Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Minggu, 17 April 2011

Meluruskan makna islam


ABU al-A’la al-Maududi dalam bukunya “To wards Understanding the Qur’an” mengomentari ayat tersebut di atas sebagai berikut: (I) “Dalam pandangan Allah hanya ada satu sistem kehidupan dan jalan penuntun (only one system of life and way of conduct) yang sesuai dengan realitas, dan secara moral benar. (2) Sistem kehidupan dan jalan penuntun ini berupa pengakuan seseorang bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. (3) Dalam praktiknya, seseorang harus mengikuti dan tunduk sepenuhnya terhadap petunjuk yang disampaikan Tuhan kepada Rasul-Nya, bukan mengikuti jalannnya sendiri. Sikap dan cara berpikir seperti inilah yang disebut dengan Islam”.

Agama, dalam hal ini Islam, adalah way of life yang telah dikonsep dan dirumuskan oleh Allah. Islam dimaknai sebagai sebuah skema kehidupan (the scheme of life) yang lengkap dan utuh dan mengatur segala aspek kehidupan manusia (QS, al-Baqarah: 208). Sayyid Qutb ketika menafsirkan terma Islam sebuah agama (din) menegaskan bahwa makna Islam adalah penyerahan diri atau ketundukan (istislam), ketaatan (al-taah), dan mengikuti (al-ittiba’). Maksudnya adalah penyerahan diri atau ketundukan terhadap perintah Allah, ketaatan terhadap syariah-Nya dan mengikuti Rasul-Nya serta menempuh jalan-Nya. Dengan demikian, maka siapa saja yang tidak berserah diri, tidak taat serta tidak mengikuti perintah-Nya, bukanlah seorang “muslim”. Dan tidak dapat digolongkan sebagai pemeluk agama (din) yang diridai “Allah swt”, karena Allah tidak meridai agama selain Islam (Sayid Qutb, Fi Zilalil Qur’an).

Islam bukanlah hasil konstruksi pikiran manusia. Islam adalah nama bagi agama yang terakhir dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad SAW.(QS, al-Maidah:3). Kehadirannya dimaksudkan untuk menyempurnakan agama sebelumnya, sekaligus memperbaiki hati manusia yang telah mengeras dan rusak, kembali ke jalan benar dan diridhai-Nya.

Konsep keselamatan
Doktrin keselamatan (salvation) merupakan konsep penting yang secara umum terdapat pada setiap agama. Oleh karena itu, masing-masing agama mengklaim dirinya sebagai juru selamat (salvator) bagi masing- masing pemeluknya. Dalam agama Kristen Protestan misalnya, terdapat sebuah doktrin yang dikenal dengan “no salvation outsid chritianity”, di luar Kristen tidak ada keselamatan. Doktrin ini begitu mendarah daging pada diri setiap pemeluknya. Demikian juga di dalam salah satu sekte agama Kristen Katolik, pemeluknya berpegang teguh pada satu doktrin yang menyebutkan “extra ecclesiam nulla salus”, di luar gereja tidak ada keselamatan.

Bagi penganut Yudaisme, doktrin “the chosen people” menjadi landasan teologis mereka bahwa hanya etnis Yahudi saja yang akan memperoleh keselamatan. Sedangkan dalam agama Islam sendiri argumen teologis tentang keselamatan eksklusif sebagai milik mereka didasarkan pada doktrin keterputusan akhir (supercessionism), yaitu suatu aturan agama (Kristen dan Yahudi) tetap sah sebelum datangnya aturan baru (Islam) yang menggantikan aturan lama (mansukh), maka aturan baru itu dengan sendirinya membatalkan aturan yang sebelumnya. Argumen ini, oleh umat Islam didasarkan terutama pada ayat-ayat Alquran berikut ini: Inna dl-dina ‘indallahi ai-Islam (Sesunnguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam)(QS, Ali Irnran:19). Wamanyyabtaghighaira al-islama dina falanyyuqbal minhu wahuwa fil akhirati min al-khasirin (Barang siapa yang mengharapkan agama selain Islam, maka tidak akan diterima (selamanya) dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi)(QS, Ali Imran:85). Dan Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum ni ‘mati waradhitu lakum al-islama dina (Hari ini telah Aku sempurnakan agama untukmu, Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu dan Aku rida Islam agama untukmu) (QS, Al-Baqarah: 208).

Ketiga ayat ini menegaskan bahwa kepasrahan dan ketundukan diri secara total (ber-islam) kepada Allah swt akan membuat seseorang dapat memperoleh keselamatannya. Islam memberikan jaminan keselamatan kepada umatnya baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan umat yang menentang dan mengingkarinya tidak mendapatkan pahala dan keselamatan, bahkan Allah beri azab kepadanya. (Anis Malik Toha, 2001: 89). Keselamatan dimaksudkan di sini harus mengacu paling tidak pada tiga unsur: Pertama, percaya (beriman) kepada Allah. Kedua, percaya kepada hari kemudian (akhirat) dan Ketiga, semua tindakan dan amalnya penuh kebaikan dalam hidupnya. Tegasnya, keselamatan tidak dapat diperoleh oleh manusia karena faktor keturunan (Ibrahim, Musa, Isa) dan lainnya), melainkan keselamatan itu hanya diperoleh siapa saja berdasarkan keimanan kepada Allah, hari akhir, dan beramal shalih, sebagaimana dapat kita temukan di banyak tempat dalam Alquran.

Diskurusus tentang keselamatan dalam setiap agama selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam kenyataannya, sering kali klaim kebenaran (truth claim) tentang keselamatan pada masing-masing agama ini memicu pertentangan antara satu sarna lainnya, terutama dalam konteks “abrahamic religion”, saat ini lebih dikenal dengan “millata abraham”.

Aliran ini nampaknya sudah memiliki pengaruhnya di Aceh dan menurut informasi terakhir jaringannya telah meluas tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga sudah masuk di beberapa lembaga pendidikan di Aceh, bahkan sudah merambah kalangan kampus. Bila fenomena ini tidak segera diatasi, dipastikan suatu saat akan menjadikan “bom waktu” bagi Aceh yang berlaku syariat Islam dan tidak mustahil suatu saat nantinya Islam yang begitu kuat di Aceh diganti dengan paham-paham sekulerisme dan liberalisme.

Solusi
Menurut penulis, untuk mengantisipasi semua isu aktual aliran sesat di Aceh saat ini, di samping memperkuat basis masing-masing keluarga dengan nilai-nilai akidah, ibadah, akhlakul karimah, pengawasan dan kontrol orang tua, juga perlu mendapat perhatian serius dari masing lembaga pendidikan dari tingkat TK sampai perguruan tinggi, selain itu juga harus ada kontrol masyarakat melalui gerakan amar makruf nahi munkar. Semua pihak perlu memperhatikan kriteria aliran sesat seperti tertuang dalam Fatwa MPU Aceh No.4 Tahun 2007. Bila ada paham dan aliran yang berkembang di Aceh sesuai dengan kriteria ini hukumnya haram dan wajib dilarang secara tegas.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah lAIN Ar-Raniry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar