Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Jumat, 22 April 2011

Obsesi hotel bersyari'at



OPINI :: Murizal Hamzah

"Hotel ini tidak menerima pasangan yang bukan suami istri sah. Silakan berbicara/bertemu lawan jenis di lobi hotel." Dua penggal kalimat ini terpampang jelas di beberapa hotel di Jakarta. Mungkin hal serupa juga dilakukan oleh manajemen hotel yang mencari makan di Aceh.

Masih ada persepsi yang kurang baik terhadap hotel. Sebut saja, hotel tempat berbagai maksiat atau mesum. Padahal melakukan maksiat bisa di mana-mana jika niat dan kesempatan sudah tersaji. Hal itu terbentuk dari pengamatan dan pemikiran yang boleh jadi keliru dengan apa yang disaksikan dan apa yang dipikirkan. Kaum ibu-ibu di Aceh sangat khawatir jika suaminya ke Medan, Sumatera Utara dan menginap di hotel X. Sebaliknya lega jika suami merapat di hotel Z yang selama ini diakui hotel yang baik-baik alias memproteksi diri dari segala unsur maksiat.

Obsesi hotel yang seirama dengan misi syariat Islam sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Dalam arti kata, tanpa perlu embel-embel nama hotel syariat, apa yang dilakukan oleh manajemen beberapa hotel di Jakarta adalah penerapan syariat Islam. Di ibu kota negara, adzan di hotel akan selalu bergaung setiap waktu shalat. Adakah hotel di Serambi Mekkah yang melakukan hal demikian?

Demo beberapa organisasi masyarakat di Banda Aceh beberapa waktu silam terhadap hotel berbintang memberi isyarat masih ada hal terselubung. Hotel itu dituding mengadakan kegiatan yang melanggar syariat Islam. Untuk ini, perlu dibangun dialog terkait hal-hal apa saja yang boleh dan tidak digelar di Aceh. Kemungkinan besar demo ini berkaitan dengan acara yang diadakan oleh hotel tersebut menyambut tahun baru.

Ada tiga hal yang bisa dicermati dari demo terhadap hotel beberapa waktu lalu, yakni manajemen hotel membuka diri untuk berdiskusi dengan kalangan ulama atau tokoh masyarakat. Sering kali asal tuding atau dugaan itu karena tidak terbangun komunikasi. Jika manajemen hotel menyediakan bir atau minuman keras, maka itu dikomsumsi untuk non muslim. Hal ini telah dilakukan oleh sebuah wisma di Sabang yang secara terang-terangan menolak permintaan bir dengan alasan pembeli beragama Islam serta meminta buku nikah kepada tamu yang berlainan jenis. Artinya, pihak hotel secara istiqamah menjalankan peraturan yang disodorkan oleh umara alias pemerintah.

Paramater kedua, pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan-peraturan untuk operasional sebuah hotel serta pernak-perniknya. Perlu disosialisasikan hak-hak alias "kekebalan" manajemen hotel yang tidak bisa diganggu oleh pihak lain. Sebut saja, mereka tetap bisa buka restoran pada siang hari untuk tamu hotel atau untuk para musafir.

Ketiga, kalangan warga yang diharapkan memahami mekanisme operasional sebuah hotel. Jika kalangan hotel telah memiliki izin dari aparat terkait, maka secara hukum manajemen hotel sah mengadakan kegiatan yang diyakini tidak bertentangan dengan hukum negara serta normal. Semua warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku. Bukan pada keinginan atau perasaan warga atau pejabat.

Jika ada keinginan untuk mengubah dunia, maka jangan langsung dunia yang diubah . Itu tidak pernah terwujud. Kerjakan dari hal-hal terkecil yang bisa dilakukan tanpa perlu menunggu perintah dari atas. Mulailah dari diri sendiri. Misal beri contoh dengan tidak menghadiri acara-acara yang berpotensi menjerat ke lembah nista. Kemudian kerjakan perubahan di lingkungan keluarga, tempat kerja, dusun, gampong, mukim dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar