Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Jumat, 11 Maret 2011

memori hasan tiro

 

 

 

 

 

 

 

Antara Hasan Tiro & Dawud Beureu-éh: Dua Pejuang Aceh Berbeza Teknis  

Pejuang-pejuang Aceh masa lampau sudah pun pergi satu persatu dengan meninggalkan banyak hasil karya dan hasil perjuangannya bagi bangsa ini. Laksamana Malahayati sudah meninggalkan pasukan Inong Balee yang tangguh, Ali Mughayyatsyah telah meninggalkan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD), Iskandar Muda telah meninggalkan KAD dengan wilayah luas sampai hampir seluruh Pulau Sumatera dan semenanjung Malaysia. Al-Qahhar telah meninggalkan diplomasi dan hubungan dua hala sampai ke Turki dan Eropa, sultanah Safiatuddinsyah telah meninggalkan khazanah intelektualitas bangsa di masa kerajaan dahulu. Di masa perjuangan kemerdekaan; Tgk. Syhik di Tiro Muammad Saman meninggakan kader-kader militan dan ulama-ulama beken. Teuku Umar meninggalkan tipu muslihat terhadap Belanda, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia meninggalkan sikap istiqamah dan konsekuensi yang paling tinggi. Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh meninggalkan konsep politik dan pendidikan Islam jitu dan keberanian yang paling tinggi. Tengku Muhamamd Hasan bin Muhammad Tiro (Hasan Tiro) telah meninggalkan sikap berani dan kader-kader pejuang nasionalis Aceh yan paling jitu.
Dalam konteks perjuangan bangsa Aceh melawan kedhaliman Indonesia, hanya dua tokoh Aceh terakhir yang menjadi rujukan orang banyak; Daud Beureu-éh dan Hasan Tiro. Kedua tokoh ini mempunyai konsep perjuangan yang sangat jelas dan memiliki pengikut yang amat banyak di seluruh Aceh dan juga luar Aceh. Kedua tokoh ini sudah berhasil menggoyang detak jantung para pemimpin Indonesia pada masanya masing-masing. Artinya perjuangan yang diterajui keduanya membuat Indonesia kelabakan dan hilang kestabilannya. Dan keduanya dimuliakan Indonesia di akhir perjuangannya, hal ini yang jarang terjadi pada pemberontakan lain di dunia ini. Daud Beureu-éh dijemput di Mardhatillah (tempat tinggalnya di gunung) oleh pemerintah Indonesia, dan Hasan Tiro diberikan status warga negara Indonesia satu hari menjelang kemangkatannya (Serambi Indonesia Rabu; 2/6/2010).
Lalu bagaimana perbedaan perjuangan kedua pemimpin dan tokoh kharismatik itu? Daud Beureu-éh yang lahir di Beureu-éh Meunasah Dayah Kecamatan Mutiara Kaupaten Pidie 10 Jumadil Akhir 1316 H/1896 M dan meninggal tahun 1987 itu telah meletakkan batu azas sebuah negara Islam Aceh yang dijulukinya Republik Islam Aceh (R.I.A). Sementara Hasan Tiro yang lahir 25 September 1925 di gampong Tanjong Bungong Kecamatan Kota Bakti Kabupaten Pidie dan mangkat Khamis 3 Juni 2010 telah meletakkan azas politik nasional Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pejuang pembebas Aceh
Kedua tokoh itu memiliki kesamaan konsep dalam upaya membebaskan Aceh dari kungkungan dan aneksasi Indonesia yang dalam masa-masa tertentu selalu menghina dan menjajah Aceh. Pada masanya Daud Beureu-éh telah berupaya keras lewat jalur pendidikan yang didirikan di merata tempat seluruh Aceh seperti di Usi, Garot, Pidie, Blang Paseh Kabupaten Pidie, di Bireuen dan Banda Aceh. Selain itu beliau juga menggerakkan SDM yang ada untuk berdakwah seluruh Aceh lewat lembaga Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) sehingga Aceh menyatu dengannya dan Aceh nyaris dipimpin oleh kader-kader PUSA.
Ketika Indonesia mengkhianati dan mendiskriminasi Aceh seperti mengadu domba antara para ulama PUSA dengan ulama tradisional, dengan kaum uleebalang dan dengan gerakan Said Ali Assagaf cs. Maka benih-benih perlawanan Aceh terhadap jakarta mulai tumbuh, ia lebih cepat berbenih ketika Jakarta dengan sengaja memecahbelahkan pemerintahan PUSA dengan cara memindahkan hampir seluruh kader PUSA dari kalangan tentara, polisi dan pamong praja keluar Aceh dan diganti dengan orang-orang lain yang mayoritasnya non muslim. Paling puncak klimaks perlawanan itu muncul ketika Jakarta meleburkan provinsi Aceh dan menggabungkannya kedalam provinsi Sumatera Utara tahun 1950.
Berawal dari rangkaian kekejian itulah Teungku Muhammad Daud Beureu-éh mempertimbangkan desakan rakan-rakan dan mengambil kesimpulan untuk berontak melawan Indonesia yang disifatkannya sebagai Republik Indonesia Komunis (RIK). Gerakan itu dimulai dengan mengisytiharkan DI/TII Aceh sebagai patner DI/TII Jawa Barat pimpinan S. M. Karto Suwiryo tahun 1953. Pada waktu itu pusat perhatian kaum pemberontak Aceh adalah melawan Indonesia yang dhalim dan mewujudkan Indonesia yang Islami. Ketika ada beberapa hal yang tidak memungkinkan untuk itu, kemudian Teungku Muhammad Daud Beureu-éh merubah haluan perjuangan menjadi Negara Bahagian Aceh Negara Islam Indonesia (NBA NII). Dan terakhir ketika nama Indonesia tidak mungkin lagi digunakan karena beberapa faktor sangat mendasar, ulama dan pemimpin kharismatik Aceh tersebut menukarnya dengan Negara Republik Islam Aceh (NRIA).
Lain halnya dengan pemberontakan Hasan Tiro yang juga menyerbu Indonesia untuk mewujudkan Negara Aceh. Perjuangan Hasan Tiro menyerbu Indonesia sejak dari awal mulai dari Aceh untuk Aceh, berbeda dengan Daud Beureu-éh yang memulai dari Indonesia untuk Aceh. Hasan Tiro semenjak mendeklarasikan Aceh Merdeka 4 Desember 1976 sampai terjadinya perdamaian yang difasilitasi mantan perdana menteri Finlandia Martti Ahtisaari 15 Agustus 2005 tetap saja mendobrak Jakarta agar melepaskan Aceh dari kungkungan Indonesia dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di permukaan bumi. Latarbelakang pemberontakan yang dibangun Hasan Tiro adalah berdasarkan faktor kedhaliman dan ketidak adilan Indonesia terhadap Aceh pada masa presiden Soeharto. Selain itu muncul juga desas desus kegagalan Hasan Tiro untuk mengelola PT. Aron di Lhokseumawe karena pihak Jakarta mengontrakkannya kepada perusahaan luar negeri lainnya.
Dr. Munawar Abdul Djalil dalam bukunya; Hasan Tiro berontak antara alasan historis, yuridis dan realitas sosial, yang diterbitkan Adnin Foundation Publisher Banda Aceh 2009 menjelaskan dengan detil penyebab-penyebab Hasan Tiro beronta dan latar belakang pemberontakannya. Kedua tokoh Aceh ini memiliki tujuan yang sama dalam perjuangan membebaskan Aceh dari Indonesia. Cuma mereka berbeda latarbelakang dalam mewujudkan sebuah cita-cita.
Berlainan teknis
Disebabkan latarbelakang yang berbeda, maka berbeda pula teknis yang digunakan kedua tokoh tersebut untuk memerdekakan Aceh. Daud Beureu-éh meletakkan azas Islam dalam perjuangannya dengan pendirian berpolitik itu merupakan bahagian daripada ibadah dalam kehidupan seorang muslim. Karena itu tidak boleh ada pembusukan, carut marut dan saling menghujat dalam berpolitik. Ketika politik itu sampai kepada sebuah pemberontakan maka pemberontakan itu harus atas dasar Islam, dengan ideologi Islam dan dengan dasar atau azas Islam. Menurutnya, ia tidak sanggup mempertahankan sebuah perjuangan itu tanpa ada bantuan Allah. Dan kalau mati seoran pejuang di bawah pimpinannya ia tidak mampu mempertanggungjawabkannya di sisi Allah di hari kemudian kalau perjuangan itu bukan atas dasar Islam.
Beliau selalu menggantungkan diri kepada Allah dalam menggerakkan perjuangan yang disebutnya sebagai perjuangan suci. Tidak mau memberontak terhadap Indonesia yang dhalim itu kalau bukan atas dasar pemberontakan Islam dengan dasar dan ideologi Islam. Kalau berontak melawan Indonesia yang nasionalis dan sekularis itu dengan menggunakan dasar pemberontakan yang sama, maka apa yang harus diperjuangkan dan untuk siapa, sementara yang memperjuangkan dengan yang dilawan sama-sama nasionalis dan sekularis. Jadi jelas sekali prinsip Daud Beureu-éh dalam menggerakkan perjuangan melawan Indonesa adalah berdasarkan Islam dan atas dasar Islam. Sehingga beliau betul-betul berjuang mati-matian bersama pengikutnya yang beranjak dari gunung ke gunung di Aceh.
Beda halnya dengan Hasan Tiro yang ketika mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) tahun 79 dahulu juga mengangkat isue Islam sebagai materi perjuangannya. Pada waktu itu yang bergabung dalam AM umumnya pentolan DI/TII Aceh dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat bimbingan Daud Beureu-éh. Hasan Tiro sendiri merupakan seorang murid dan kader serta harapan Daud Beureu-éh yang dapat melanjutkan perjuangan sucinya ketika beliau tiada.
Namun dari perjalanan pergumulan perjuangan orang-orang AM generasi tua itu perjuangan pembebasan Aceh dari Indonesia belum lagi terekspose secara menyeluruh keseluruh penjuru dunia. Dalam masa pergantian generasi dari generasi tua ke generasi muda terjadi beberapa penukaran eksistensi perjuangan seperti nama AM berganti dengan nama GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Isue-isue Islamisasi perlahan-lahan bertukar menjadi isue nasionalisme Aceh dan seterusnya. Dalam hal ini Hasan Tiro sering memberikan pernyataan kepada media internasional bahwa perjuangan yang ia pimpin itu bukan perjuangan yang didasarkan kepada Islam melainkan kepada nasionalisme Aceh. Kepada Masyarakat awam dan kader-kader yang didiknya di luar negeri seperti di Libia dan Malaysia selalu dikatakan perjuangan GAM harus dilibatkan dengan azas nasioalisme agar mendapat bantuan dari luar negeri terutama PBB dan Amerika Serikat. Selain itu arah bentuk negara Aceh yang dicita-citakan Hasan Tiro lebih menjurus kepada sistem monarchi (kerajaan), sementara Dawud Beureu-éh menjurus kepada sistem negara presidental.
Konkritnya, perjuangan dua tokoh Aceh yang tidak lain adalah guru dengan muridnya itu memiliki tujuan yang sama dengan jalan dan prinsip yang berbeda. Mereka sama-sama ingin membebaskan Aceh dari Indonesia dengan dasar dan azas yang berbeda yang satu menggunakan dan komit dengan azas dan dasar Islam sementara yang lainnya komit dengan azas dan dasar nasionalisme. Keduanya telah gagal mencapai tujuan, keduanya sudah lenyap dalam peredaran dan kini Aceh tetap saja bahagian daripada Indonesia, apa upaya lain untuk menyambung perjuangan yang gagal tersebut? Dahulu ketika DI/TII gagal, ramai orang menyatakan tidak mungkin berhasil memisahkan Aceh dari Indonesia kalau dengan dasar dan azas Islam karena tidak akan dibantu oleh dunia internasional khususnya PBB dan Amerika Serikat. Perjuangan GAM yang tidak menggunakan azas dan dasar Islam yang sepenuhnya mengharapkan bantuan internasional, PBB dan Amerika ternyata gagal juga, lalu apa alasan dan solusi selanjutnya?
Paling tidak kita harus menggunakan analogi akhirat untuk menjawab soalan tersebut; apabila sebuah perjuangan itu didasarkan kepada Islam maka harapan bantuan kita semata-mata kepada Allah tuhan sekalian alam. Kalau Allah memberikan bantuan kepada kita maka siapa saja di dunia ini tidak mampu melarang termasuk dunia internasional, PBB dan Amerika Serikat. Kalau kita menang dalam perjuangan tersebut tentu saja kita memperoleh dua keuntungan; pertama, keuntungan duniawi karena telah menang dalam perjuangan, dan kedua, keuntungan ukhrawi yakni mendapat pahala dari Allah, apabila ada yang mati dalam perjuangan maka ia mati syahid yang dijanjikan syurga oleh Allah. Itu berarti kalau menang mendapatkan keuntungan dan kalau kalah atau tidak menang pun akan tetap memperoleh pahala dari Allah karena dasar perjuangan kita lillahi ta’ala, itu berarti; kalah-menang kita tetap beruntung.
Tetapi kalau kita menggantungkan diri untuk membebaskan Aceh dari Indonesia kepada PBB atau Amerika Serikat sebagai ciptaan Allah, maka kalau Allah marah karena kita tidak mau tunduk dan patuh kepadanya sebagai khalik dan sebagai manifestasi keimanan dan ketauhidan dalam kehidupan. Maka siapa lagi yang mampu manyaingi kekuasaan Allah tersebut? Sudah barang tentu kalau kita menang dalam perjuangan itu kita hanya mendapatkan satu keuntungan saja yakni keuntungan kemenangan itu sendiri tapi tidak memperoleh keuntungan yang paling esensil yakni pahala dari Allah apalagi kalau kita gagal dalam perjuangan tersebut, sama sekali tidak memperoleh keuntungan apa-apa. Itu identik dengan perjuangan sia-sia walaupun perubahan demi perubahan untuk rakyat dan negara tetap saja ada sebagai efek dari perjuangan kita. Namun perubahan yang paling esensil sama sekali tidak kita perolehi di sisi Allah yang Maha Perkasa. Semoga saja dua pemberontakan Aceh yang diterajui oleh dua tokoh kharismatik Aceh itu akan bermakna bagi bangsa dan agama.
Kini keduanya sudah tiada dan keberangkatannya disusuli oleh gempa kecil, hujan lebat dan angin ribut beberapa hari selepasnya. Setelah Daud Beureu-éh meninggal angin kencang, hujan lebat dan gempa bumi terjadi sebagaimana juga setelah meninggalnya Hasan Tiro. Sebahagian orang Aceh yang fanatik mengaitkannya dengan ketokohan kedua mereka, sebahagian yang lain menganggap itu kebetulan saja. Dan dalam pandangan agama juga tidak ada pegangan khusus untuk mengaitkannya dengan kematian seseorang pemimpin atau penguasa. Amiiinnn.
Nota: Hasanuddin Yusof Adan merupakan Pembantu Dekan bidang kemahasiswaan Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry

Beberapa Catatan Hasan Tiro
DALAM catatan sejarah Aceh, Teungku Hasan Tiro adalah salah satu tokoh politik Aceh terakhir setelah Allahuyarham Teungku Muhammad Daud Beureueh. Sejak tahun 1985 dia hidup dan tinggal di perkampungan Aceh di Kota Nodsborg, 20 km di selatan Stockholm Swedia. Teungku Hasan Di Tiro bernama lengkap Hasan Bin Leube Muhammad dilahirkan pada 25 September 1925 di Kampung Tanjong Bungong, Lamlo, Kecamatan Kota Bakti Kabupaten Pidie.

Ayahnya bernama Leube (lebai) Muhammad dan Ibundanya bernama Pocut Fatimah Binti Mahyiddin Binti Teungku Syekh Muhammad Saman Binti Syeikh Teungku Abdullah. Secara silsilah keluarga, hubungan Teungku Hasan dan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman hanya berdasarkan dari garis keturunan sebelah pihak perempuan saja, maksudnya Teungku Hasan Tiro masih sebagai cucu daripada Teungku Chik Di Tiro, walaupun dari keturunan ibundanya.

Teungku Chik Di Tiro berasal dari keluarga ulama Tiro dan juga  keluarga pejuang, sehingga darah ulama dan darah pejuang menjadi turun temurun kepada anak-anak bahkan hingga ke anak cucunya sekalipun. Sebenarnya agamalah yang sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan keluarga Teungku Chik Di Tiro hingga dapat  menyebarkan semangat jihad bukan hanya pada keluarganya saja, akan tetapi sanggup membangun sebuah prinsip umum tentang pentingnya jihad untuk menegakkan kebenaran. Sehingga C. Snouck Hurgronje dalam bukunya, “The Acehnese”, menyatakan bahwa Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman adalah sebagai seorang pemimpin perang suci  (holy war) hingga akhir hayatnya, seorang pemimpin besar Aceh, dan bahkan seorang pemimpin ulama pembaharuan.

Bagaimanapun juga keluarga di Tiro disamping sebagai ulama juga sebagai pejuang Aceh. Mereka sangat berperan dalam perjuangan melawan Belanda. Dari Teungku Syik Muhammad Saman sampai anaknya yang terakhir Teungku Muaz (Syahid 3 Desember 1911) terus menerus berjuang di jalan Allah. Atas dasar semangat inilah sangat wajar kalau “Wali Nanggroe” Teungku Hasan Tiro menyebut dirinya sebagai turunan pejuang dari keluarga Tiro dengan mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka 4 Desember 1976 sebagai kelanjutan perjuangan setelah vakum selama 65 tahun.

Syahdan, Teungku Hasan Tiro sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak tokoh-tokoh politik dan sahabat karibnya bahwa Hasan Tiro adalah seorang yang mempunyai otak cemerlang karenanya setelah selesai pendidikan di Amerika tingkat S3 (doktor) dia menjadi pegawai tetap di Kementerian Penerangan Indonesia di PBB.

Menurut Cornelis Van Dijk, seorang pakar sejarah asal Rotterdam, Belanda, dan dia juga merupakan seorang peneliti di sebuah pustaka yang menyimpan seluruh dokumentasi kehidupan rakyat Indonesia masa penjajahan yaitu KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde) dan peneliti pada Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies, sejak 1968.

Dia berpendapat bahwa Teungku Hasan Tiro sebagai seorang yang mempunyai daya intelektual yang tinggi, berpendidikan yang baik, dan mempunyai kombinasi ilmu politik dan hukum yang jarang terdapat pada kebanyakan orang. Di samping kecemerlangan otaknya, Teungku Hasan Tiro juga punya sifat kemandirian yang tinggi. Sifat khusus yang dimiliki Teungku Hasan Tiro pernah disinggung oleh seorang kolumnis Richard C. Paddock dalam harian Los Anggeles Times (30 Juni 2003), dia menulis akan kekaguman terhadap Teungku Hasan Di Tiro dengan kekhususan sifat yang dimilikinya. Berjuang di hutan belantara Aceh dan meninggalkan kemewahan hidup yang sudah didapatkannya di New York, AS.

Dalam buku yang ditulis Teungku Hasan Tiro 1981 “The Price of Freedom: The Unfinished Diary”. Buku ini memaktubkan kisah hariannya ketika berada di Aceh dari 4 September 1976 hingga 29 Maret 1979. Buku ini penuh dengan semangat hidup yang tak pernah pudar dari Teungku Hasan Di Tiro. Dalam pengantar buku itu dia menulis: “Saya punya istri yang cantik dan seorang bocah kecil yang sangat tampan. Saya juga sedang memasuki tahap tersukses dalam bisnis. Saya punya kontrak bisnis dengan para pengusaha dunia dan telah masuk dalam lingkaran pemerintahan dunia, seperti AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara kecuali Indonesia. Dari catatan itu seolah-olah beliau menggambarkan bahwa demi “tanoh endatu” dia rela mengorbankan itu semua.

Disamping itu buku setebal 226 halaman ini menulis beberapa catatan sejarah bahwa Indonesia merupakan satu wilayah di permukaan bumi ini yang panjangnya sama antara Moskow dan Lisabon, dan lebarnya sama antara Roma dan Oslo dengan penduduk lebih dari 185 juta jiwa, yang terdiri dari berbagai bangsa, bahasa, budaya yang sama banyaknya seperti terdapat di benua Eropa, yang luasnya sama dengan wilayah di peta dunia yang disebut Indonesia itu. Maka sangat bodoh, bila kita berbicara perkara “Nasionalisme Eropa”, demikian juga dengan “Nasionalisme Indonesia” yang keberadaannya yang tidak pernah mengerti tentang sejarah, budaya dan geopolitik dari dunia Melayu.

Namun yang menarik dalam beberapa catatan tentang Teungku Hasan Tiro adalah--Untuk “membebaskan Aceh”--dia rela meninggalkan keluarganya dan segala kemewahan hidup. Teungku Hasan Tiro juga mengakui dalam bukunya tersebut bahwa hal yang sangat berat dalam hidupnya adalah ketika harus meninggalkan keluarga yang sangat dicintainya. Dia meninggalkan bocah semata wayang yang saat itu baru berusia 6 tahun.

Teungku Hasan Tiro sempat mencatat lagi “saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri.” (The Price of Freedom:The Unifinished of Diary (1981) h. 140).

Teungku Hasan Tiro telah pulang ke “tanoh endatu” untuk kedua kalinya setelah Oktober 2008 lalu. Kepulangan kali ini sebenarnya hanya untuk tujuan bersilaturrahmi dengan seluruh masyarakat Aceh karena selama puluhan tahun beliau mengasingkan diri di luar negeri dan sekaligus ingin melihat hasil perjuangan yang telah lama dirintisnya. Nampaknya perjuangan “Wali Nanggroe” selama 30 tahun telah berbuah hasil dengan lahirnya MoU Helsinki dan peraturan organik UUPA 2006. Namun yang sangat ironi cita-cita perjuangan “Wali” untuk memakmurkan rakyat belum sepenuhnya tercapai, kemakmuran itu baru dirasakan oleh “segelintir” orang saja yang punya andil dalam perjuangan dan kaum oportunis--kelompok ini kata endatu adalah “yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”.

Kini sang “Deklarator GAM” sedang terbaring sakit di RSU-ZA Banda Aceh. Sebagai muslim mari sama-sama berdoa, semoga Allah Swt menyembuhkan penyakit saudara kita. Ya Jabir Kullu Maksur, Wahai penyembuh segala kesakitan, berikan kesehatan kembali kepada orang tua kami Teungku Hasan Muhammad Di Tiro. Amien.

* DR. Munawar A. Djalil, MA adalah Penulis Buku Hasan Tiro Berontak; Antara Alasan Historis, Yuridis dan Realitas Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar