syawal s.d. tanggal 30 Syawal. Dari tanggal-tanggal tersebut silahkan dikerjakan semampunya asal genap dapat tercapai banyaknya 6 hari. Jadi secara sunnah Rasulullah tidaklah berarti melaksanakan puasa 6 harus dikerjakan 6 hari berturut-turut. Bila mampu tidaklah mengapa, tapi bila tidak mampu kerjakan 1 hari atau 2 hari kemudian dilanjutkan bilamana ada kesempatan dan kemampuan hingga mencapai jumlah 6 hari.
Sebagai perbandingan:
  • Pada hari ke-2 bulan Syawal, Abu Huraiarh r.a. bertandang ke rumah Nabi Muhammad SAW. Dengan membawa kurma Abu Hurairah menyerahkan kepada Nabi, sambil mempersilahkan untuk dimakan Nabi. Tetapi Nabi tidak memakannya, dan beliau berkata, "Aku sedang berpuasa." Dengan tidak bertanya apapun Abu Hurairah berpamitan kepada Rasul untuk memohon diri pulang kembali ke rumahnya.
  • Pada hari yang ke-3 di bulan yang sama datang kepada Nabi untuk bertandang yaitu Anas bin Malik r.a., juga dengan membawakan kurna untuk Nabi. "Ya Rasulullah, kubawakan sedikit kurma untukmu, dan makanlah!" Tapi Nabi menjawab, "Terima kasih ya Anas, kurmamu akan kusimpan dahulu dan nanti saat berbuak akan kaumakan." Mendengar ucapan Nabi yang demikian Anas bin Malik bertanya kepada Nabi, "Apakah engkau berpuasa ya Rasul?" Nabi menjawab, "Ya, aku berpuasa."Kemudian Anas bin Malik kembali bertanya kepada Nabi, "Berapa lamakah engkau berpuasa ya Rasul?" Nabi menjawab, "Enam hari, terhitung sejak tanggal 2 Syawal dan insya-Allah hingga tanggal 7 Syawal." Dari jawaban Nabi yang demikian Anas bin Malik tidak berlama-lama berbicara dengan Nabi, dan Anas bin Malik langsung berpamitan kepada Nabi.
  • Pada hari ke-4 datang pula seorang sahabat yang bernama Ibnu Abbas r.a. bertandang ke rumah Nabi. Ibnu Abbas sebelumnya sudah mendengar dari sahabat Abu Hurairah dan Anas bin Malik, sambil memberikan kurma kepada Nabi, Ibnu Abbas langsung bertanya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, kudengar engkau sedang berpuasa, benarkah itu?" Nabi menjawab, "Benar ya Abbas, aku berpuasa insya-Allah selama 6 hari." Ibnu Abbas bertanya lagi kepada Rasul, "Puasa apa gerangan ya Rasulullah?" Nabi menjawab, " Aku berpuasa selama 6 hari untuk mengqadha' puasaku yang tidak kukerjakan ketika bulan Ramadhan kemarin." Sama seperti para sahabat yang lainnya, Ibnu Abbas juga langsung pamit kepada Nabi.
Dari hadits tersebut di atas nyatalah bahwa keterangan bagi kaum muslimin yang datang dari Ibnu Abbas r.a. adalah hadits yang lengkap dan dapat dijadikan dasar untuk hukum-hukum puasa. Sedangkan hadits-hadits dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik tidaklah dapat dijadikan dasar untuk hukum puasa karena kurangnya kelengkapan sebagai persyaratan menjadi hadits yang shahih. Dan dari hadits Anas bin Malik itulah yang sekarang banyak dipakai sebagai dasar hukum puasa. Jadi pada prinsipnya ada yang disebut puasa 6 hari di bulan Syawal, akan tetapi pada pelaksanaannya tidaklah harus dilaksanakan 6 hari terus-menerus, yang penting berpuasa di bulan Syawal jumlah harinya sebanyak 6 hari.
Hikmah puasa Syawal ialah untuk menyempurnakan segala kekurangan di dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan seperti puasanya, taddarusnya, shalat sunnat-sunnatnya, dll; bagi keperluan ibadah Ramadhan. Dan ingatlah akan 7 persyaratan untuk mencapai taqwa di bulan Ramadhan (lihat penjelasan sebelumnya).

b. Puasa Arafah

Yaitu puasa sunnat yang dikerjakan bagi umat muslim yang berada di luar Arafah atau bagi umat muslim yang tidak melaksanakan rukun Haji. Dan bagi umat muslim yang sedang melaksanakan rukun Haji berada di Arafah, yaitu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah.
Bagi yang sedang melaksanakan rukun Haji melaksanakan:
  • Wuquf sekali di Arafah, dan besoknya tanggal 10 harus sudah berada di Makkah. Dengan sekali melaksanakan wuquf di Arafah maka dosa-dosa akan terhapuskan. Yang dimaksud terhapus dosa ialah: misal ketika wuquf di Arafah berumur 50 tahun maka dikurangi dengan masa baligh umur 15 tahun selisihnya menjadi 35 tahun maka sbanyak 35 tahun itulah dosa terhapuskan dan disebut bersih dari dosa.
  • Segala harta benda yang tersandang sebelum melaksanakan wuquf masih dalam keadaan kotor dan setelah wuquf menjadi bersih. Termasuk maskanan dan minuman yang telah kita nikmati.
  • Terhapusnya dosa-dosa kepada sesama muslim.
  • Terhapusnya segala perubatan kesyirikan (seperti bayi baru lahir) dan ini terjamin selama 40 hari terhitung selesai dari Arafah.
Bagi umat muslim yang belum mendapat kesempatan untuk melaksanakan rukun Haji, laksanakanlah:
  • Berdoa setelah 4 rakaat qabliyah zhuhur.
  • Shalat sunnat intizar mukhafafah/tsiqalah.
  • Bernazar
  • Melaksanakan shalat sunnat thawaf.
  • Jangan dilupakan shlat sunnat Dhuha'.
Hikmah puasa tanggal 9 Dzulhijjah:
  • Akan mensucikan diri. Barangsiapa melaksanakan puasa tanggal 9 Dzulhijjah 3 kali berturut-turut (maksudnya 3 x tanggal 9 Dzulhijjah) maka yang keempatnya Allah akan memanggil untuk ke Baitullah).
  • Boleh juga disebut bahwa melaksanakan puasa tanggal 9 Dzulhijjah adalah puasa untuk mendaftarkan naik haji.

c. Puasa Tasyu'a

Puasa tasyu'a ialah puasanya Nabi Shaleh setiap tanggal 9 Muharram. Tasyu'a artinya 9 dan puasa ini tidak disunnatkan bagi umatnya karena dari puasa ini mengakibatkan umat Nabi Shaleh menjadi umat yang syirik. Dengan puasa tasyu'a Nabi Shaleh memohon kepada Allah agar sapi peliharaannya dijadikan sapi yang paling terkuat, dengan berhasilnya permohonan ini akibatnya umat Nabi Shaleh tidak lagi menyembah kepada Yang Maha Esa akan tetapi lebih menuhankan kepada sapi Nabi Shaleh.

d. Puasa Asyura

Asyura artinya 10 yang bermakna tanggal 10 Muharram. Sejak Nabi Musa a.s. hingga kepad Nabi Isa a.s. puasa ini dilaksanakan orang. Namun dari kaum Yahudi puasa ini dirubah menjadi membuat bubur dengan 10 macam bahan, dan dikenal dengan sebutan bubur Asyura. Ketika Nabi Muhammad SAW beliau berniat akan merubah kembali dari membuat bubur Asyura kembali untuk melaksanakan puasa Asyura, namun asyang sebelum beliau melaksanakannya beliau telah wafat. Dan bagi umat muslimin, sesuai dengan niat rencana Nabi Muhammad, bila tiba tanggal 10 Muharram kerjakanlah puasa Asyura, dan bukanlah membuat bubur Asyura. Kekuatan hukum tentang dasar puasa Asyura adalah atas dasar hadits Rasulullah yang sifat haditsnya termasuk ke dalam hadits Hamiyah (cita-cita Rasul).
Hikmah puasa Asyura:
Bagi siapa saja yang melaksanakan puasa Asyura maka orang tersebut akan mendapatkan ilmu-ilmu laduni dan kuat bathinnya. Bila Asyura menguatkan bathin maka membaca Fatihah di dalam shalat akan menghasilkan kontak bathin dengan Allah.
Sebaik-baik tuntunan ialah Al-Qur'an dan sebaik-baiknya petunjuk ialah petunjuk Muhammad SAW
(H.S.R. Imam Bukhari Muslim)

e. Puasa Sya'ban

Di dalam bulan Sya'ban ada kesempatan untuk melaksanakan puasa, dengan pelaksanaannya tidaklah menentukan hari dan jumlahnya. Bagi yang berani menentukan hari dan jumlahnya maka ketentuan tersebut sifatnya bid'ah, karena Rasulullah sendiri tidak pernah menentukan hal yang demikian itu.
Contoh yang ada: Seperti yang disebut orang dengan puasa Nishfu Sya'ban. Nishfu artinya separuh, sya'ban artinya bulan Sya'ban, jadi arti lengkapnya menjadi separuh bulan Sya'ban. Apabila bulan Sya'ban tepat jatuh kepada 30 hari maka arti Nisyfu Sya'ban bisa dibenarkan, namun bagaimana apabila bulan Sya'ban jatuh sebanyak 29 hari? Bagaimanakah menentukan separuhnya?
Sabda Rasulullah: Apabila sampai setengah bulan Sya'ban maka janganlah kamu berpuasa maka bahwasanya puasanya orang-orang Yahudi (H.S.R. Imam Bukhari Muslim).
Dari keterangan hadits di atas jelaslah bahwa apa yang disebut oleh sebagian umat muslim dengan puasa Nishfu Sya'ban hukumnya malah dilarang oleh Rasulullah. Jadi pada prinsipnya adanya kesempatan melaksanakan puasa di bulan Sya'ban tidaklah ditentukan hari dan jumlahnya.
Hikmah puasa Sya'ban (bukan Nishfu Sya'ban):
  • Untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  • Sebagai latihan di dalam menghadapi bulan Ramadhan.
Dan apa-apa yang disebut hikmah Nishfu Sya'ban seperti:
  • Dengan puasa Nishfu Sya'ban sama dengan berpuasa selama 1 tahun.
  • Di saat Sya'ban adanya tutup buku, dll.
Semua ini adalah isapan jempol belaka, bila ditelaah dengan berdasarkan sunnah Rasulullah hal yang demikian hukumnya tidak ada. Karena itulah apa yang disebut dengan puasa Nishfu Sya'ban adalah termasuk pekerjaan yang bid'ah.

f. Puasa Asbu'

Yaitu puasa yang dikerjakan setiap seminggu 2 kali (puasa Senin dan Kamis). Puasa ini adalah puasa sunnat yang sering dilaksanakan oleh Rasulullah. Kedua hari Senin dan Kamis mengandung makna:
Untuk menguatkan bathin dan roh dimasukkan ke dalam jasad pada hari Jum'at sedangkan dilengkapinya pada hari Senin dan Kamis.

g. Puasa Baidh

Baidh artinya putih, jadi bila disebut puasa Baidh berarti puasa pemutih/pembersih diri. Puasa Baidh dilaksanakan setiap jatuh tanggal 13, 14, 15 pada setiap bulannya (tanggal dalam tahun Hijriyah). Untuk ketentuan hari-harinya bebas, tidak terkena hukum hari yang dilarang berpuasa.
Puasa Baidh persamaannya dengan shalat sunnat Dhuha' namun nilai bandingannya sama dengan 1 hari puasa Asbu' = 7 kali shalat sunnat Dhuha'. Jadi bila melaksanakan puasa Baidh 3 hari = 21 kali shalat sunnat Dhuha' yang berarti mendapat 21 macam do'a yang dijamin Allah.
Maka bila kita melaksanakan suatu hajat kepada Allah untuk lebih tajamnya hajat tersebut kombinasikan: shalat Dhuha' + puasa Baidh + shalat Intizaar.
Sabda Rasulullah: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Kawanku (Nabi SAW) berwasiat kepadaku dengan tiga yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku mati, yaitu: berpuasa tiga hari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha' dan tidur sesudah shalat witir.

Hukum Puasa Haram

Puasa haram ialah sesuatu pekerjaan puasa yang diharamkan oleh hukum. Di antara puasa yang diharamkan seperti:
  • Berpuasa di dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha
  • Berpuasa di hari tasyriq, yaitu ketika tanggal 12, 13 dan 14 Dzulhijjah
  • Berpuasanya seorang isteri tanpa seizin suami
Dari kitab suci Al-Qur'an tersurat bahwa barangsiapa yang berbuat kebaikan akan menerima 10 balasan. Namun dari ayat tersebut tidaklah berlaku atas apa yang disebut puasa, karena setiap perbuatan puasa yang berhak menilainya dan menerimanya hanyalah Allah. Sedangkan manusia tidak ada hak untuk menilai setiap puasa seseorang. Setiap nilai yang diberikan oleh Allah maka akan mendapatkan hikmah. Sebabnya ada puasa yang diharamkan atau dilarang karena tidak adanya batasan-batasan, sedangkan puasa yang diperintahkan mengandung batasan-batasan. Setiap yang tidak ada batasannya lebih banyak manfaat daripada hikmah, sedangkan setiap yang ada batasannya akan lebih besar hikmah dari manfaat.
Contohnya:
  • Setiap minuman keras diharamkan, tentu tidak mempunyai batasan meminumnya, akibatnya menjadi memabukkan/lupa diri.
  • Nabi Adam a.s., yang pertama-tama menerima larangan dari Allah, akibatnya karena larangan tersebut dilanggar, adanya manusia sekarang ini (manfaat).
  • Nabi Muhammad saw, lebih dahulu mendapat perintah, akibatnya adanya agama Islam yang kita anut sekarang ini (hikmah).

Sebabnya dilarang berpuasa di hari raya Idul Fitri

Menurut hitungan tahun Hijriyah setiap tahun terdapat 12 bulan, dan untuk setiap bulannya ada mengandung isi maknanya masing-masing. DI bulan Syawal yang diharamkan berpuasa terletak pada tanggal 1-nya saja, sedangkan untuk tanggal-tanggal berikutnya tidak diharamkan. Diharamkan puasa ketika tangal 1 Syawal sebab di tanggal ini adanya penghapusan dosa-dosa manusia dan saatnya pula diadakannya tutup buku catatan manusia. Dan ketika memasuki tangagl 2 Syawal mulailah pencatatan kembali segala amal perbuatan manusia yang baru atau dimulainya membuka buku catatan manusia.
Persyaratan untuk mencapai Fitri (kesucian) seperti:
  • Mengeluarkan zakat fitrah yang berbentuk beras (untuk di negeri kita) dengan takaran sebanyak 3 1/3 liter per jiwa. Dengan pengeluaran ini maka akan terhapuslah dosa-dosa terhadap sesama manusia dan terhadap sesama makhluk.
  • Melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh, bila tidak melaksanakannya maka zakat fitrahnya tidak sah. Untuk terhapusnya dosa bila dibandingkan dengan orang yang melaksanakan haji ialah ketika wuquf di Arafah. Dan untuk penyempurnaannya dengan melontar di Aqaba. Bagi yang tidak melaksanakan haji, yaitu berpuasa Ramadhan, dan penyempurnaannya dengan mengeluarkan zakat fitrah.

Sebab dilarangnya berpuasa di hari raya Idul Adha

Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dzul artinya orang yang mengerjakan, dan Hijah artinya Haji. Jadi arti penuhnya menjadi mengerjakan haji, sehingga adanya hari kesucian. Di dalam melaksanakan haji ada terdapat hari yang disebut hari Tasyriq, yaitu hari-hari dari tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, dan di hari-hari tersebut bertepatan dengan adanya pelontaran di Aqaba, Wusta dan Uulaa. Ketiga nama tersebut adalah nama-nama batu yang menjadi tumpuan pelontaran. Dan asal-usul dari nama-nama batu adalah dari nama-nama iblis.
Aqaba adalah nama iblis yang hidup di masa Nabi Ibrahim dan yang sekarang sudah menjadi batu serta menjadi tumpuan pelontaran bagi yang berhaji. Nabi Ibrahim as adalah bapaknya dari ilmu ketauhidan (meng-Esa-kan Tuhan) dan agama yang disyiarkan oleh Nabi Ibrahim bernama agama Hanif. Dari sifat-sifat kebathinan Nabi Ibrahim inilah untuk setiap manusia ada mewarisinya sehingga manusia sekarang ini ada memiliki:
  • Iman (6 rukun iman)
  • Yaqin (percaya sepenuhnya)
  • Tawaqal (berserah diri kepada Allah)
  • Qada' dan Qadar (ketentuan dan waktunya ketentuan)
Jadi jasa yang besar dari Nabi Ibrahim adalah telah menanamkan ketauhidan terhadap Allah, sedangkan musyriknya ada pada Aqaba (yang bisa berbentuk harta kekayaan, dll).
Wusta adalah nama Iblis yang hidup semasa dengan Siti Hajar isteri Nabi Ibrahim as ketika masih hidup. Kini setelah semuanya tiada, yang tertinggal adalah batu jelmaan iblis yang disebut Wusta dan kini menjadi tempat tumpuan pelontaran bagi yang berhaji. Dan kini di dalam setiap diri manusia ada sifat yang keras seperti batu. Karena Hajar artinya batu, sehingga sifat batu tersebut terwarisi ke dalam setiap diri manusia yang disebut dengan 7 sifat nafsu. Setiap nafsu ada Wustanya, yaitu yang selalu menghalangi kepada arah untuk kebaikan. Itulah sebabnya diharamkan untuk berpuasa ketika tanggal 10 Dzulhijjah, sebab tanggal tersebut dihapusnya dosa oleh Allah.
Uulaa adalah nama iblis yang hidup semasa dengan Nabi Ismail putera Nabi Ibrahim as. Ismail artinya 'bisikan bathin', yang berupa getaran yang masuk ke hati manusia. Contohnya: apabila melihat sesuatu yang bukan miliknya maka bisikan hati mengatakan itu bukan miliknya. Itulah bisikan dari Ismail yang diwarisi hingga kepada manusia sekarang ini. Sedangkan Uulaa mengakibatkan adanya kekufuran, akibatnya menjadi seorang yang pelupa.
Sekali lagi penulis terangkan bahwa dari ke-3 iblis tersebut sekarang sudah menjadi batu semuanya dan menjadi tempat tumpuan pelontaran haji.

Hukum Puasa Bid'ah

Bid'ah artinya menambah, mengurangi atau merbuah dari sesuatu ketentuan hukum yang telah disunnatkan oleh Rasulullah. Sedangkan maksud dengan Puasa Bid'ah ialah suatu pekerjaan puasa yang sifatnya dikhususkan.
Rusaknya hukum di dalam ajaran agama Islam disebabkan oleh:

Khilafiyah

Yaitu adanya perbedaan pendapat dari para ulama. Hal ini sesungguhnya tidak akan terjadi apabila dari para ulama itu sendiri mau mengembalikan segala perbedaannya kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Taklid

Yaitu percaya atas keterangan ulama yang belum tentu akan kebenarannya dari dasar hukum yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Akibatnya timbul yang disebut ikut-ikutan. Boleh taklid bila sesuatu keterangan itu jelas didapat dari Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai dasarnya (Taklid Wajibah). Tidak boleh taklid pada keterangan seseorang apabila jelas bahwa keterangannya bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits (Taklid Muharamah atau disebut juga dengan Taklid Buta).
Setiap orang yang awam di bidang hukum-hukum ajaran Islam tentunya selalu akan bertanya kepada para ulama, sedangkan ulama itu sendiri terdiri dari:
Ulama Salaf
Ialah ulama yang tersisih, dan umumnya ulama yang tersisih ini justru adalah ulama yang konsekuen untuk mengamalkan ajaran dan hukum-hukum di dalam agama Islam yang sesuai dengan Sunnatullah (Al-Qur'an) dan Sunnatur-Rasul (Al-Hadits).
Ulama Khalaf
Ulama Khalaf umumnya selalu diagung-agungkan oleh para pengikutnya yang sangat banyak. Padahal para ulama khalaf untuk pegangan dasar-dasar di dalam ajaran Islam atas dasar yang terkena erosi sehingga tidak lagi bersesuaian dengan Sunnatullah (Al-Qur'an) dan Sunnatur-Rasulullah (Al-Hadits).

Bid'ah

Yaitu menambah, mengurangi juga merubah dari ketentuan dasar di dalam ajaran Islam, umumnya tidak lagi sesuai dengan dasar-dasar Sunnatur Rasul (Al-Hadits). Seolah-olah Al-Hadits itu dapat dibuat-buat, untuk disesuaikan dengan keperluan seseorang. Rasulullah bersabda bahwa: KULLU BID'ATIN DHALALAH WA KULLU DHALALAH FIN-NAAR (Setiap bid'ah itu sesat dan setiap sesat itu bagiannya neraka).

Dari beberapa puasa yang dikhususkan di antaranya:

  1. Puasa tanggal 12 Rabi'ul Awal yaitu puasa kelahiran Nabi Muhammad. Tentang puasa ini dipopulerkannya oleh seorang ulama yang bernama Imam Darkutni, di dalam kitabnya yang bernama kitab Bijuri. Padahal tanggal 12 Rabi'ul Awal adalah hari rayanya para malaikat dalam rangka menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya puasa 12 Rabi'ul Awal disebut puasa bid'ah (sifatnya mengada-ada).
  2. Puasa 27 Rajab Tanggal 27 Rajab adalah ketika terjadinya Isra' Mi'raj Nabi Muhammad saw. Puasa ini juga dipopulerkan oleh seorang ualam yang bernama Abu Lais yang sepupunya dari Imam Darkutni yang masih keturunan Yahudi. Menurutnya barangsiapa berpuasa 27 Rajab maka akan mendapatkan pangkat Habib. Padahal pangkat Habib adalah pangkat yang dianugerahi Allah hanya kepada Nabi Muhammad saw. Dan sesuai sabda Rasulullah tidak akan ada lagi orang yang berpangkat Habib setelah aku tiada.
  3. Puasa Nishfu Sya'ban Sudah diterangkan di atas bahwa arti dari kata nishfu Sya'ban adalah separuh bulan Sya'ban. Menurut Abu Lais dikatakan bahwa pada saat Nishfu Sya'ban adalah penutup buku. Padahal Nishfu Sya'ban adalah harinya orang-orang Majusi (agama Majusi adalah suatu kepercayaan yang belum mengetahui keesaan Allah) di zaman Nabi Nuh as. Orang-orang Majusi adalah orang-orang yang membanggakan anak Nabi Nuh as yang tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh as.
  4. Puasa 1 tahun atau puasa 1 bulan Melaksanakan puasa selama 1 tahun atau 1 bulan terus-menerus berarti menyalahgunakan waktu dan menekan haq di dalam kehidupan. Puasa ini pantas saja dilaksanakan oleh orang-orang Hindu atau Budha, tetapi bagi kita umat Muhammad, tidak ada hukumnya. Itulah sebabnya kedua puasa ini disebut dengan puasa bid'ah, sifatnya menambah dari hukum Sunnatur Rasul dengan pendapat umat Hindu/Budha.
  5. Puasa Rajab Yaitu melaksanakan puasa beberapa bulan sebelum Ramadhan tiba (puasa sejak bulan Rajab). Puasa inipun disebut puasa bid'ah, karena sifatnya mengada-ada.
  6. Puasa hari Jum'at Dilarang berpuasa di hari Jum'at kaena hari Jum'at adalah hari raya umat Islam/Idul Muslimin. Boleh berpuasa hari Jum'at apabila didahului atau diakhiri dengan puasa sebelum hari Jum'at (bila hanya hari Jum'at saja berpuasa maka itulah yang disebut puasa bid'ah).
  7. Puasa hari Sabtu Puasa hari Sabtu termasuk ke dalam puasa bid'ah, karena hari Sabtu adalah hari rayanya orang Yahudi. Dan sama dengan hari Jum'at yang bila berpuasa hanya hari itu saja, itulah yang tidak dibenarkan.
  8. Puasa hari Ahad Juga termasuk ke dalam puasa bid'ah karena hari Ahad adalah hari rayanya buat orang-orang Nasrani/Kristenn. Sama dengan puasa Jum'at dan puasa Sabtu, puasa hari Ahad pun harus ada hari-hari pendampingnya sehingga tidak hanya hari Ahad saja.

Demikianlah keterangan-keterangan tentang hukum-hukum puasa yang dapat penulis sajikan dalam diktat ini. Bila dari keterangan-keterangan diktat ini terdapat kejanggalan-kejanggalan atau kekurangan-kekurangan bukanlah maksud penulis untuk menyajikannya yang demikian, tetapi itulah batas kemampuan penulis di dalam menyerap keterangan yang telah diberikan oleh pembimbing kita, dan penulis sangat berterima kasih bilamana dari keterangan-keterangan ini disesuaikan lagi oleh pembaca sekalian. Karena penulis percaya bahwa pembaca (Warga Majelis Ta'lim Jihadussunnah) juga memiliki catatan-catatan yang mungkin lebih lengkap daripada ini.
Akhirul kata semoga artikel sederhana ini dapat kiranya menjadi bahan bacaan yang berguna bagi kita semua, dan semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, hidayah serta ridho-Nya kepada kita.
Amin Ya Robbal `Alamiin.