Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Jumat, 22 April 2011

Memperkuat akar kebudayaan aceh



Adat ngon hukom lage sifet ngon wujud, inilah salah satu hadih maja (perkataan orang tua) yang dapat dipahami adat dan hukum (syara’) sangat terkait antara sesamanya. Tanpa hukum tidak akan ada aturan untuk adat dan sebaliknya tidak ada adat maka tidak ada sarana untuk menjalankan hukum.

Apabila kita menelaah hadih maja di atas maka dapat kita simpulkan bahwa adat yang dipegang oleh masyarakat Aceh haruslah berdasarkan syari’at Islam, karena adat bak teumoreuhom hukom bak Syiah kuala. Syiah kuala yang dimaksud disini adalah seorang ulama termasyur pada masa kerajaan Aceh yaitu Abdurrauf As-Singkili.

Namun fenomena yang kita perhatikan di masyarakat kita saat ini sepertinya belum mencerminkan akan hal tersebut diatas. Banyak nilai-nilai dan budaya yang telah mengalami pergeseran nilai. Banyak hal-hal yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat Aceh telah menjadi hal yang lumrah dan diterima oleh masyarakat. Hal ini adalah hasil dari tidak terbendungnya pengaruh nilai-nilai yang datang dari luar Indonesia khususnya di luar Aceh.

Akses informasi yang dapat diakses dan mudah menjadi belati bermata dua yang disatu sisi memberikan pengaruh sangat positif terhadap perkembangan peradaban sedangkan disisi lain juga memberikan efek negatif yang sangat buruk terhadap nilai-nilai kebudayaan yang telah lama dianut oleh masyarakat Aceh. Informasi-informasi yang diterima tidak mampu disaring secara sempurna oleh masyarakat Aceh karena kita tidak mempunyai latar belakang ilmu dan budaya yang kuat yang seharusnya telah tertanam didalam diri setiap masyarakat Aceh.

Kita lebih menjaga dan merasa bangga dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa lain dibandingkan dengan nilai budaya kita sendiri. Inilah yang disebut dengan Cultural Imperialism yaitu mengadopsi budaya, nilai-nilai dari bangsa atau komunitas lain baik secara terpaksa ataupun dengan keinginan individual masing-masing.

Zaman penjajahan Belanda dan Jepang adalah salah satu bentuk dari cultural imperialism misalnya dengan membatasi pada orang-orang tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan yang bagus dan membatasi pengajaran ajaran-ajaran Islam kepada seluruh masyarakat pada saat itu. Selain itu juga pendudukan Belanda yang cukup lama di Aceh juga secara tidak langsung telah mendukung proses pentransferan budaya eropa ke budaya lokal.

Namun Cultural Imperialism tidaklah selalu bermakna negatif karena setiap bangsa atau komunitas pasti memiliki sisi negatif dan positif masing. Tapi pada kenyataannya, nilai-nilai yang sering diadopsi adalah nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan setempat sedangkan nilai-nilai positif ditinggalkan bahkan diabaikan begitu saja.

Sebagai contoh pada remaja, budaya merayakan hari-hari peringatan seperti Valentine tidaklah datang dari budaya lokal, tetapi berasal dari bangsa-bangsa barat yang pada awalnya mereka peringati untuk mengenang salah seorang pastur yang melawan kebijakan raja pada masanya. Budaya yang diadopsi ini tidaklah sesuai dengan budaya masyarakat yang Aceh yang notabene adalah budaya Islam. Seharusnya nilai positif yang seharusnya diadopsi adalah sikap menghargai sesama atau waktu. Tapi nilai inilah yang sangat sulit diadopi oleh masyarakat Aceh.

Contoh lainnya dari pergeseran pola pikir yang telah hadir dalam masyarakat Aceh adalah sudah kurangnya kesadaran anak-anak, pemuda, bahkan orang tua dalam hal pendidikan agama. Orang tua akan membayar sebesar apapun biaya yang harus dihabiskan untuk pendidikan keduniawian anak-anaknya, namun kemudian ragu ketika harus membayar untuk pendidikan keakhiratannya yang mengakibatkan kurangnya wawasan keilmuan agama yang dimiliki oleh masyarakat kita saat ini.

Keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam menjaga budaya dan adat istiadat agar tidak mengalami degradasi sangatlah penting. Arus informasi yang tak terbendung dan kurang siapnya masyarakat menerima dan menyaring informasi tersebut menjadi salah satu faktor yang penting yang terjadinya efek samping cultural imperialism. Oleh karena itu, penguatan-penguatan nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat sangat diperlukan dan harus didukung oleh semua pihak.

Pengadaan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung kuatnya akar kebudayaan Aceh sangat penting untuk dilaksanakan. Sehingga sekencang apapun arus globalisasi yang menghantam masyarakat Aceh, kita sudah mempersiapkan diri kita dan masa keemasan Aceh yang dulu pernah diraih pada masa Iskandar Muda akan datang kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar