Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Jumat, 22 April 2011

Berzakat wujud sikap dermawan


Khatib Drs. Ridwan Qari

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui” (al-Taubah: 103).

Ayat tersebut menunjukkan kewajiban zakat. Yakni perintah dari Allah kepada Muhammad SAW yang juga berlaku kepada semua pemimpin atau penguasa muslim. Dalam hal ini, perintah untuk memungut zakat dari orang-orang Islam (muzakki) kemudian membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik).

Jadi ada kesan ”memaksa” dalam hal pemungutan zakat ini. Kita mengetahui, pada masa khalihaf Islam dipimpin oleh Abubakar ra, ada perang terhadap orang-orang yang ingkar berzakat.

Sebagai manusia yang sehat rohani dan jasmani tentu tidak seorangpun diantara kita yang sudi dipaksa dalam hal apapun termasuk dalam soal penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Kita sangat ingin merdeka dalam mengawal hati dan diri kita untuk taat kepada Allah SWT., sehingga dapat merasakan nikmatnya menjadi muslim, yakni orang yang berserah diri kepada Allah SWT dalam hidup dan matinya.

Untuk memenuhi pandangan ketidakterpaksaan ini, terkait dengan ayat di atas, ada tiga tujuan dari perintah mengeluarkan zakat dan secara akumulatif sebagai kunci sukses zakat, yaitu:

Pertama, berzakat itu mengagungkan Allah SWT. Allah Swt mengakui bahwa andil manusia dalam memperoleh kekayaan itu ada sehingga di dalam salah satu ayat tentang perintah berzakat secara eksplisit jelas disebutkan: ”Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu” (al-Baqarah: 267)

Akan tetapi hasil usaha manusia yang baik-baik itu tidak akan pernah ada tanpa adanya andil Allah SWT. Manusia tidak dapat mengingkari bahwa dalam hasil yang diperolehnya saham Allah adalah yang terbesar.

Kedua, berzakat menafikan tamak dan kikir. Kecintaan kepada harta benda dapat menimbulkan tamak dan kikir. Berzakat adalah wujud sikap dermawan; mau memberi. Saham manusia amatlah kecil dalam hasil usahanya dibandingkan saham Allah SWT. Saham yang terkecil itu justru diminta oleh Allah untuk-Nya dan Dia berikan saham-Nya yang besar untuk manusia. 1 ekor sapi untuk Allah dan 29 ekor ntuk manusia. 1 ekor kambing untuk Allah dan 39 ekor untuk manusia. 2,5 % emas untuk Allah dan 97,5 % untuk manusia. 5-10 % tanaman untuk Allah dan 90-95 % untuk manusia dan lain sebagainya.

Betapa tamak dan kikirnya seseorang jika 1 ekor atau 2,5 % atau 5-10 % dari harta kekayaannya yang merupakan saham pribadinya tidak sanggup diserahkan kepada Allah sementara 29 atau 39 ekor atau 97,5 % atau 90-95 % yang merupakan saham Allah swt juga dia miliki. Jika dalam jumlah kecilpun yang notabene sangat terbatas (zakat) tidak sanggup memberikannya apatah lagi dalam jumlah besar (infaq, sedekah) yang tidak tertentu jumlahnya.

Janganlah menjadi orang yang kikir atas nikmat Allah yang begitu besar dianugrahkan kepada kita. Kita tidak dapat menghitung banyaknya nikmat Allah kepada kita, baaanyak sekali. Orang yang kikir akan dihukum oleh Allah diakhirat nanti sebagimana digambarkan dalam firman-Nya: ”Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Milik Allah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan (Ali Imran: 180)

Ketiga, berzakat berarti membutuhkan bantuan orang lain. Keberhasilan seseorang tidak luput dari bantuan orang lain. Kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi oleh luasnya jaringan yang dimiliki. Presiden, gubernur, DPR, Rektor, Kontraktor, dokter, buruh dan profesi lainnya tidak terjadi dengan dirinya sendiri tanpa ada orang lain. Sebagaimana firman Allah: ”Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada kecuali dengan (bantuan) Allah dan dengan(bantuan) Manusia...(Ali Imran: 112)

Bantuan manusia yang banyak untuk keberhasilan kita wajib dikembalikan sebagaiannya melalui zakat, dengan prioritas sebagaimana firman-Nya: ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahu, Maha Bijaksana (al-Tawbah: 60)

Demikianlah khutbah yang singkat ini, marilah kita berzakat dengan memperhatikan tujuan kumulatif di atas agar kita terhindar dari fitnah dunia dan fitnah akhirat. Semoga bermanfaat bagi khatib dan majlis sekalian. Amin ya rabb al- ’alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar