Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Sabtu, 18 Juni 2011

Kontroversi Hukum Pernikahan dengan Wanita Hamil Zina

Sesuai dengan nubuat (berita masa depan) Nabi Muhammad  dalam sebuah hadistnya bahwa kiamat tak akan terjadi sebelum manusia banyak melakukan peribuatan sex  bebas dijalan- jalan (Sifaah) bagaikan hewan- hewanpun melakukannya. Bukti  ramalan ini kian hari kian tampak nyata dan kian menggejala dimana akhir- akhir ini mulai banyak terjadi wanita- wanita (gadis) yang terpaksa di nikah kan  dengan seorang priya gara- gara si wanita sudah hamil akibat mereka telah melakukan sex bebas alias zina.
Dasar- dasar hukum
Hukum menikah dengan wanita yang sedang hamil zina, oleh para ulama  amat diperselisihkan
Dasar- dasar perselisihan tersebut adalah dalam meng interpretasikan beberapa dalil dibawah ini yang dipersepsikan beda oleh para Fuqohaa’, diantaranya:
1.       Firman Allah :
ﺍﻟﺯﺍﻧﻲ ﻻ ﻴﻨﻜﺢ إﻻ ﺯﺍﻧﻴﺔ أﻮﻤﺸﺭﻛﺔ ﻮﺍﻟﺯﺍﻧﻴﺔ ﻻ ﻴﻧﻜﺣﻬﺎ ﺇﻻ ﺯﺍﻧﻰ ﺃﻮﻤﺸﺮﻚ ﻮﺣﺮﻢ ﺫﺍﻟﻚ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺅﻤﻧﯿﻥ
“Az- Zaanii laa yankihu illaa zaaniyatan au musyrikah, Wazzaaniyatu laa yankihuhaa ilaa zaanin au musyrik. Wa hurrima dzaalika alal mu’miniin”.  (An- Nuur 2).
Artinya:
Para penzina laki- laki itu tidak (boleh) kawin kecuali dengan penzina wanita atau para wanita musyrik, dan para penzina wanita itu tidak (boleh) nikah kecuali dengan penzina laki- laki atau laki- laki musyrik. Dan diharomkan semuanya itu bagi orang- orang mu’min.
2.       Firman Allah:
ﺍﻟﺨﺑﯿﺜﺖ ﻟﻟﺨﺑﯿﺜﯿﻥ ﻭﺍﻟﺨﺑﯿﺜﻮﻥ ﻟﻟﺨﺑﯿﺜﺖ…………..
” Al- Khobiitsaatu lil khobiitsiina wal Khobiitsuuna lil khobiitsaat….” (An- Nur 26).
Artinya:
Wanita- wanita tak bermoral  itu pasangannya adalah laki- laki tak bermoral, sebaliknya laki- laki tak bermoral itu pasangannya adalah para wanita tak bermoral………
3.       Firman Allah:
ﻮﺃﻧﻜﺢ ﺍﻷﯿﺎﻤﻰ ﻤﻨﻜﻡ ﻮﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻤﻦ ﻋﺑﺎﺪﻛﻡ ﻮﺇﻤﺎﺌﻛﻡ………
“Wa ankihul ayaamaa minkum was shoolihiina min ibaadikum wa imaa’ikum …”
(Q.S.An-Nur 32).
Artinya:
“Dan Nikahkanlah orang- orang yang sendirian  dari kamu sekalian  dan  hamba- hamba sahaya  priya  kalian yang sholih- sholih  dan (juga) sahaya- sahaya  wanita kalian…
4.       Hadist Nabi: Man kaana yu’minu billaahi wal yaumil Aakhiri falaa yasqi maa- ahuu zar’a ghoirihi.
ﻤﻦ ﻜﺎﻥ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ ﻮﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﺧﺭ ﻔﻼ ﻴﺴﻖ ﻤﺎﺌﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
Barang siapa ber-iman kepada Allah dan Rasulnya, maka janganlah  ia “mengairi dengan air (mani) nya pada tanaman (janin) orang lain.
Yusuf bin Ismail Al- Nabhani Al- Fath al- Kabir (Dar Al- Arqom, Beirut).
5.       Hadist yang semakna: La yahillu li- imri-in yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri an yasqiya maa-ahuu zar’a ghoirihii.
ﻻ ﻴﺤﻞ ﻹﻤﺮﺉ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻷﺨﺭ ﺃﻦ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺋﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
“Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk mengairi (dengan   air mani) , tanaman (janin)  orang lain”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
6.       An A’isyah  RA. Qoolat:  Su-ila Rasuululloh SAW an rojulin zanaa bi imro-atin wa arooda an yatazawwajahaa. Faqoola:
ﺃﻭﻠﻪ ﺴﻔﺎﺡ ﻭﺃﺨﺭﻩ ﻧﻜﺎﺡ. ﻭﺍﻠﺤﺮﺍﻡ ﻻﻴﺤﺮﻡ ﺍﻠﺤﻼﻞ
“Awwaluhuu sifaahun wa- aakhiruhuu nikaahun. Wal haroomu laa yuhrimu al- halaala”. Akhrojahuu At- Thobroniy  wa  Ad- Daaruquthniy.
Artinya:
Dari A’isyah RA, Rasululloh ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang wanita dan dia bermaksud menikahinya. Maka Rasululloh menjawab: ” Awalnya adalah  kumpul kebo (SIFAAH) dan akhirnya adalah sebuah pernikahan. Sesungguhnya  perbuatan harom itu tidak dapat menghalangi  terjadinya (pernikahan) yang halal”. H.R.At- Thobarony dan Ad- Daaruquthniy.
Menurut hadist ini Rasulullah pernah memberi izin pernikahan wanita hamil zina walaupun tentu saja  HUKUM HAD nya tetap berlaku.
7.       ‘An Abi Hurairoh RA, Qoola Rasuululloh SAW:
ﺍﻠﻭﻠﺪ ﻠﻠﻔﺮﺍﺶ  ﻭﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ
“Al- Waladu lil firoosyi wa lil ‘aahiri al- hajaru. As- Shon’ani, Subulus Salam III/210.
Artinya:
Dari Abi Hurairoh RA, Rasululloh bersabda: “Anak itu (dinasabkan) kepada Suami ibunya, sedang si penzina harus dihukum (dera/ rajam)”. Lihat Subulus Salam III/ 210.
8.       Dll.
Boleh atau tidakkah menikahkan wanita yang sedang hamil zina?
Jumhur Ulama kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat
Imam  Abu Hanifah, Syafi’I,  Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri, dll.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal  mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain.
Adapun Abu Hanifah dan dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun me           reka melarang persenggamaan antara suami  istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.
Sedang  As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan.  Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan:  hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir)  berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) Indonesia.
Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:
# Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas  segala pengasuhan dan
pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
# Si pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala
Perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat  dan dilindungi hukum.
# Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan  keluarga besarnya dan menutupnya
dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut, maka:
K.H.I  (Kompilasi Hukum Islam) Indonesia menetapkan KEABSAHAN pernikahan antara
seorang laki- laki dengan  wanita YANG TELAH HAMIL ZINA, dan menuangkannya pada BAB
VIII pasal 53 ayat 1 ~ 3  demikian:
1.       Seseorang wanita hamil  diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Status anak dari HAMIL ZINA
Adapun anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
1.       Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH  setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini  ibunya itu.
2.       Bila anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah KEPADA IBUNYA.
Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid
Al- Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari  =
6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing
dari Surat Al- Ahqoof 15 dan Surat Luqman ayat 14.
ﻮﺤﻤﻠﻪ ﻭﻔﺼﺎﻟﻪ ﺜﻼﺜﻮﻦ ﺸﻬﺮﺍ ………(ﺍﻷﺤﻘﺎﻒ١٥)
ﻮﻔﺼﺎﻟﻪ ﻔﻰ ﻋﺎﻤﻴﻦ ……………………(ﻟﻗﻤﻦ١٤)
Menurut Surat Al- Ahqoof 15, waktu mengandung dan menyapih = 30 bulan
Menurtut Luqman 14, waktu menyapih itu =…………………………………= 24 bulan
Jadi waktu hamil minimal = …………………………………………………………….=  6 bulan
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari
PERNIKAHAN, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.
Catatan penting:
Maka pada kasus no. 2 , yakni jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh  Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
Namun demikian ada beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa kepada keputusan Nabi  seperti kasus persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti apa  yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki, dimana Nabi dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA  MELIHAT  UMUR  KEHAMILAN) adalah  anak SUAMINYA  YANG SAH, SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut diatas  dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
ﺍﻟﻮﻠﺪ ﻟﻟﻔﺮﺍﺶ ﻮﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ  . ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻻ ﺍﻟﺗﺮﻤﺬﻱ
“Anak itu dinasabkan kepada  SUAMI  IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia harus dihukum (dera/rajam)”. Hadist riwayat Jama’ah  ahli hadist terkecuali Turmudzi.
Wallohu A’lam.
Disarikan dari: “Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil”,karya: Dr. Mulkhlisin Muzarie, Ro’is Aam Tanfidhiyyah DPP Jama’ah Rifa’iyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar