Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Jumat, 22 April 2011

Plus minus film aceh



Perfilman Aceh sedang berkembang. Masyarakat kita memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap kehadiran film Aceh. Tidak mengherankan bila kehadiran sebagian film begitu dinantikan oleh masyarakat Aceh.

Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, tentunya kita patut berbangga hati dengan perkembangan ini. Di tengah gempuran film-film luar, holywood, bolywood, mandarin, kartun dan lain sebagainya yang banyak bertemakan romatisme, kekerasan, dan perselingkuhan. Kiranya film Aceh dapat memperkenalkan sisi yang lebih manusiawi.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, apakah film Aceh sudah mewakili masyarakat kita yang bersyariat? Ataupun film Aceh sudah dipergunakan sebagai media untuk melestarikan adat budaya rakyat Aceh? Jika merujuk dari beberapa film yang sudah beredar dalam masyarakat dan sangat dikenal luas oleh semua usia. Ada sedikit keraguan tentang hal tersebut. Pertama, Dari segi pakaian, seharusnya sebagai daerah syari’at Islam sudah selayaknya artis perempuan menggunakan pakaian yang menutup aurat dengan sempurna. Pakaian yang sesuai aturan syar’i akan menjadi contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Artis-artis pemeran utama tidak menutup aurat dengan sempurna. Pada umumnya mareka hanya memakai selendang untuk menutup kepala, sedang sebagian poni menjuntai keluar. Di sebagian film malah tidak memakai jilbab sama sekali karena terlalu bangga dengan rambut hitam berkilau. Padahal dalam al-Qur’an sudah sangat jelas disebutkan dalam surat an-Nuur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan balig.

Perintah yang dijelaskan dalam al-Qur’an harus dipahami sebagai kewajiban ”menutup” aurat bukannya membungkus aurat. Dewasa ini banyak kita saksikan saudara-saudara kita yang muslim membungkus auratnya dengan cara memakai baju ketat. Sehingga sesuatu yang ada dibalik pakaian berbentuk dengan sempurna.

Kedua, bahasa. Artis-artis yang mendapatkan peran utama dalam film Aceh yang asal usul keturunannya seratus persen dari Aceh sering menggunakan bahasa Aceh yang ”berlepotan”(baca: Tilo), layaknya bahasa orang tak bisa ngomong Aceh. Jika demikian adanya, keaslian bahasa Aceh akan hilang dikikis zaman. Ada kalanya kita harus belajar dari saudara kita di luar Aceh, yang tanpa malu dan segan menggunakan logat asli mareka dengan bangga.

Ketiga, tema yang digunakan tidak jauh dari masalah kisah percintaan kaum muda, kekerasan dan sejenisnya. Tema-tema tersebut menjadi trend dalam dunia ferfilman nasional maupun internasional. Sedikit sekali yang mengambil tema pendidikan atau tema yang memberi pencerahan dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan film Aceh tetap mengandalkan tema tersebut. Daya jual film Aceh untuk menarik minat masyarakat hanya pada kelucuan atau kekonyolon para artisnya. Kadang-kadang tidak sedikitpun menyampaikan pesan moral untuk penonton. Jika demikian adanya, film-film Aceh tidak akan bertahan lama.

Masyarakat berharap kehadiran film Aceh bisa membawa pesan moral untuk generasi muda Aceh, menjadi wadah pelestariaan kebudayaan Aceh, menjadi media untuk berdakwah. Bukan sebaliknya hanya sebagai bahan lawakan hanya sekedar memuaskan masyarakat yang haus hiburan. Nilai-nilai syari’at selalu menyertai setiap gerak langkah dalam berkerja. Dalam sebuah ceramah seorang da’i berpesan kepada pendengar bahwa ketika kita bekerja jangan tinggalkan Islam kita dirumah dan di kunci rapat dalam lemari, tapi harus kita bawa kemana saja kaki melangkah. Dalam mencari penghidupan, kita boleh menjadi apa saja sesuai dengan cita-cita dan keinginan. Bekerja jadi seorang pegawai, jadilah pegawai Islami.

Jadi artis, jadilah artis yang Islami. Jadi tentara, jadilah tentara yang Islami. Jadi polisi, jadilah polisi yang Islami. Jadi politisi, jadilah politisi yang Islami. Jadi hakim, jadilah hakim yang Islami. Jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang Islami. Jadi pedagang, jadilah pedagang yang Islami. Jadi dokter, jadilah dokter yang Islami. Jadi guru, jadilah guru yang Islami. Intinya, apapun profesi yang kita jalani hari, tetap berpegang pada aturan yang telah digariskan oleh syari’at.

Sehingga tidak ada lagi kecurangan-kecurangan ditengah masyarakat, mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Semua akan berjalan dengan aman dan damai. Insya Allah, amin ya Rabbi.Fauziah Usman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar