Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Kamis, 28 April 2011

Perjalanan hidup hasan tiro

Berita Lampung Sejarah dan Perjalan Hidup Hasan Tiro Deklarator Gerakan Aceh Merdeka : Wafatnya Hasan Tiro ini tentu saja meninggalkan duka yang mendalam bagi rakyat Aceh. Pria yang disapa rakyat Aceh sebagai “Paduka yang Mulia” ini memang sangat dielu-elukan. Wali Nanggroe Aceh yang lahir pada 25 September 1925 itu akan dimakamkan di samping kuburan Teungku Cik Di Tiro di Desa Murue, Indrapuri, Aceh Besar. Leluhurnya yang tercatat sebagai salah seorang pahlawan nasional.

Kecintaan rakyat Aceh itu juga terlihat saat dia pulang ke Aceh pada Oktober 2008. Massa membludak memadati Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Mereka datang dengan truk dan puluhan mobil. Banda Aceh yang tak pernah macet, hari itu mendadak menjadi kota yang macet total. Datang dari berbagai penjuru Aceh, mereka menyambut kedatangan tokoh yang disapa ”Paduka yang Mulia Wali” itu.

Maklum, Hasan sudah meninggalkan Aceh sejak 1979. Ini empat tahun setelah
Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka dan membentuk Angkatan Gerakan Aceh Merdeka di pegunungan Pidie. Hasan memperjuangkan ketertindasan rakyat Aceh dari pemerintahan Pusat pada masa lalu. Dia bercita-cita Aceh menjadi negara yang makmur dan rakyatnya bebas dari kesewenang-wenangan.

Dalam memperjuangkan nasib rakyat Aceh, Hasan sangat jelas sikapnya. Bahkan pada suatu kesempatan, dia pernah mengatakan sanggup berjuang untuk Aceh walau hanya dengan kekuatan tujuh pemuda saja. Sejak mendirikan GAM, Hasan lebih banyak bermukim di pegunungan bersama sejumlah pengikut setianya, seperti Dr. Muchtar, Zaini Abdullah, Husaini Hassan, dan Daoed Paneuek. Maklum mereka menjadi buronan TNI, dituduh sebagai separatis.

Bermodalkan senjata api tua sisa-sisa perjuangan Daoed Beureu-eh (tokoh DI/TII di Aceh), Hasan dan pendukung setianya di Aceh menghadapi TNI yang waktu itu sudah dilengkapi senjata yang modern. Suatu ketika ketika mereka sedang bersembunyi di pegunungan kawasan Aceh Utara, mereka telah terkepung pasukan TNI.

Di puncak bukit, Fauzi Hasbi Gedong, yang waktu itu adalah salah seorang panglima GAM, sedang membersihkan senjata tuanya. Tiba-tiba senjatanya meletus dengan sendirinya, dan letusan ini mengejutkan pasukan TNI yang sedang merayap hendak mengepung mereka. Tembakan balasan pun terdengar, dan kelompok Hasan pun lolos dari kepungan pasukan TNI.

Belakangan Hasan mengungsi ke Swedia, dan membangun kekuatan GAM dari sana. Merekrut pemuda-pemuda Aceh untuk berjuang bersamanya dan melatihnya di Lybia. Lalu diterjunkan ke Aceh untuk menghadapi TNI. Kendati cukup banyak yang ditangkap, namun semangat GAM tak pernah surut. Sehingga waktu itu sampai-sampai disebarkan berita bahwa Hasan Tiro telah meninggal pada 1990-an. Dua kali, Hasan Tiro diisukan meninggal. Rupanya ini hanya trik untuk merontokkan semangat GAM. Namun upaya ini juga gagal.

Dalam perjalanannya, banyak perkembangan yang terjadi di tubuh GAM. Di antara ada tokoh-tokoh GAM yang membelot dan membantu TNI, seperti Fauzi Hasbi Gedong dan Arjuna (mantan Panglima Muda GAM). Di luar negeri, GAM juga terbelah. Husaini Hassan kemudian keluar dari GAM dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM di Swedia pada 1998. Uniknya mereka yang sudah terpecah-pecah ini tetap menempatkan Hasan Tiro sebagai simbol perjuangannya.

Fauzi Hasbi Gedung yang sudah membelot lebih dulu punya banyak kisah tentang Hasan Tiro. Fauzi yang setelah membantu TNI sedang menyebarkan rasa benci untuk Hasan Tiro, sangat menghormati dan mengagumi Hasan Tiro. Begitu juga pada Arjuna yang juga terlibat dalam upaya menghentikan gerakan pejuang GAM, ternyata mengidolakan sosok Hasan Tiro.

Pertanyaan serupa sempat saya tanyakan pada Husaini Hassan yang hingga kini masih bermukim di Swedia. Dia sangat percaya pada gerakan yang dibangun Hasan Tiro. Bahkan dalam Majelis Pemerintahan GAM yang didirikannya itu, dia menempatkan Hasan Tiro pada sebagai pemimpin mereka.

Mereka tersinggung berat jika kita menyampaikan informasi negatif tentang Hasan Tiro. Mereka tak peduli apakah informasi itu benar atau salah, asalkan bercerita buruk tentang sang tokoh maka nyawa bisa melayang. Bagi mereka, Hasan Tiro adalah kebenaran mutlak dan penempatannya pun sebagai Paduka yang Mulia.

Dan perdamaian Helsinki pada Agustus 2005 juga terwujud sebab Hasan Tiro mengangguk setuju. Setelah perdamaian, rakyat Aceh pun semakin terbuka bersimpati kepada GAM yang dipimpin Hasan Tiro ini. Bahkan mereka memilih Irwandi Yusuf dan M. Nazar untuk memimpin Aceh juga disebabkan bendera GAM, dan itu adalah Hasan Tiro. Memilih pasangan ini, ibarat kata rakyat Aceh sebenarnya memilih simbolnya yaitu Hasan Tiro.

Said Fuad Zakaria, tokoh Golkar Aceh yang kini adalah Anggota DPR-RI juga kagum pada sosok Hasan Tiro. “Ini seorang tokoh perjuangan nyang sangat dicintai rakyat Aceh. Dia seorang demokrat sejati, peran perdamaian Aceh berada pada Hasan Tiro. Kalau bukan karena Hasan Tiro, tak mungkin ada damai di Aceh,” katanya saat berbincang dengan saya. “Hasan Tiro adalah pahlawan perdamaian Aceh. Adalah tugas kita bagaimana mengisi perdamaian ini agar Aceh menjadi makmur seperti yang dicita-citakan Hasan Tiro.” (sumber Tempointeraktif.com)

4Share

Jumat, 22 April 2011

Memperkuat akar kebudayaan aceh



Adat ngon hukom lage sifet ngon wujud, inilah salah satu hadih maja (perkataan orang tua) yang dapat dipahami adat dan hukum (syara’) sangat terkait antara sesamanya. Tanpa hukum tidak akan ada aturan untuk adat dan sebaliknya tidak ada adat maka tidak ada sarana untuk menjalankan hukum.

Apabila kita menelaah hadih maja di atas maka dapat kita simpulkan bahwa adat yang dipegang oleh masyarakat Aceh haruslah berdasarkan syari’at Islam, karena adat bak teumoreuhom hukom bak Syiah kuala. Syiah kuala yang dimaksud disini adalah seorang ulama termasyur pada masa kerajaan Aceh yaitu Abdurrauf As-Singkili.

Namun fenomena yang kita perhatikan di masyarakat kita saat ini sepertinya belum mencerminkan akan hal tersebut diatas. Banyak nilai-nilai dan budaya yang telah mengalami pergeseran nilai. Banyak hal-hal yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat Aceh telah menjadi hal yang lumrah dan diterima oleh masyarakat. Hal ini adalah hasil dari tidak terbendungnya pengaruh nilai-nilai yang datang dari luar Indonesia khususnya di luar Aceh.

Akses informasi yang dapat diakses dan mudah menjadi belati bermata dua yang disatu sisi memberikan pengaruh sangat positif terhadap perkembangan peradaban sedangkan disisi lain juga memberikan efek negatif yang sangat buruk terhadap nilai-nilai kebudayaan yang telah lama dianut oleh masyarakat Aceh. Informasi-informasi yang diterima tidak mampu disaring secara sempurna oleh masyarakat Aceh karena kita tidak mempunyai latar belakang ilmu dan budaya yang kuat yang seharusnya telah tertanam didalam diri setiap masyarakat Aceh.

Kita lebih menjaga dan merasa bangga dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa lain dibandingkan dengan nilai budaya kita sendiri. Inilah yang disebut dengan Cultural Imperialism yaitu mengadopsi budaya, nilai-nilai dari bangsa atau komunitas lain baik secara terpaksa ataupun dengan keinginan individual masing-masing.

Zaman penjajahan Belanda dan Jepang adalah salah satu bentuk dari cultural imperialism misalnya dengan membatasi pada orang-orang tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan yang bagus dan membatasi pengajaran ajaran-ajaran Islam kepada seluruh masyarakat pada saat itu. Selain itu juga pendudukan Belanda yang cukup lama di Aceh juga secara tidak langsung telah mendukung proses pentransferan budaya eropa ke budaya lokal.

Namun Cultural Imperialism tidaklah selalu bermakna negatif karena setiap bangsa atau komunitas pasti memiliki sisi negatif dan positif masing. Tapi pada kenyataannya, nilai-nilai yang sering diadopsi adalah nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan setempat sedangkan nilai-nilai positif ditinggalkan bahkan diabaikan begitu saja.

Sebagai contoh pada remaja, budaya merayakan hari-hari peringatan seperti Valentine tidaklah datang dari budaya lokal, tetapi berasal dari bangsa-bangsa barat yang pada awalnya mereka peringati untuk mengenang salah seorang pastur yang melawan kebijakan raja pada masanya. Budaya yang diadopsi ini tidaklah sesuai dengan budaya masyarakat yang Aceh yang notabene adalah budaya Islam. Seharusnya nilai positif yang seharusnya diadopsi adalah sikap menghargai sesama atau waktu. Tapi nilai inilah yang sangat sulit diadopi oleh masyarakat Aceh.

Contoh lainnya dari pergeseran pola pikir yang telah hadir dalam masyarakat Aceh adalah sudah kurangnya kesadaran anak-anak, pemuda, bahkan orang tua dalam hal pendidikan agama. Orang tua akan membayar sebesar apapun biaya yang harus dihabiskan untuk pendidikan keduniawian anak-anaknya, namun kemudian ragu ketika harus membayar untuk pendidikan keakhiratannya yang mengakibatkan kurangnya wawasan keilmuan agama yang dimiliki oleh masyarakat kita saat ini.

Keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam menjaga budaya dan adat istiadat agar tidak mengalami degradasi sangatlah penting. Arus informasi yang tak terbendung dan kurang siapnya masyarakat menerima dan menyaring informasi tersebut menjadi salah satu faktor yang penting yang terjadinya efek samping cultural imperialism. Oleh karena itu, penguatan-penguatan nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat sangat diperlukan dan harus didukung oleh semua pihak.

Pengadaan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung kuatnya akar kebudayaan Aceh sangat penting untuk dilaksanakan. Sehingga sekencang apapun arus globalisasi yang menghantam masyarakat Aceh, kita sudah mempersiapkan diri kita dan masa keemasan Aceh yang dulu pernah diraih pada masa Iskandar Muda akan datang kembali.

Obsesi hotel bersyari'at



OPINI :: Murizal Hamzah

"Hotel ini tidak menerima pasangan yang bukan suami istri sah. Silakan berbicara/bertemu lawan jenis di lobi hotel." Dua penggal kalimat ini terpampang jelas di beberapa hotel di Jakarta. Mungkin hal serupa juga dilakukan oleh manajemen hotel yang mencari makan di Aceh.

Masih ada persepsi yang kurang baik terhadap hotel. Sebut saja, hotel tempat berbagai maksiat atau mesum. Padahal melakukan maksiat bisa di mana-mana jika niat dan kesempatan sudah tersaji. Hal itu terbentuk dari pengamatan dan pemikiran yang boleh jadi keliru dengan apa yang disaksikan dan apa yang dipikirkan. Kaum ibu-ibu di Aceh sangat khawatir jika suaminya ke Medan, Sumatera Utara dan menginap di hotel X. Sebaliknya lega jika suami merapat di hotel Z yang selama ini diakui hotel yang baik-baik alias memproteksi diri dari segala unsur maksiat.

Obsesi hotel yang seirama dengan misi syariat Islam sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Dalam arti kata, tanpa perlu embel-embel nama hotel syariat, apa yang dilakukan oleh manajemen beberapa hotel di Jakarta adalah penerapan syariat Islam. Di ibu kota negara, adzan di hotel akan selalu bergaung setiap waktu shalat. Adakah hotel di Serambi Mekkah yang melakukan hal demikian?

Demo beberapa organisasi masyarakat di Banda Aceh beberapa waktu silam terhadap hotel berbintang memberi isyarat masih ada hal terselubung. Hotel itu dituding mengadakan kegiatan yang melanggar syariat Islam. Untuk ini, perlu dibangun dialog terkait hal-hal apa saja yang boleh dan tidak digelar di Aceh. Kemungkinan besar demo ini berkaitan dengan acara yang diadakan oleh hotel tersebut menyambut tahun baru.

Ada tiga hal yang bisa dicermati dari demo terhadap hotel beberapa waktu lalu, yakni manajemen hotel membuka diri untuk berdiskusi dengan kalangan ulama atau tokoh masyarakat. Sering kali asal tuding atau dugaan itu karena tidak terbangun komunikasi. Jika manajemen hotel menyediakan bir atau minuman keras, maka itu dikomsumsi untuk non muslim. Hal ini telah dilakukan oleh sebuah wisma di Sabang yang secara terang-terangan menolak permintaan bir dengan alasan pembeli beragama Islam serta meminta buku nikah kepada tamu yang berlainan jenis. Artinya, pihak hotel secara istiqamah menjalankan peraturan yang disodorkan oleh umara alias pemerintah.

Paramater kedua, pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan-peraturan untuk operasional sebuah hotel serta pernak-perniknya. Perlu disosialisasikan hak-hak alias "kekebalan" manajemen hotel yang tidak bisa diganggu oleh pihak lain. Sebut saja, mereka tetap bisa buka restoran pada siang hari untuk tamu hotel atau untuk para musafir.

Ketiga, kalangan warga yang diharapkan memahami mekanisme operasional sebuah hotel. Jika kalangan hotel telah memiliki izin dari aparat terkait, maka secara hukum manajemen hotel sah mengadakan kegiatan yang diyakini tidak bertentangan dengan hukum negara serta normal. Semua warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku. Bukan pada keinginan atau perasaan warga atau pejabat.

Jika ada keinginan untuk mengubah dunia, maka jangan langsung dunia yang diubah . Itu tidak pernah terwujud. Kerjakan dari hal-hal terkecil yang bisa dilakukan tanpa perlu menunggu perintah dari atas. Mulailah dari diri sendiri. Misal beri contoh dengan tidak menghadiri acara-acara yang berpotensi menjerat ke lembah nista. Kemudian kerjakan perubahan di lingkungan keluarga, tempat kerja, dusun, gampong, mukim dan seterusnya.

Plus minus film aceh



Perfilman Aceh sedang berkembang. Masyarakat kita memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap kehadiran film Aceh. Tidak mengherankan bila kehadiran sebagian film begitu dinantikan oleh masyarakat Aceh.

Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, tentunya kita patut berbangga hati dengan perkembangan ini. Di tengah gempuran film-film luar, holywood, bolywood, mandarin, kartun dan lain sebagainya yang banyak bertemakan romatisme, kekerasan, dan perselingkuhan. Kiranya film Aceh dapat memperkenalkan sisi yang lebih manusiawi.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, apakah film Aceh sudah mewakili masyarakat kita yang bersyariat? Ataupun film Aceh sudah dipergunakan sebagai media untuk melestarikan adat budaya rakyat Aceh? Jika merujuk dari beberapa film yang sudah beredar dalam masyarakat dan sangat dikenal luas oleh semua usia. Ada sedikit keraguan tentang hal tersebut. Pertama, Dari segi pakaian, seharusnya sebagai daerah syari’at Islam sudah selayaknya artis perempuan menggunakan pakaian yang menutup aurat dengan sempurna. Pakaian yang sesuai aturan syar’i akan menjadi contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Artis-artis pemeran utama tidak menutup aurat dengan sempurna. Pada umumnya mareka hanya memakai selendang untuk menutup kepala, sedang sebagian poni menjuntai keluar. Di sebagian film malah tidak memakai jilbab sama sekali karena terlalu bangga dengan rambut hitam berkilau. Padahal dalam al-Qur’an sudah sangat jelas disebutkan dalam surat an-Nuur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan balig.

Perintah yang dijelaskan dalam al-Qur’an harus dipahami sebagai kewajiban ”menutup” aurat bukannya membungkus aurat. Dewasa ini banyak kita saksikan saudara-saudara kita yang muslim membungkus auratnya dengan cara memakai baju ketat. Sehingga sesuatu yang ada dibalik pakaian berbentuk dengan sempurna.

Kedua, bahasa. Artis-artis yang mendapatkan peran utama dalam film Aceh yang asal usul keturunannya seratus persen dari Aceh sering menggunakan bahasa Aceh yang ”berlepotan”(baca: Tilo), layaknya bahasa orang tak bisa ngomong Aceh. Jika demikian adanya, keaslian bahasa Aceh akan hilang dikikis zaman. Ada kalanya kita harus belajar dari saudara kita di luar Aceh, yang tanpa malu dan segan menggunakan logat asli mareka dengan bangga.

Ketiga, tema yang digunakan tidak jauh dari masalah kisah percintaan kaum muda, kekerasan dan sejenisnya. Tema-tema tersebut menjadi trend dalam dunia ferfilman nasional maupun internasional. Sedikit sekali yang mengambil tema pendidikan atau tema yang memberi pencerahan dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan film Aceh tetap mengandalkan tema tersebut. Daya jual film Aceh untuk menarik minat masyarakat hanya pada kelucuan atau kekonyolon para artisnya. Kadang-kadang tidak sedikitpun menyampaikan pesan moral untuk penonton. Jika demikian adanya, film-film Aceh tidak akan bertahan lama.

Masyarakat berharap kehadiran film Aceh bisa membawa pesan moral untuk generasi muda Aceh, menjadi wadah pelestariaan kebudayaan Aceh, menjadi media untuk berdakwah. Bukan sebaliknya hanya sebagai bahan lawakan hanya sekedar memuaskan masyarakat yang haus hiburan. Nilai-nilai syari’at selalu menyertai setiap gerak langkah dalam berkerja. Dalam sebuah ceramah seorang da’i berpesan kepada pendengar bahwa ketika kita bekerja jangan tinggalkan Islam kita dirumah dan di kunci rapat dalam lemari, tapi harus kita bawa kemana saja kaki melangkah. Dalam mencari penghidupan, kita boleh menjadi apa saja sesuai dengan cita-cita dan keinginan. Bekerja jadi seorang pegawai, jadilah pegawai Islami.

Jadi artis, jadilah artis yang Islami. Jadi tentara, jadilah tentara yang Islami. Jadi polisi, jadilah polisi yang Islami. Jadi politisi, jadilah politisi yang Islami. Jadi hakim, jadilah hakim yang Islami. Jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang Islami. Jadi pedagang, jadilah pedagang yang Islami. Jadi dokter, jadilah dokter yang Islami. Jadi guru, jadilah guru yang Islami. Intinya, apapun profesi yang kita jalani hari, tetap berpegang pada aturan yang telah digariskan oleh syari’at.

Sehingga tidak ada lagi kecurangan-kecurangan ditengah masyarakat, mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Semua akan berjalan dengan aman dan damai. Insya Allah, amin ya Rabbi.Fauziah Usman

Berzakat wujud sikap dermawan


Khatib Drs. Ridwan Qari

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui” (al-Taubah: 103).

Ayat tersebut menunjukkan kewajiban zakat. Yakni perintah dari Allah kepada Muhammad SAW yang juga berlaku kepada semua pemimpin atau penguasa muslim. Dalam hal ini, perintah untuk memungut zakat dari orang-orang Islam (muzakki) kemudian membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik).

Jadi ada kesan ”memaksa” dalam hal pemungutan zakat ini. Kita mengetahui, pada masa khalihaf Islam dipimpin oleh Abubakar ra, ada perang terhadap orang-orang yang ingkar berzakat.

Sebagai manusia yang sehat rohani dan jasmani tentu tidak seorangpun diantara kita yang sudi dipaksa dalam hal apapun termasuk dalam soal penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Kita sangat ingin merdeka dalam mengawal hati dan diri kita untuk taat kepada Allah SWT., sehingga dapat merasakan nikmatnya menjadi muslim, yakni orang yang berserah diri kepada Allah SWT dalam hidup dan matinya.

Untuk memenuhi pandangan ketidakterpaksaan ini, terkait dengan ayat di atas, ada tiga tujuan dari perintah mengeluarkan zakat dan secara akumulatif sebagai kunci sukses zakat, yaitu:

Pertama, berzakat itu mengagungkan Allah SWT. Allah Swt mengakui bahwa andil manusia dalam memperoleh kekayaan itu ada sehingga di dalam salah satu ayat tentang perintah berzakat secara eksplisit jelas disebutkan: ”Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu” (al-Baqarah: 267)

Akan tetapi hasil usaha manusia yang baik-baik itu tidak akan pernah ada tanpa adanya andil Allah SWT. Manusia tidak dapat mengingkari bahwa dalam hasil yang diperolehnya saham Allah adalah yang terbesar.

Kedua, berzakat menafikan tamak dan kikir. Kecintaan kepada harta benda dapat menimbulkan tamak dan kikir. Berzakat adalah wujud sikap dermawan; mau memberi. Saham manusia amatlah kecil dalam hasil usahanya dibandingkan saham Allah SWT. Saham yang terkecil itu justru diminta oleh Allah untuk-Nya dan Dia berikan saham-Nya yang besar untuk manusia. 1 ekor sapi untuk Allah dan 29 ekor ntuk manusia. 1 ekor kambing untuk Allah dan 39 ekor untuk manusia. 2,5 % emas untuk Allah dan 97,5 % untuk manusia. 5-10 % tanaman untuk Allah dan 90-95 % untuk manusia dan lain sebagainya.

Betapa tamak dan kikirnya seseorang jika 1 ekor atau 2,5 % atau 5-10 % dari harta kekayaannya yang merupakan saham pribadinya tidak sanggup diserahkan kepada Allah sementara 29 atau 39 ekor atau 97,5 % atau 90-95 % yang merupakan saham Allah swt juga dia miliki. Jika dalam jumlah kecilpun yang notabene sangat terbatas (zakat) tidak sanggup memberikannya apatah lagi dalam jumlah besar (infaq, sedekah) yang tidak tertentu jumlahnya.

Janganlah menjadi orang yang kikir atas nikmat Allah yang begitu besar dianugrahkan kepada kita. Kita tidak dapat menghitung banyaknya nikmat Allah kepada kita, baaanyak sekali. Orang yang kikir akan dihukum oleh Allah diakhirat nanti sebagimana digambarkan dalam firman-Nya: ”Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Milik Allah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan (Ali Imran: 180)

Ketiga, berzakat berarti membutuhkan bantuan orang lain. Keberhasilan seseorang tidak luput dari bantuan orang lain. Kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi oleh luasnya jaringan yang dimiliki. Presiden, gubernur, DPR, Rektor, Kontraktor, dokter, buruh dan profesi lainnya tidak terjadi dengan dirinya sendiri tanpa ada orang lain. Sebagaimana firman Allah: ”Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada kecuali dengan (bantuan) Allah dan dengan(bantuan) Manusia...(Ali Imran: 112)

Bantuan manusia yang banyak untuk keberhasilan kita wajib dikembalikan sebagaiannya melalui zakat, dengan prioritas sebagaimana firman-Nya: ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahu, Maha Bijaksana (al-Tawbah: 60)

Demikianlah khutbah yang singkat ini, marilah kita berzakat dengan memperhatikan tujuan kumulatif di atas agar kita terhindar dari fitnah dunia dan fitnah akhirat. Semoga bermanfaat bagi khatib dan majlis sekalian. Amin ya rabb al- ’alamiin.

Tujuan hidup muslim


KHUTBAH :: Drs. H. Azhari Basar
ADALAH sebuah kepastian bahwa pada satu saat, suka atau tidak suka, kita akan mati. Kematian itu mungkin akan kita hadapi dalam suasana normal, karena sakit atau sudah lanjut usia. Ada juga kematian menemui seseorang dalam keadaan yang tidak normal, umpamanya karena kecelakaan lalu lintas, tenggelam di laut, dicengkeram harimau, atau dibunuh.

Ajaran Islam menyatakan, kehadiran kita di alam fana ini adalah untuk mengabdi kepada Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Az-Zariat 56 :”Dan tidak Kami jadikan jin dan manusia kecuali untu mengabdi kepadaKu”. Ketahuilah bahwa pengabdian kepada Allah harus kita laksanakan dalam dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Dalam kata lain kita mengejar dua kebahagiaan, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Bagaimana kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat? Dalam hal ini Allah SWT menyatakan, kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi hanya dapat kita peroleh bila kita menjalin hubungan yang harmonis dengan Allah dan dengan manusia.”Senantiasa kamu akan ditimpa kehinaan di manapun kamu berada, kecuali (menjalin) hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.”(Q.S.Al-Baqarah: 61).

Hubungan dengan Allah tentu dapat kita laksanakan melalui ta’abbud kepada-Nya dengan melaksanakan segala amar-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan hubungan dengan manusia dilaksanakan dalam bentuk jalinan tali persaudaraan dan kasih sayang, saling tolong menolong dan tenggang rasa, membina persatuan, menghindari perpecahan, bersikap adil, saling memberi maaf dan sebagainya.

Ajaran Islam menyatakan, kehidupan manusia di dunia pada hakikatnya adalah untuk mencari dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Derajat manusia di akhirat nanti akan sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bekal yang dibawa dari dunia. Bekal adalah amal kebaikan yang dilakukan dalam hubungan dengan dua dimensi tadi, yaitu amal di dunia dan amal untuk negeri akhirat dan juga amal dalam hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Semakin banyak dan bagus bekalnya maka semakin tinggi pula derajat kemuliaannya.

Jika ingin mencapai kedudukan tinggi di tengah masyarakat, maka kita harus memiliki bekal ilmu dan ketrampilan yang cukup serta budi pekerti yang luhur. Sedangkan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia di akhirat, yang sangat diperlukan ialah ganjaran. Semakin banyak pahala yang dikumpulkan di dunia, maka semakin tinggi pula derajat kedudukan kita di akhirat kelak.

Dunia bagi kaum muslimin
Sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abdullah bin Abbas berkata :”Sesumgguhnya Allah SWT menjadikan dunia terdiri atas tiga bahagian. Sebahagian bagi mukmin, sebahagian bagi orang munafiq dan sebahagian lagi bagi kaum kafir. Orang mukmin menyiapkan perbekalan dalam bingkai ketaqwaan, orang munafiq menjadikannya sebagai perhiasan dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”

Allah SWT memberikan pahala bagi mukmin yang lulus dari ujian yang dihadapinya ketika dia hidup di dunia. Seseorang yang berhasil mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya maka pastilah tempatnya di syurga. Sedangkan orang yang durhaka, pastilah tempatnya dalam neraka. Firman Allah dalam Q.S.Al-Ankabut: 2, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja mengatakan “Kami telah beriman” sedangkan mereka tidak diuji lagi?”

Ujian yang sangat berat bagi kebanyakan orang berkaitan dengan harta dan jabatan. Harta yang banyak dan jabatan yang tinggi sering membuat seseorang terbius, lalai dan lupa kepada kewajibannya terhadap Allah serta lupa akan tujuan hidupnya di dunia ini. Harta yang seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah, ternyata digunakan untuk kemaksiatan, tidak mau membayar zakat, enggan melaksanakan qurban, lupa kepada kaum dhu’afa.

Semua fasilitas yang kita miliki di dunia ini hendaklah kita jadikan sarana untuk memudahkan kita memasuki gerbang taqwa, bukan gerbang noda dan dosa. Semakin banyak fasilitas hidup yang kita miliki, hendaknya semakin meningkat kualitas taqwa kita. Dengan memiliki banyak uang, memudahkan kita beramal bagi kemanusiaan, membayar zakat, menyembelih qurban, memberi makan anak yatim dan fakir miskin, membantu pembangunan rumah Allah dan memudahkan kita menunaikan ibadah haji dan umrah.

Inilah contoh kemurnian taqwa yang sangat mahal nilainya, yang dicatat oleh Allah dalam kitabnya di Luh Mahfudh, bahwa ada hamba-Nya yang menjadikan semua apa yang dia miliki menjadi sarana untuk meraih cinta kepada Allah dan mencapai derajat taqwa.

Hamba-Nya ini dengan penuh kesadaran melaksanakan firman Allah dalam Q.S. Al-Qashash : 77 : “Dan carilah pada apapun (fasilitas) yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu akan (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesunguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.

Pentingnya amalan hati




Bookmark
 and Share
Kebanyakan orang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan dzohir. Kita dapati sebagian orang benar-benar berusaha untuk bisa sholat sebagaimana sholatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka seluruh gerakan-gerakan sholat Nabi yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih berusaha untuk diterapkannya. Sungguh ini merupakan kenikmatan dan kebahagian bagi orang yang seperti ini. Bukankah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

صَلوُّا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلّي

"Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat"


Demikian juga perihalnya dengan haji, kebanyakan orang benar-benar berusaha untuk bisa berhaji sebagaimana haji Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

"Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku"


Akan tetapi…..

Ternyata banyak juga orang-orang yang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan yang dzohir –termasuk penulis sendiri- yang ternyata lalai dari amalan hati…

Sebagai bukti betapa banyak orang yang bisa jadi gerakan sholatnya seratus persen sama seperti gerakan sholat Nabi akan tetapi apakah mereka juga memberi perhatian besar terhadap kekhusyu'an dalam sholat mereka??

Bukankah Nabi bersabda

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرفُ؛ وَمَا كُتِبَ إِلا عُشُرُ صلاتِهِ، تُسُعُها، ثُمُنُها، سُبُعُها، سُدُسُها، خُمُسُها، رُبُعُها، ثلُثُها، نِصْفها

"Sesungguhnya seseorang selesai dari sholatnya dan tidaklah dicatat baginya dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya"
(HR bu Dawud no 761 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Al-Munaawi rahimahullah berkata

أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الأَشْخَاص بِحَسَبِ الْخُشُوْعِ وَالتَّدَبُّرِ وَنَحْوِهِ مِمَّا يَقْتَضِي الْكَمَالَ

"Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan orang-orang yang sholat berdasarkan kekhusyu'an dan tadabbur (bacaan sholat) dan yang semisalnya dari perkara-perkara yang mendatangkan kesempurnaan sholat"
(Faidhul Qodiir 2/422)

Bukankah khusyuk merupakan ruhnya sholat??. Bukankah Allah tidak memuji semua orang yang sholat, akan tetapi hanya memuji orang beriman yang khusyuk dalam sholatnya??

Allah berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya
(QS Al-Mukminun : 1-2)

Hal ini dengan jelas menunjukan akan pentingnya amalan hati. Oleh karananya Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata;

وَفِي الأَثَرِ أَنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكُوْنُ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

"Dalam sebuah atsar bahwasanya sungguh dua orang berada di satu saf sholat namun perbedaan antara nilai sholat keduanya sebagaimana antara timur dan barat"
(Minhaajus Sunnah 6/137)



Sungguh merupakan perkara yang menyedihkan… banyak diantara kita yang memiliki ilmu yang tinggi, melakukan amalan-amalan dzohir yang luar biasa… akan tetapi dalam masalah amalan hati maka sangatlah lemah. Ada diantara mereka yang sangat mudah marah… sangat tidak sabar…kurang tawakkal…, yang hal ini menunjukkan lemahnya iman terhadap taqdiir. Tatkala datang perkara yang genting maka terlihat dia seperti anak kecil yang tidak sabar dan mudah marah… menunjukan lemahnya amalan hatinya. Meskipun ilmunya tinggi…, meskipun amalannya banyak.. akan tetapi ia adalah orang awam dalam masalah hati. Bahkan bisa jadi banyak orang awam yang jauh lebih baik darinya dalam amalan hati.



Renungan…


Renungkanlah hadits berikut ini sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ

"Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliapun berkata : "Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga". Maka munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin 'Amr bin Al-'Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : "Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu selama tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, "Silahkan".

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya :

وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
"Abdullah bin 'Amr bin al-'Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : "Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali  : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga", lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?". Orang itu berkata : "Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat". Abdullah bertutur : "Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad  kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya". Abdullah berkata, "Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surge-pen), dan inilah yang tidak kami mampui" (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)

Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut. Padahal amalan hati yang ia lakukan –yaitu tidak dengki dan hasad- bukanlah amalan hati yang paling mulia, karena masih banyak amalan hati yang lebih mulia lagi seperti ikhlas, tawakkal, sabar, berhusnudzon kepada Allah, dan lain-lain. Namun demikian telah menjadikan sahabat ini menjadi penduduk surga. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya.

Hadits ini juga menunjukan bahwa amalan hati jauh lebih berat daripada amalan dzohir. Semua orang bisa saja puasa, semua orang bisa saja bangun sholat malam, semua orang bisa saja sholat sesuai sunnah Nabi, semua orang bisa saja berpakaian sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi… akan tetapi ..:

-         Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahayanya riyaa namun masih saja terlena dengan kenikmatan semu riyaa', bangga tatkala dipuji hingga kepala membesar hampir sebesar gunung…

-         Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahaya 'ujub, akan tetapi tetap saja bangga dengan amalan dan karya sendiri…

-         Betapa banyak diantara kita sudah menghapalkan sabda Nabi "Janganlah marah…", akan tetapi hati ini susah untuk bersabar dan menerima taqdir Allah yang memilukan…

-         Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui bahwasanya semua taqdir dan keputusan Allah adalah yang terbaik akan tetapi tetap saja bersuudzon kepada Allah…

-         Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui dengan ilmu yang tinggi bahwasanya Allahlah yang mengatur dan memutuskan segala sesuatu, akan tetapi tetap saja tawakkalnya kurang kepada Allah..

-         Dan seterusnya..



Besar Kecilnya Nilai Amalan Dzohir Bergantung Dengan Amalan Hati


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan"
(HR Al-Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)

Perhatikanlah…tahukah para pembaca yang budiman bahwasanya gunung Uhud panjangnya sekitar 7 km dan lebarnya 2 sampai 3 km, dengan ketinggian sekitar 350 meter?. Tentunya kalau ada emas seukuran ini maka beratnya tibuan ton tentunya. Kalau kita memiliki emas sebesar itu..., apakah kita akan menginfakkannya??

Lantas kenapa para sahabat mendapat kemuliaan yang luar biasa ini?, mengapa ganjaran amalan mereka sangat besar di sisi Allah??

Al-Baydhoowi berkata :

مَعْنَى الْحَديْثِ  لاَ يَنَالُ أَحَدُكُمْ بِإنْفَاق مِثْلِ أُحُدٍ ذَهَبًا منَ الْفَضْلِ وَالأَجْرِ مَا يَنَالُ أَحَدُهُمْ بِإِنْفَاق مُدِّ طَعَامٍ أَوْ نَصِيْفِهِ وَسَبَبُ التَّفَاوُت مَا يُقَارِنُ الأَفْضَلَ منْ مَزِيْدِ الإِخْلاَصِ وَصِدْقِ النِّيَّةِ

"Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar" (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 7/34)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فَإِنَّ الْأَعْمَالَ تَتَفَاضَلُ بِتَفَاضُلِ مَا في الْقُلُوْبِ مِنَ الإِيْمَانِ وَالْإِخْلاَصِ، وَإِنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكُوْنَ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاء وَالْأَرْضِ

"Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi"
(Minhaajus sunnah 6/136-137)

Beliau juga berkata,

أَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ يَعْظُمُ قَدْرُهَا وَيَصْغُرُ قَدْرُهَا بمَا في الْقُلُوْبِ، وَمَا فِي الْقُلُوْبِ يَتَفَاضَلُ لاَ يَعْرِفُ مَقَادِيْرَ مَا فِي الْقُلُوْبِ مِنَ الْإِيْمَانِ إِلاَّ اللهُ

"Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam hati-hati manusia kecuali Allah"
(Minhaajus Sunnah 6/137)

Oleh karenanya Allah berfirman

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS Al-Hajj : 37)

Tentunya banyak orang yang menyembelih hewan kurban, dan banyak pula yang menyembelih hewan hadyu (tatkala hajian), dan banyak pula orang yang bersedekah dengan menyembelih hewan, akan tetapi bukanlah yang sampai kepada Allah darah hewan-hewan tersebut akan tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan yang terdapat di hati (lihat minhaajus sunnah 6/137)

Dari sini jelas bagi kita rahasia kenapa Allah menjadikan pahala sedikit infaq yang dikeluarkan oleh para sahabat lebih tinggi nilainya dari beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Sesungguhnya amalan-amalan hati para sahabat sangatlah tinggi, keimanan para sahabat sangatlah jauh dibandingkan keimanan kita. Mungkin kita bisa saja menilai amalan dzhohir seseorang, akan tetapi amalan hatinya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Para sahabat yang luar biasa amalan dzohirnya bisa saja ada seorang tabiin yang meniru mereka akan tetapi yang menjadikan mereka tetap istimewa adalah amalan hati mereka yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah.

Ibnu Taimiyyah berkata tentang para sahabat, "Hal ini (ditinggikannya pahala para sahabat-pen) dikarenakan keimanan yang terdapat dalam hati mereka tatkala mereka berinfaq di awal-awal Islam, dan masih sedikitnya para pemeluk agama Islam, banyaknya hal-hal yang menggoda untuk memalingkan mereka dari Islam, serta lemahnya motivasi yang mendorong untuk berinfaq. Oleh karenanya orang-orang yang datang setelah para sahabat tidak akan bisa memperoleh sebagaimana yang diperoleh para sahabat… oleh karenanya tidak akan ada seorangpun yang menyamai Abu Bakr radhiallahu 'anhu. Keimanan dan keyakinan yang ada di hatinya tidak akan bisa disamai oleh seorangpun. Abu Bakr bin 'Ayyaas berkata  وَلَكنْ بشَىْءٍ مَا سَبَقَهُمْ أَبُو بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ وَقَرَ في قَلْبِهِ "Tidaklah Abu Bakr mengungguli para sahabat yang lain dengan banyaknya sholat dan puasa akan tetapi karena sesuatu yang terpatri di hatinya"

Demikian pula para sahabat yang lain yang telah menemani Rasulullah dalam keadaan beriman kepada Nabi dan berjihad bersamanya maka timbul dalam hati mereka keimanan dan keyakinan yang tidak akan dicapai oleh orang-orang setelah mereka…

Sesungguhnya para ulama telah sepakat bahwasanya para sahabat secara umum (global) lebih baik dari para tabi'in secara umum. Akan tetapi apakah setiap individu dari para sahabat lebih mulia dari dari setiap individu dari generasi setelah mereka?, dan apakah Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu lebih mulia daripada Umar bin Abdil Aziz rahimahullah??. Al-Qodhi Iyaadh dan ulama yang lain menyebutkan ada dua pendapat dalam permasalahan ini. Mayoritas ulama memilih pendapat bahwasanya setiap individu sahabat lebih mulia dari setiap individu dari generasi setelah mereka. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarok, Ahmad bin Hnbal dan selain mereka berdua.

Diantara argumentasi mereka adalah amalan (dzohir) para tabi'in meskipun lebih banyak, sikap adilnya Umar bin Abdil Aziz lebih nampak dari pada sikap adilnya Mu'aawiyah, dan ia lebih zuhud daripada Mu'aawiyah, akan tetapi mulianya seseorang di sisi Allah adalah tergantung hakekat keimanannya yang terdapat di hatinya…mungkin bisa saja kita mengetahui amalan (dzohir) sebagian mereka lebih banyak dari pada sebagian yang lain, akan tetapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwasanya keimanannya yang terdapat di hatinya lebih besar daripada keimanan hati yang lain..?"   (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/137-139)



www.firanda.com

Kamis, 21 April 2011

Berlebih-lebihan kepada rasulullah hingga menganggkat beliau pada derajat ketuhanan

Bookmark
 and Share

عن ابن عباس سمع عمر رضي الله عنه يقول على المنبر سمعت النبي  صلى الله عليه وسلم  يقول لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله

Dari Ibnu Abbas, dia mendengat Umar berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesunggunhya aku hanyalah seorang hamba Allah maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya” HR Al-Bukhari no 3445, 6830

Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah” menunjukan bahwa beliau hanyalah manusia biasa, demikian juga para nabi yang lain. Oleh karena itu para nabi makan, minum, beristri, memiliki keturunan, mereka juga ditimpa dengan penyakit, mereka meninggal, bahkan ada di antara mereka yang dibunuh.

·         Dalil-dalil yang menunjukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia sangat banyak, di antaranya:

(ُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ﴾ (الكهف: من الآية110)

Katakanlah:"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…”
(QS 18:110).

(قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولاً﴾ (الاسراء:93)

Katakanlah:"Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul" (QS. 17:93).

Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa dia adalah seorang manusia biasa seperti mereka
(وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً﴾ (الفرقان:7)

Dan mereka berkata:"Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia,
(QS. 25:7)

Berkata Ibnu Katsir, “Allah mengabarkan tentang keras kepalanya orang-orang kafir dan pembangkangan mereka serta pendustaan mereka terhadap kebenaran tanpa hujjah dan dalil dari mereka. Mereka hanya bisa beralasan (untuk mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan perkataan mereka, “Mengapa ada Rasul yang makan makanan sebagaimana kami juga memakan makanan dan ia membutuhkan makanan sebagaimana kami, dan ia berjalan di pasar yaitu dia bolak-balik ke pasar dalam rangka mencari penghasilan dan untuk berdagang” Ayat ini jelas menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti manusia yang lainnya, tidak sebagaimana perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terang mengeluarkan cahaya sehingga beliau tidak memiliki bayangan karena cahaya matahari terpantul terkena cahaya tubuh beliau. Bantahan akan hal ini sebagai berikut:

-          Kalau seandainya demikian tentunya orang-orang kafir akan langsung beriman karena melihat cahaya tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah manusia biasa. Namun kenyataannya mereka mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada bedanya dengan mereka sama-sama manusia, sebagaimana hal ini juga dikatakan kepada nabi-nabi terdahulu
(قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ)
”Mereka menjawab:"Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kalian tidak lain hanyalah para pendusta belaka".
(QS. 36:15)

-          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di payungi tatkala melempar jumroh Aqobah

عن يحيى بن الحصين عن أم الحصين جدته قالت حججت مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  حجة الوداع فرأيت أسامة وبلالا وأحدهما آخذ بخطام ناقة النبي  صلى الله عليه وسلم  والآخر رافع ثوبه يستره من الحر (و في رواية: من الشمس) حتى رمى جمرة العقبة

Dari Yahya bin Al-Hushoin dari nenek beliau Ummul Hushoin, ia berkata, “Aku berhaji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu haji wada’ maka aku melihat Usamah dan Bilal, salah satu dari mereka berdua memegang kendali unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengangkat bajunya menutupi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena panas (dalam riwayat yang lain[1] : karena matahari) hingga Nabi selesai melempar jumroh Aqobah”[2]

Kalau memang tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercahaya sehingga cahaya matahari terpantul dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki bayangan tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk dipayungi karena ia tidak akan merasa kepanasan karena terik matahari.

www.firanda.com

Kisah menakjubkan tentang sabar dan syukur kepada allah


Bookmark
 and Share
Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.          Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu 'anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.

Abdullah bin Muhammad berkata, "Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, "Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan""

Abdullah bin Muhammad berkata, "Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, "Aku mendengar engkau berkata "Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan", maka nikmat manakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut??, dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu hingga engkau menysukurinya??"

Orang itu berkata, "Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku?, demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah engkau mencari kabar tentangya –semoga Allah merahmati engkau-". Aku berkata, "Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau". Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji'uun. Aku berkata, "Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??". Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Tatkala aku menemui orang tersbut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, "Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?", aku berkata, "Benar". Ia berkata, "Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?". Akupun berkata kepadanya, "Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihissalam?", ia berkata, "Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam ", aku berkata, "Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?", orang itu berkata, "Tentu aku tahu". Aku berkata, "Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?", ia berkata, "Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah". Aku berkata, "Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya", ia berkata, "Benar". Aku berkata, "Bagaimanakah sikapnya?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Aku berkata, "Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?", ia berkata, "Iya", aku berkata, "Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, lagsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!". Aku berkata, "Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau". Orang itu berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka", kemudian ia berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.  Aku berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa[1]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku "Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?". Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu  mereka berkata, "Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!", maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, "Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!". Aku bertanya kepada mereka, "Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?", mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ{ (الرعد:24)
"Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (QS. 13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, "Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?", ia berkata, "Benar", aku berkata, "Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua", ia berkata, "Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai"
Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com

Bahaya khamr dan segala sesuatu yang memabukkan

Hadits 46

عن سعيد بن أبي بردة عن أبيه عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه أن النبي  صلى الله عليه وسلم  بعثه إلى اليمن فسأله عن أشربة تصنع بها فقال وما هي قال البتع والمزر -فقلت لأبي بردة ما البتع قال نبيذ العسل والمزر نبيذ الشعير- فقال كل مسكر حرام
Dari Sai'id bin Abi Burdah dari ayahnya dari Abu Musa Al-Asy'ari bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke negeri Yaman maka iapun (Abu Musa) bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum minum-minuman yang dibuat di Yaman. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, "Apakah minum-minuman tersebut?", ia menjawab, "Al-Bit'[1] dan dan Al-Mizr[2]. -Aku (Sa'id bin Abi Burdah) bertanya kepada Abi Burdah, "Apakah itu Al-Bit'?", ia berkata, "Al-Bit' adalah nabidz[3] madu dan Al-Mizr adalah nabidz gandum"-. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Setiap yang memabukkan adalah haram" (HR Al-Bukhari 4/1579 no 4087 dan 5/2269 no 5773, Muslim 3/1586 no 1733)



Berkata sekelompok salaf bahwasanya peminum khomr melalui suatu waktu dimana ia tidak mengenal pada waktu tersebut Robnya, padahal Allah hanyalah menciptakan mereka (para peminum khomr) untuk mengenalNya, mengingatNya, beribadah kepadaNya, dan taat kepadaNya. Maka perkara apa saja yang mengantarkan kepada terhalanginya seorang hamba dengan tujuan-tujuan penciptaannya dan menghalangi antara hamba dari mengenal dan mengingat serta bermunajat kepada RobNya maka hukumnya adalah haram, dan perkara tersebut adalah mabuk. Dan hal ini berbeda dengan tidur, karena Allah telah menjadikan hamba-hambaNya memiliki sifat tersebut dan menjadikan mereka harus membutuhkan hal itu, tidak ada penegak untuk menegakkan tubuh-tubuh mereka kecuali dengan tidur karena tidur merupakan istirahat dari keletihan dan kelelahan. Dan tidur merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar kepada hamba-hambaNya. Jika seorang mukmin tidur sesuai dengan kebutuhannya lalu bangun dari tidurnya untuk mengingat Allah dan bermunajat kepadaNya serta berdo'a kepadaNya maka tidurnya itu merupakan penolong baginya untuk sholat dan berdzikir. Oleh karena itu sebagian salaf berkata, إني أحتسب نومتي كما أحتسب قومتي "Aku mengharapkan pahala dari Allah dengan tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dengan sholat malamku" (Jami'ul Ulum 1/421)

Akal adalah anggota tubuh yang membedakan antara hewan dan manusia, akal merupakan tempat memahami, dengan akal seseorang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan batil. Oleh karena itu agama Islam sangat memperhatikan penjagaan akal dan menjadikan sebagai tempat digantungkannya "taklif" (beban untuk menjalankan hukum-hukum syari'at) dan Islam menjatuhkan taklif bagi orang yang kehilangan akal sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

"Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)"
(HR Abu Dawud 4/140 (dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), Ibnu Majah 1/658, Ibnu Hibban 1/356, Ibnu Khuzaimah 4/348)

Keutamaan Ikhlas


 Ikhlas merupkan sebab dikabulkannya doa dan dihilangkannya kesulitan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَرَجَ ثَلاَثَةٌ يَمْشُونَ فَأَصَابَهُمْ الْمَطَرُ فَدَخَلُوا في غَارٍ في جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عليهم صَخْرَةٌ قال فقال بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ادْعُوا اللَّهَ بِأَفْضَلِ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ فقال أَحَدُهُمْ اللهم إني كان لي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى ثُمَّ أَجِيءُ فَأَحْلُبُ فَأَجِيءُ بِالْحِلَابِ فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ ثُمَّ أَسْقِي الصِّبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي فَاحْتَبَسْتُ لَيْلَةً فَجِئْتُ فإذا هُمَا نَائِمَانِ قال فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ رِجْلَيَّ فلم يَزَلْ ذلك دَأْبِي وَدَأْبَهُمَا حتى طَلَعَ الْفَجْرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى منها السَّمَاءَ قال فَفُرِجَ عَنْهُمْ وقال الْآخَرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كنت أُحِبُّ امْرَأَةً من بَنَاتِ عَمِّي كَأَشَدِّ ما يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ فقالت لَا تَنَالُ ذلك منها حتى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِينَارٍ فَسَعَيْتُ فيها حتى جَمَعْتُهَا فلما قَعَدْتُ بين رِجْلَيْهَا قالت اتَّقِ اللَّهَ ولا تَفُضَّ الْخَاتَمَ إلا بِحَقِّهِ فَقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً قال فَفَرَجَ عَنْهُمْ الثُّلُثَيْنِ وقال الْآخَرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقٍ من ذُرَةٍ فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ فَعَمَدْتُ إلى ذلك الْفَرَقِ فَزَرَعْتُهُ حتى اشْتَرَيْتُ منه بَقَرًا وَرَاعِيهَا ثُمَّ جاء فقال يا عَبْدَ اللَّهِ أَعْطِنِي حَقِّي فقلت انْطَلِقْ إلى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرَاعِيهَا فَإِنَّهَا لك فقال أَتَسْتَهْزِئُ بِي قال فقلت ما أَسْتَهْزِئُ بِكَ وَلَكِنَّهَا لك اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فَكُشِفَ عَنْهُمْ
"Tiga orang (dari orang-orang terdahulu sebelum kalian) keluar berjalan lalu turunlah hujan menimpa mereka, maka mereka lalu masuk ke dalam gua di sebuah gunung. Lalu jatuhlah sebuah batu (dari gunung hingga menutupi mulut gua), lalu sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “Berdoalah kepada Allah dengan amalan yang terbaik yang pernah kalian amalkan!”. Maka salah seorang diantara mereka berkata, “Ya Allah aku memiliki dua orangtuaku yang telah tua (dan aku memiliki anak-anak kecil), (pada suatu waktu) aku keluar untuk menggembala lalu aku kembali, lalu aku memerah susu lalu aku datang membawa susu kepada mereka berdua lalu mereka berdua minum kemudian aku memberi minum anak-anakku, keluargaku, dan istriku. Pada suatu malam aku tertahan (terlambat) dan ternyata mereka berdua telah tertidur (maka akupun berdiri di dekat kepala mereka berdua aku tidak ingin membangunkan mereka berdua dan aku tidak ingin memberi minum anak-anakku), maka aku tidak ingin membangunkan mereka berdua padahal anak-anakku berteriak-teriak menangis di kedua kakiku (dan aku tetap diam di tempat dan gelas berada di tanganku, aku menunggu mereka berdua bangun dari tidur mereka) dan demikian keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah bagi kami celah hingga kami bisa melihat langit”, maka dibukakan celah bagi mereka. Orang yang kedua berkata, "Yaa Allah Engkau sungguh telah mengetahui bahwasanya aku pernah mencintai seorang wanita salah seorang putri-putri pamanku, aku sangat mencintainya. Akan tetapi ia berkata : "Engkau tidak akan bisa meraih cintanya hingga engkau memberikan kepadanya seratus keping dinar". Maka akupun berusaha hingga aku berhasil mengumpulkan uang dinar tersebut. Tatkala aku telah duduk di antara dua kakinya (untuk menzinahinya-pen) maka iapun berkata, "Bertakwalah engkau kepada Allah, dan janganlah engkau pecahkan (buka) cincin kecuali dengan haknya". Maka akupun pergi meninggalkannya. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah bagi kami celah hingga kami bisa melihat langit. Maka Allah pun membuka dua pertiga celah (namun mereka belum bisa keluar-pen).

Tata cara wudhu sesuai tuntunan nabi/wajibnya wudhu jika ingin menyentuh mushaf & kapan disunatkan untuk berwudhu



Wajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushaf

Khilaf diantara para ulama,

·      Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudlu jika menyentuh mushaf, dalilnya :
- Sesuai firman Allah 
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudlu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ  (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.

- Sesuai dengan hadits :

أَبُو بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا وَفِيْهِ "لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر"ٌ

Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya :(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih, irwaul golil no 122)

Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena  bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah  وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ  (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’ 1/265)

Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :

Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa wudlu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berwudlu.”

Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabiin”.

Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudlulah”, maka akupun berdiri dan berwudlu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwaul golil 1/161)

Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudlu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitab-kitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)

·      Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudlu bila menyentuh mushaf, dalilnya :

- Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak)

كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)


- Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.

- Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :

a. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)

b. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
d. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)

Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.

- Adapun dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.

- Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)

- Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.

- Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).

- Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.

-. Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.

4. Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu (lihat Thuhurul Muslim hal 91-96)
a.     Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah ta’ala
Dalilnya : Hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khobarnya (pesannya) Abu Amir  bahwasanya beliau (Abu Amir) berkata kepada dia (Abu Musa) :

أَقْرِئِ النَّبِيَّ مِنِّي السَّلاَمَ وَ قُلْ لَهُ اِسْتَغْفِرْ لِي

Sampaikan pada Nabi salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah) untukku”.


Ketika dia (Abu Musa) mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air kemudian berwudlu dengan air tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berkata ; “Ya Allah berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…(Riwayat Bukhori, lihat al-fath 8/41 dan Muslim 4/1944)
b.    Ketika akan tidur

Sesuai dengan hadits Baro’ bin Azib t, beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ

Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu maka berwudlulah seperti wudlumu ketika (akan) sholat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan. (Riwayat Bukhori)
c.    Setiap kali berhadats

Sesuai dengan hadits Buraidah t, beliau berkata :

أَصْبَح رَسُوْلُ اللهَِ يَوْمًا، فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ :" يَا بِلاَلُ بِمَا سَبَقَتْنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ إِنَّنِي دَخَلْتُ الْجَنَّةَ الْبَارِحَةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشْتَكَ أَمَامِي؟" فَقَالَ بِلاَلٌ : "مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْغَتَيْنِ، وَلاَ أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata :”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku”, maka Bilal menjawab :”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku sholat dua rakaat dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berwudlu” (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih at-Targib no 95)

d.    Setiap akan sholat (walaupun belum batal wudlunya)

Sesuai dengan hadits Abu Huroiroh t, beliau berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ، وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ


Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudlu setiap sholat dan untuk bersiwak setiap berwudlu. (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih at-Targib no 95)
e.    Ketika mengangkat mayat

ٍSesuai dengan hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

مَنْ غَسَلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang memandikan mayat maka mandilah dan barangsiapa yang mengangat mayat maka berwudlulah. (Riwayat Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 144 sehingga ini merupakan pendapat syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Bin Baz sehingga beliau menganggap tidak disunnahkannya berwudlu karena mengangkat mayat, adapun berwudlu karena memandikan mayat adalah sunnah sesuai dengan hadits Aisyah dan Asma’, akan datang penjelasannya pada bab mandi insya Allah U)
f.    Setelah muntah

Sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu beliau berbuka kemudian berwudlu. (Riwayat Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 111)
g.    Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar)

Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Berwudlulah karena memakan makanan yang tersentuh api. (Riwayat Muslim 1/272)


Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas dan Amr bin Umayyah  dan Abu Rofi’ tbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan daging yang tersentuh api kemudian beliau berdiri dan sholat dan tidak berwudlu. (Riwayat Bukhori no 5408 dan Muslim 1/273). Hal ini menunjukan bahwa disunnahkannya wudlu setelah memakan daging yang tersentuh api.
h.    Orang yang junub ketika akan makan

Sesuai dengan hadits Aisyah, beliau berkata :

كَانَ  رَسُوْلُ اللهِ إذَا كَانَ جُنُبًا فَأََرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلضَّلاَةِ

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau junub kemudian ingin makan atau tidur maka beliau berwudlu sebagaimana wudlu (untuk) sholat. (Riwayat Muslim 1/248 no 305)
i.    Karena ingin mengulangi jimak
Sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjimaki) istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya maka hendaklah dia berwudlu. (
Riwayat Muslim no 308. Berkata Syaikh Bin Baz dalam syarah bulugul maram :”Dzohirnya perintah untuk wajib”.)

Adapun mandi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya dengan sekali mandi. (Riwayat Muslim no 309)
j. Ketika orang yang junub ingin tidur namun tidak mandi junub

Sesuai dengan hadits Aisyah ketika beliau ditanya : “Apakah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah menjawab : “Benar, dan dia berwudlu” (Riwayat Bukhori no 286 dan Muslim no 305)

Dab juga hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi r, maka dia (Umar t) berkata :”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذأ شَاءَ

“Hendaknya dia berwudlu kemudian hendaklah dia tidur hinga dia mandi jika dia kehendaki” (Riwayat Bukhori no 287 dan Muslim no 306)


Berkata Syaikh Bin Baz :”Dan telah datang (riwayat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur. Maka keadaannya ada tiga :

-  Seseorang tidur tanpa wudlu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah
-  Seseorang beristinja dan berwudlu sebagaimana wudlunya sholat (kemudian tidur), maka ini tidak mengapa
-  Seseorang berwudlu dan mandi (kemudian tidur) maka ini adalah yang sempurna.
Artikel: www.firanda.com