Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Minggu, 17 April 2011

Propinsi bukan aceh

KALAU kita melihat kembali sejarah tertulis tentang Aceh, maka jelas, Aceh bukanlah nama suku keseluruhan orang yang saat ini tinggal di provinsi bernama Aceh. Dulu, Aceh hanyalah sebutan kepada masyarakat yang saat ini ada di Aceh Besar. Sementara di luar wilayah tersebut, terdapat berbagai nama lain yang sama sekali tidak menyebut diri sebagai orang Aceh.

Ada belasan, bahkan mungkin dua puluhan suku lain yang hidup di berbagai daerah yang memiliki corak budaya yang berbeda dengan Aceh, termasuk bahasa. Pada masa munculnya kerajaan Aceh Darussalam abad XV, keseluruhan wilayah yang ada di sekitar Aceh Besar hingga Sumatera Utara-saat ini-tunduk di bawah kerajaan ini. Tunduk di bawah kerajaan artinya, mereka menjadi bagian dari kerajaan itu, sementara asal muasal suku, budaya, bahasa, tetap bertahan dan tidak lantas menjadi suku Aceh.

Dalam konteks ini, penyebutan provinsi Aceh seharusnya dimaknai dalam tataran kesatuan suku-suku yang berbeda yang menetap di provinsi yang dinamakan Aceh. Aceh sebagai nama sebuah provinsi sama sekali berbeda dengan Aceh sebagai sebuah suku. Sebagai sebuah suku, Aceh hanyalah sebagian masyarakat yang berbahasa Aceh dan mempraktikkan budaya Aceh dalam kesehariannya. Sementara Aceh sebagai nama sebuah provinsi, maka ia adalah tempat bernaung berbagai suku lain; Gayo, Alas, Tamieng, Kluet, Aneuk Jame, Singkil, Pasee, Simelu, Tionghoa, Karo, Haloban dan lain sebagainya. Mereka memiliki kekhasan budaya sendiri yang tidak boleh dan tidak bisa digeneralisasi menjadi “Aceh”. Kekhasan itu harus dihormati sebagai sebuah kekayaan dan keunikan bersama.

Oleh sebab itu pandangan yang menempatkan Aceh sebagai suku sama dengan Aceh sebagai provinsi harus dihilangkan. Dalam hal ini maka apa yang pernah dilakukan oleh seorang anggota DPRA beberapa waktu yang lalu (Serambi, 18/02) terhadap mahasiswa demonstran yang berasal dari suku-suku non-Aceh adalah sebuah perilaku yang salah kaprah. Saat itu, seorang anggota DPRA mengatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari Gayo dianggap bukan bagian dari Aceh karena mereka tidak bisa berbahasa Aceh. Apa yang dilakukan oleh anggota dewan tersebut adalah representasi hegemoni suku mayoritas atas suku minoritas yang ada di Aceh. Ia, dengan hardikannya, hendak mengatakan betapa semua orang harus “Aceh”, Aceh dalam makna suku. Dengan mengatakan demonstran harus berbahasa Aceh, maka ia seolah ingin mengatakan semua orang yang tinggal di Aceh harus menjadi suku Aceh dan mampu berbahasa Aceh. Ini tentu saja sebuah sikap zalim yang tidak seharusnya ditunjukkan oleh masyarakat modern yang menjunjung tinggi pluralitas kesukuan dan bahkan pluralitas agama. Ia seharusnya sadar kalau ia berada di tengah orang yang secara sah dan hak untuk tidak menjadi suku Aceh. Sebab suku itu sendiri adalah made in Allah, yang tidak bisa diubah dan harus dihormati.

Peduli Minoritas
Pemerintah, DPRA dan semua elemen pemerintahan di Aceh harus menempatkan diri sebagai pemimpin bagi Aceh sebagai provinsi, bukan Aceh sebagai suku. Oleh sebab itu semua perilaku, kebijakan dan pandangan politiknya harus mencerminkan keberagamaan masyarakat yang ada di Aceh. Bahkan bukan hanya dalam hal suku, juga masalah agama. Meskipun sering dikatakan Aceh dan Islam seperti dua sisi mata uang yang sama, namun secara statistik harus diakui banyak masyarakat yang tinggal di Aceh tidak beragama Islam. Di Banda Aceh terdapat beberapa rumah ibadah yang dikunjungi saban hari oleh jamaahnya. Demikian juga di berbagai daerah lain di Aceh. Bahkan di beberapa kecamatan kabupaten perbatasan dengan Sumatera Utara, Islam adalah agama minoritas.

Apa yang terjadi di Aceh selama ini adalah penindasan kepada minoritas oleh kelompok mayoritas, baik suku maupun agama. Hal ini bisa terlihat dari kebijakan dan aturan yang kurang respek dengan pluralitas budaya dan agama tersebut. Lihatlah kebijakan mengenai adat Aceh. Apakah semua suku di Aceh memiliki struktur adat yang sama dengan suku Aceh? Kenyataannya, Qanun No. 9 dan 10 jelas menginginkan sebuah struktur pemerintahan adat yang sama, mukim, keuchik, kejruen, dan lain sebagainya. Ini kan sama saja dengan kebijakan Soeharto yang mengeluarkan UU No. 5 tahun 1979 yang melakukan sentralisasi budaya Jawa untuk seluruh pemerintahan di Indonesia. Lalu pemerintahan Aceh melakukan sentralisasi budaya Aceh kepada semua suku yang ada di Aceh saat ini.

Bukan hanya pemimpin, ulama dan tokoh adat juga harus mendialogkan keberagaman ini dengan baik. Sungguh sangat mengerikan--mudah-mudahan tidak akan--jika di Aceh terjadi seperti yang ada pulau Jawa, pembunuhan aliran keagamaan yang berbeda, pembakaran rumah ibadah, pelecehan, dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah ulama perlu menunjukkan kehangatan dan kedamaian. Sebab apa yang dikatakan ulama akan menjadi sebuah panutan pada umat seluruhnya. Dan jika yang ditampilkan ulama adalah kebajikan, perdamaian, persaudaraan, dan saling terbuka dalam berdialog, maka insyaallah semua masyarakat tidak akan tersulut emosinya, dan indahnya kebersamaan akan kita rasakan.

Jadi, sudah seharusnya potret keberagaman di Aceh dihormati oleh semua pihak sesuai dengan porsinya. Kelompok minoritas tidak bisa dianggap tidak ada sama sekali sehingga kebijakan yang lahir mengabaikan kepentingan mereka. Perbedaan itu harus menjadi sebuah amuniasi untuk maju dan berkembang. Setiap kelebihan pada suku-suku yang ada di Aceh akan menjadi sumbangan besar bagi kemajuan provinsi Aceh ke depan. Tidak boleh ada diskriminasi suku dan agama di Aceh. Sebab dengan mengabaikan perbedaan, sebenarnya pemimpin sudah berlaku zalim dalam kekuasaannya. Dan tidak ada balasan yang paling baik untuk pemimpin yang zalim kecuali neraka Jahannam.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar